Jumat, 11 April 2025

Pengamat: Orang Kaya Tak Mungkin Migrasi ke Oktan Rendah

JAKARTA (RIAUPOS.CO) โ€” Kenaikan harga minyak di atas 100 dolar AS per barel tentunya sangat memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Semakin tinggi kenaikan harga minyak, beban APBN makin berat.

Pengamat Ekonomi dan Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai bahwa pemerintah perlu terus memantau pergerakan harga minyak dunia. Sejauh ini, dia melihat pemerintah berada di jalur yang tepat, salah satunya terlihat dari intervensi terhadap kenaikan harga BBM nonsubsidi.

"Minimal mengurangi beban APBN, kalau tidak dinaikkan kan nomboknya itu cukup banyak untuk dana kompensasi. Setidaknya bisa sedikit mengurangi beban secara bertahap, sambil melihat perkembangannya," ungkapnya kepada JawaPos.com, Jumat (4/3).

Baca Juga:  Dunia Games Telkomsel Gandeng Garena

Apalagi, saat ini terjadi konflik antara Rusia dan Ukraina, tentu ini menambah ketidakpastian harga minyak dunia. Bahkan, dikhawatirkan bisa menembus angka 200 dolar AS per barel jika perang terus belanjut.

"Sulit memprediksi itu (naik 200 dolar AS), tapi itu saya kira tergantung dengan eskalasi perang. Tapi, kan NATO sudah menempatkan peralatan perang di sekitar Rusia. Kalau Rusia marah, itu bisa jadi perang meluas, harga minyak bisa 200 dolar AS," tambahnya.

"Indonesia tidak bisa mencegah terjadinya perang tadi. Ini adalah variabel yang tidak bisa terkontrol, tapi berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia. Makanya, perlu monitor dan tepat dalam mengambil keputusan," sambung Fahmy.

Oleh karena itu, langkah Pertamina menaikkan harga BBM nonsubsidi dinilainya sudah bagus. Apabila tidak ada kenaikan harga BBM di dalam negeri, hal ini akan memperparah daya beli masyarakat karena akan ada inflasi besar.

Baca Juga:  Bank Bukopin Ikut Serta Salurkan KUR Bangkitkan UMKM Sektor Pariwisata

"Itu saya kira tepat, karena proporsi hanya 5 persen dan pengguna Pertamax ke atas itu orang kaya yang menggunakan mobil-mobil bagus. Sehingga kalau itu naik, tidak mungkin dia pindah ke Pertamax atau Pertalite, karena mobil bagus itu tentu memakai bensin (oktan) yang lebih baik," tutupnya.

Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) โ€” Kenaikan harga minyak di atas 100 dolar AS per barel tentunya sangat memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Semakin tinggi kenaikan harga minyak, beban APBN makin berat.

Pengamat Ekonomi dan Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai bahwa pemerintah perlu terus memantau pergerakan harga minyak dunia. Sejauh ini, dia melihat pemerintah berada di jalur yang tepat, salah satunya terlihat dari intervensi terhadap kenaikan harga BBM nonsubsidi.

"Minimal mengurangi beban APBN, kalau tidak dinaikkan kan nomboknya itu cukup banyak untuk dana kompensasi. Setidaknya bisa sedikit mengurangi beban secara bertahap, sambil melihat perkembangannya," ungkapnya kepada JawaPos.com, Jumat (4/3).

Baca Juga:  The Premiere Hotel Berbagi Bersama Anak-Anak SLB

Apalagi, saat ini terjadi konflik antara Rusia dan Ukraina, tentu ini menambah ketidakpastian harga minyak dunia. Bahkan, dikhawatirkan bisa menembus angka 200 dolar AS per barel jika perang terus belanjut.

"Sulit memprediksi itu (naik 200 dolar AS), tapi itu saya kira tergantung dengan eskalasi perang. Tapi, kan NATO sudah menempatkan peralatan perang di sekitar Rusia. Kalau Rusia marah, itu bisa jadi perang meluas, harga minyak bisa 200 dolar AS," tambahnya.

"Indonesia tidak bisa mencegah terjadinya perang tadi. Ini adalah variabel yang tidak bisa terkontrol, tapi berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia. Makanya, perlu monitor dan tepat dalam mengambil keputusan," sambung Fahmy.

Oleh karena itu, langkah Pertamina menaikkan harga BBM nonsubsidi dinilainya sudah bagus. Apabila tidak ada kenaikan harga BBM di dalam negeri, hal ini akan memperparah daya beli masyarakat karena akan ada inflasi besar.

Baca Juga:  Ada OCTOPUS di The Premiere Hotel Pekanbaru

"Itu saya kira tepat, karena proporsi hanya 5 persen dan pengguna Pertamax ke atas itu orang kaya yang menggunakan mobil-mobil bagus. Sehingga kalau itu naik, tidak mungkin dia pindah ke Pertamax atau Pertalite, karena mobil bagus itu tentu memakai bensin (oktan) yang lebih baik," tutupnya.

Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

spot_img

Pengamat: Orang Kaya Tak Mungkin Migrasi ke Oktan Rendah

JAKARTA (RIAUPOS.CO) โ€” Kenaikan harga minyak di atas 100 dolar AS per barel tentunya sangat memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Semakin tinggi kenaikan harga minyak, beban APBN makin berat.

Pengamat Ekonomi dan Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai bahwa pemerintah perlu terus memantau pergerakan harga minyak dunia. Sejauh ini, dia melihat pemerintah berada di jalur yang tepat, salah satunya terlihat dari intervensi terhadap kenaikan harga BBM nonsubsidi.

"Minimal mengurangi beban APBN, kalau tidak dinaikkan kan nomboknya itu cukup banyak untuk dana kompensasi. Setidaknya bisa sedikit mengurangi beban secara bertahap, sambil melihat perkembangannya," ungkapnya kepada JawaPos.com, Jumat (4/3).

Baca Juga:  Airlangga: Surplus Neraca Perdagangan Kembali Cetak Rekor Tertinggi

Apalagi, saat ini terjadi konflik antara Rusia dan Ukraina, tentu ini menambah ketidakpastian harga minyak dunia. Bahkan, dikhawatirkan bisa menembus angka 200 dolar AS per barel jika perang terus belanjut.

"Sulit memprediksi itu (naik 200 dolar AS), tapi itu saya kira tergantung dengan eskalasi perang. Tapi, kan NATO sudah menempatkan peralatan perang di sekitar Rusia. Kalau Rusia marah, itu bisa jadi perang meluas, harga minyak bisa 200 dolar AS," tambahnya.

"Indonesia tidak bisa mencegah terjadinya perang tadi. Ini adalah variabel yang tidak bisa terkontrol, tapi berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia. Makanya, perlu monitor dan tepat dalam mengambil keputusan," sambung Fahmy.

Oleh karena itu, langkah Pertamina menaikkan harga BBM nonsubsidi dinilainya sudah bagus. Apabila tidak ada kenaikan harga BBM di dalam negeri, hal ini akan memperparah daya beli masyarakat karena akan ada inflasi besar.

Baca Juga:  Suzuki Recall Jimny, Ini Penyebabnya

"Itu saya kira tepat, karena proporsi hanya 5 persen dan pengguna Pertamax ke atas itu orang kaya yang menggunakan mobil-mobil bagus. Sehingga kalau itu naik, tidak mungkin dia pindah ke Pertamax atau Pertalite, karena mobil bagus itu tentu memakai bensin (oktan) yang lebih baik," tutupnya.

Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) โ€” Kenaikan harga minyak di atas 100 dolar AS per barel tentunya sangat memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Semakin tinggi kenaikan harga minyak, beban APBN makin berat.

Pengamat Ekonomi dan Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai bahwa pemerintah perlu terus memantau pergerakan harga minyak dunia. Sejauh ini, dia melihat pemerintah berada di jalur yang tepat, salah satunya terlihat dari intervensi terhadap kenaikan harga BBM nonsubsidi.

"Minimal mengurangi beban APBN, kalau tidak dinaikkan kan nomboknya itu cukup banyak untuk dana kompensasi. Setidaknya bisa sedikit mengurangi beban secara bertahap, sambil melihat perkembangannya," ungkapnya kepada JawaPos.com, Jumat (4/3).

Baca Juga:  Akhir Maret, Apple Luncurkan IPhone 9

Apalagi, saat ini terjadi konflik antara Rusia dan Ukraina, tentu ini menambah ketidakpastian harga minyak dunia. Bahkan, dikhawatirkan bisa menembus angka 200 dolar AS per barel jika perang terus belanjut.

"Sulit memprediksi itu (naik 200 dolar AS), tapi itu saya kira tergantung dengan eskalasi perang. Tapi, kan NATO sudah menempatkan peralatan perang di sekitar Rusia. Kalau Rusia marah, itu bisa jadi perang meluas, harga minyak bisa 200 dolar AS," tambahnya.

"Indonesia tidak bisa mencegah terjadinya perang tadi. Ini adalah variabel yang tidak bisa terkontrol, tapi berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia. Makanya, perlu monitor dan tepat dalam mengambil keputusan," sambung Fahmy.

Oleh karena itu, langkah Pertamina menaikkan harga BBM nonsubsidi dinilainya sudah bagus. Apabila tidak ada kenaikan harga BBM di dalam negeri, hal ini akan memperparah daya beli masyarakat karena akan ada inflasi besar.

Baca Juga:  Ini Harga GR Yaris Dilengkapi Spesifikasi Mobil Balap

"Itu saya kira tepat, karena proporsi hanya 5 persen dan pengguna Pertamax ke atas itu orang kaya yang menggunakan mobil-mobil bagus. Sehingga kalau itu naik, tidak mungkin dia pindah ke Pertamax atau Pertalite, karena mobil bagus itu tentu memakai bensin (oktan) yang lebih baik," tutupnya.

Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari