Ramadan dengan ibadah-ibadah yang mengiringinya, diberikan tempat tersendiri melebihi dari kualitas ibadah-ibadah keagamaan di luar Ramadan bagi pelakunya. Sedemikian rupa wajah ibadah di bulan ini terasa semarak dan bergairah dibandingkan bulan lainnya.
Untuk memperta-hankan segala prestasi ibadah Ramadan dan ibadah yang mengiringinya ini agar tidak lenyap begitu saja seiring perginya bulan ini meninggalkan kita, maka setidaknya ada dua metoda yang perlu dipertimbangkan untuk kepentingan ini, yakni muraqabah (mawas diri) dan muhasabah (introspeksi diri).
Meskipun diakui bahwa dua metoda ini lazimnya diterapkan pada aktivitas spiritual tasawuf sebagai upaya untuk mempertahankan bahkan mengembangkan perilaku agama yang telah dimiliki kaum Sufis ke dalam kehidupannya .(Geogffroy, 2019) .
Diikutsertakannya dua metode ini lebih dikarenakan karakteristik misi dua metode ini, di antaranya sangat peduli untuk mempertahankan dan mengembangkan perilaku-perilaku ibadah dalam agama, termasuk ibadah-ibadah spesifik di luar Ramadan. Yang telah dimiliki dapat dipertahankan dan dikembangkan yang tidak lagi terikat oleh ruang dan waktu di bulan Ramadan saja.
Dengan karakteristik mereka seperti ini tentu mampu mendorong secara masif perilaku ibadah yang awalnya berbasis kecerdasan faktual-profan ke perilaku ibadah yang berbasis spiritual-transendental. Muraqabah dan muhasabah sebagai Instrumen Pendorong Perilaku Kecerdasan Faktual-Profan ke Perilaku Kecerdasan Spiritual-Transendental
Secara psikologis kemunculan perilaku terbagi dua kategori yakni perilaku yang berbasis kecerdasan faktual dan berbasis kecerdasan spiritual. Dimaksudkan dengan perilaku yang pertama adalah perilaku yang lahir dari hasil pemenuhan tuntutan sederetan aturan atau syarat yang mesti dipedomani untuk sebuah perilaku yang telah ditetapkan.
Perilaku seperti ini biasanya berwatak formal, tekstual, linier dan rigid. (Hawkins, 2011). Sedangkan perilaku yang kedua adalah perilaku yang lahir dari hasil pemahaman terhadap nilai-nilai yang ada dibalik aturan-aturan yang telah ditetapkan untuk sebuah perilaku, kemudian berusaha merealisikan nilai-nilai tersebut untuk meraih misi sesunguhnya dari sebuah perilaku yang telah ditentukan. Perilaku seperti ini biasanya berwatak nonformal, kontekstual, nonlinier, dan terbuka melampaui tuntutan aturan formal, ruang dan waktu.(Hawkins, 2011).
Meskipun dua basis lahirnya perilaku seperti disebutkan di atas tidak sepenuhnya dapat dimanfaatkan untuk mengukur perilaku ibadah dalam agama, termasuk ibadah-ibadah Ramadan yang dilakukan dengan penuh suka cita dan harapan mendapat rida serta imbalan pahala yang berlipat-lipat ganda dari Allah SWT. Namun setidaknya dua teori perilaku seperti ini dapat menjelaskan di antara sekian banyak jawaban untuk pertanyaan semisal kenapa perilaku ibadah-ibadah Ramadan dan nilai-nilai yang dikandungnya redup di luar bulan Ramdaan, bahkan cenderung hilang seiring kepergian bulan Ramadan dalam perilaku keagamaan umat Islam.
Memanfaatkan teori perilaku kecerdasan faktual di atas untuk menelaah perilaku ramadhan dengan segala ibadah yang mengiringinya, tidaklah berlebihan dikatakan bahwa perilaku ibadah-ibadah ramadhan serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, umumnya ditunaikan lebih dalam kategori perilaku kecerdasan faktual-profan semata.
Hal ini terlihat setidaknya dari karakter perilaku ibadah-ibadah Ramadan yang tertampilkan, ditenggarai lebih pada pemenuhan tuntutan syarat dan rukun sebagai aturan verbalnya, ditunaikan selama bulan Ramadan saja bahkan ditenggarai pula ibadah-ibadah Ramadan di tempat-tempat tertentu cenderung melandai di akhir Ramadan. Kemudian pupus di luar bulan Ramadan. Perilaku ibadah-ibadah Ramadan dan nilai-nilai yang termuat di dalamnya tiada lagi menunjukkan eksistensinya dalam kehidupan perilaku keagamaan keseharian shoimun di luar Ramadan.
Dari perpektif teologi tentunya perilaku ibadah-ibadah keagamaan, termasuk ibadah-ibadah di dalam bulan Ramadan, seyogyanya teraplikasikan juga di luar saat ibadah-ibadah itu ditunaikan, sebagai bukti bahwa ibadah-ibadah itu berkontribusi pada perilaku pelakunya di dalam kehidupan sosialnya sesuai dengan visi dan tujuan yang diharapkan dari ibadah-ibadah tersebut.
Untuk mendorong perilaku ibadah-ibadah Ramadan beserta nilai yang dikandungnya tetap hidup berkelanjutan, baik kuantitas dan kualitasnya di luar bulan Ramadan. Perlu mempertimbangkan apa yang dikenal dalam dunia tasawuf, yakni muraqabah (mawas diri) dan muhasabah (introspeksi diri).
Secara praktis muraqabah (mawas diri) merupakan sebuah metoda spiritual-transendental yang dimanfaatkan untuk memunculkan dan mengembangkan kesadaran berfikir yang mendalam dan merenungkan akan kehadiran Allah SWT yang amat dekat dan selalu mengawasi setiap perbuatan manusia dalam kehidupan ini. Metoda ini tidak hanya dapat melahirkan kesadaran yang tinggi akan adanya Allah SWT tetapi juga dapat mengembangkan perilaku akhlak yang lebih baik dan maksimal dalam kehidupan. (Al-Daghistani, 2016).
Khusus muraqabah (mawas diri) Al-Qushairy, seorang pemuka Sufis, mengatakan bahwa metoda ini dapat dilakukan secara terus menerus untuk memahami dan menghayati perilaku yang telah dimiliki, memperbaikinya sesuai dengan keyakinan agama, kemudian merawat hati yang senantiasa terikat dengan Allah SWT. (Al-Qushairy, 2007).
Sementara itu dimaksudkan dengan muhasabah ( introspeksi diri) secara umum merupakan sebuah metoda spiritual yang dilakukan dalam bentuk mengevaluasi kerja pikir dan menganalisis perilaku diri sendiri dengan tujuan menyucikan jiwa dan merawat kehidupan perilaku keberagama yang telah dimiliki, bahkan mengembangkannya (Al-Daghistani, 2016).
Muhasabah (introspeksi diri) itu sendiri sesunguhnya merupakan irisan dari muraqabah (mawas diri) yang saling menguatkan satu bagi yang lainnya, sedemikian rupa muhasabah (introspeksi diri) ini juga akan menguatkan perilaku ibadah Ramadan dan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari, meskipun di luar Ramadan.
Hal ini dikarenakan bukankah muhasabah (introspeksi diri) itu sendiri memiliki karakter menelaah pikiran-pikiran dan menganalisis perilaku yang telah dilakukan dengan satu tujuan merawat dan meningkatkannya sesuai dengan ketetapan agama. Tambahan lagi sesungguhnya muhasabah (introspeksi diri) itu menurut Al-Muhasibi (d. 857) sangat diperlukan untuk mengembalikan ke maksud awal dan watak yang sesungguhnya dari sebuah perbuatan itu (Al-Daghistani, 2016).
Karenanya memanfaatkan muhasabah (introspeksi diri), yang disebut juga dengan the psycho-spiritual theories of Suï¬s, ini sangat niscaya untuk mempertahankan dan meningkatkan ibadah-ibadah faktual-profan Ramadan di dalam dan di luar bulan Ramadan, bahkan dapat pula menghidup suburkan nilai-nilai spiritual-transendental ibadah-ibadah Ramadan ini bertransformasi ke dalam kehidupan pasca Ramadan.
Dengan memanfaatkan metoda muraqabah (mawas diri) dan muhasabah (introspeksi diri) seperti dipaparkan di atas, secara niscaya para shoimun dapat dorongan yang amat kuat dari dalam dirinya untuk meneruskan perilaku ibadah-ibadah Ramadan dan ibadah lain yang mengiringinya, berawal dari basis kecerdasan faktual-profan ke perilaku ibadah yang berbasiskan pada kecerdasan spiritual-transendental. Sebuah kecerdasan yang meniscayakan lahirnya perilaku ibadah-ibadah Ramadan serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan terus hidup subur dalam kepribadian shoimun di luar Ramadan.
Dorongan yang kuat dari muraqabah (mawas diri) ini misalnya dapat ditangkap dari kemampuan kerja metoda ini yang menempatkan kesadaran akan keberadaan Allah SWT selalu mengawasi setiap perilakunya menjadi dasar sebuah perilaku ibadah itu ditunaikan oleh pelakunya. Dalam konteks ini dipahami bahwa sesungguhnya menjadi bagian terdalam dari sebuah perilaku ibadah yang ditunaikannya, sedemikian rupa kehadiran Allah SWT seperti ini justru menjadi energi dan motivasi yang tiada tandingannya untuk selalu menunaikan ibadah-ibadah yang telah dimilikinya.
Bahkan memungkinkan pula mngembangkannya menjadi lebih baik dan bermakna dalam kehidupan pelaku ibadah tersebut. Dari sini dapat dipahami bahwa kebenaran yang koherensif ditemukan akan keberadan muraqabah (mawas diri) yang dinilai mampu mendorong perilaku ibadah faktual-profan ke perilaku ibadah spiritual-transendental, yaitu sebuah perilaku ibadah yang melampaui kemuliaan perilaku ibadah yang muncul dari kecerdasan faktual-profan yang berwatak formal, tersekat kaku oleh ruang dan waktu, bahkan pengembangan dan peningkatannya baik kuantitas maupun kualitas dari sebuah perilaku ibadah dengan memanfaatkan muraqabah (mawas diri) sangat niscaya terimplementasikan.
Begitu pula metoda muhasabah (introspeksi diri), dinilai mampu mendorong dan mengembangkan perilaku ibadah yang berbasis kecerdasan faktual-profan ke perilaku yang berbasis kecerdasan spiritual-transendental. Kemampuannya seperti ini, setidaknya terlihat dari karakteristik kerja metoda ini yang terus menerus melakukan evaluasi terhadap perilaku ibadah untuk selalu tetap selalu pada posisinya semula jika terjadi degradasi misalnya, selain itu juga muraqabah (mawas diri) akan mengingatkan pula akan maksud semula dan watak sesungguhnya dari sebuah perilaku ibadah itu ditunaikan. Karakteristik mengontrol, mengembalikan pada posisi semula serta mengingatkan pelaku ibadah yang dimiliki oleh metoda ini, meniscayakan sebuah perilaku ibadah akan berkelanjutan dilaksakan oleh yang bersangkutan tanpa ada pengurangan baik secara kuantitas maupun kualitas.
Tegasnya dapat dikatakan bahwa muraqabah (mawas diri) dan muhasabah (introspeksi diri) sebagai metoda memiliki peranan yang amat strategis bagi keberlangsungan sebuah perilaku ibadah tetap pada posisinya semula. Bahkan dapat pula meningkatkannya baik kualitas maupun kuantitas perilaku ibadah tersebut dalam perjalanannya ke depan yang tidak tergerus oleh perubahan lingkungan yang mengitarinya.
Disinilah arti pentingnya peranan muraqabah (mawas diri) dan muhasabah (introspeksi diri) sebagai dua metoda guna melestarikan perilaku ibadah-ibadah Ramadan yang telah dimiliki oleh shoimun tetap berkelanjutan di bulan-bulan usai Ramadan. Dalam konteks pemahaman seperti ini pula dapat dipahami bahwa perilaku ibadah termasuk ibadah-ibadah Ramadan akan menjadi lebih produktif dan prospektif ketika beranjak dari perilaku ibadah yang berbasis kecerdasan faktual-profan ke kecerdasan spiritual-transendental.
Terus menerus berdoa dan berupaya maksimal bersama muraqabah ( mawas diri) dan muhasabah (introspeksi diri) akan menjadikan prestasi muttaqiin (orang bertakwa) tidak hanya berhenti di bulan Ramadan, sedemikian rupa niscaya pula berlanjut di bulan-bulan setelah Ramadan.Taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum, kulla ‘amin wa antum bikhoir. Aamiin ya rabbal’alamiin.***