PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Direktorat Jenderal Pajak memaparkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP). RUU ini memiiki enam kelompok pengaturan, yakni ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP), pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), program pengungkapan sukarela (PPS), pajak karbon, serta cukai.
Selain itu, RUU HPP juga menyangkut tiga hal utama yaitu asas dari perturan perpajakan, tujuan, muatan isi dan pemberlakuan. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, tujuannya adalah meningkatkan pertumbuhan dan mendukung percepatan pemulihan ekonomi.
Pemulihan ekonomi dan mengembalikan pertumbuhan memerlukan banyak sekali pemihakan dan resources serta harus di desain secara sangat hati-hati dan detail. "Kami menggunakan semua hal instrumen yang ada di dalam pemerintahan, APBN, perpajakan baik pajak dan bea cukai, PNBP, belanja negara, dan belanja daerah," Sri Mulyani, Ahad (10/10).
Selanjutnya, Menkeu juga menyampaikan, pihaknya menginginkan UU ini mengoptimalkan penerimaan negara, mewujudkan sistem pajak yang berkeadilan dan memberikan kepastian hukum serta melaksanakan reformasi, administrasi serta kebijakan perpajakan yang makin harmonis dan konsolidatif untuk memperluas juga basis perpajakan di era globalisasi dan teknologi digital yang begitu sangat mendominasi. "Dan terakhir adalah dengan UU HPP, maka kita ingin terus meningkatkan sukarela kepatuhan wajib pajak," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Neilmaldrin Noor memaparkan tentang kelompok ketentuan umum dan rata cara perpajakan, yaitu pemberlakukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP). Pemberian kesempatan kepada wajib pajak untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan (SPT), selama Direktorat Jenderal Pajak (DJP) belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP).
Kemudian, sinkronisasi dengan Undang Undang Cipta Kerja dalam penerapan sanksi administrasi perpajakan. Pengaturan asistensi penagihan pajak global. Kesetaraan pengenaan sanksi melalui penurunan sanksi terkait permohonan keberatan atau banding wajib pajak. Pengaturan pelaksanaan Mutual Agreement Procedure (MAP) agar dapat berjalan secara simultan dengan proses keberatan atau banding.
Kuasa Wajib Pajak harus memiliki kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali Kuasa Wajib Pajak yang merupakan suami, istri, keluarga sedarah, atau semenda sampai dengan derajat kedua. Lalu, sinergi antar instansi pemerintah untuk melakukan pemberian data dalam rangka penegakan hukum dan kerja sama.
Untuk kelompok pajak penghasilan yaitu, pemberian dalam bentuk natura yang dapat dibiayakan. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta. Pengaturan kembali penyusutan dan amortisasi. Pemberlakuan tarif PPh Badan menjadi 22 persen mulai Tahun Pajak 2022.
Penyempurnaan upaya mencegah penghindaran pajak dengan menerapkan metode yang sesuai dengan international best practice. Penambahan kewenangan Pemerintah Indonesia untuk ikut serta dalam perjanjian multilateral. Perubahan lapisan dan tarif penghasilan kena pajak.(anf)