PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Harga Pertamax (Gasoline RON 92) resmi dinaikkan. Dari yang awalnya di kisaran Rp9.000 per liter kini naik menjadi Rp12.500 per liter, untuk daerah dengan besaran pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) 5 persen. Kenaikan itu resmi berlaku, Jumat (1/4) hari ini.
Namun, berdasarkan website https://www.pertamina.com harga pertamax di Riau, Kepulauan Riau, dan Bengkulu ditetapkan Rp13 ribu. Ini karena ketiga provinsi ini besaran pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) 10 persen. Harga ini merupakan tertinggi di Indonesia.
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 15 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah, Pasal Pasal 24 Ayat 1 disebutkan tarif pajak bahan bakar kendaraan bermotor jenis BBM tertentu yaitu minyak solar (gas oil) dan jenis BBM khusus penugasan yaitu bensin (gasoline) RON minimum 88 ditetapkan sebesar 5 persen.
Ayat 2 menyebutkan tarif PBBKB jenis BBM umum yaitu pertalite ditetapkan sebesar 5 persen. Sedangkan, Ayat 2a disebutkan, tarif PBBKB jenis BBM umum selain yang tersebut pada Ayat (2), ditetapkan sebesar 10 persen.
"Penyesuaian harga Pertamax menjadi Rp12.500 per liter ini masih lebih rendah Rp3.500 dari nilai keekonomiannya. Ini kita lakukan agar tidak terlalu memberatkan masyarakat," ujar Pjs Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Subholding Commercial & Trading Pertamina Irto Ginting, Kamis (31/3) malam.
Seperti diketahui, sewajarnya harga BBM RON 92 dijual sekitar Rp16.000 per liter. Namun, Pertamina masih mempertahankan harga Pertamax di kisaran Rp9.000 per liter. Sebagai pembanding, Shell menjual BBM RON 92 di kisaran Rp12.990 per liter. Sementara, BP-AKR menjual di kisaran Rp12.500 per liter.
Pertamina memang mau tak mau harus menaikkan harga pertamax. Hampir tiga tahun lamanya harga pertamax memang tidak pernah mengalami kenaikan. BBM RON 92 itu dijual di kisaran Rp9 ribu per liter. Padahal, para pesaing Pertamina menjual di kisaran Rp12 ribu per liter.
Terlebih, harga minyak dunia maupun harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) sudah melonjak tajam. Puncaknya, ICP per 24 Maret 2022 tercatat 114,55 dolar AS per barel. Jumlah itu melonjak tajam 56 persen dari Desember 2021 yang mencapai 73,36 dolar AS per barel. Akibatnya, kinerja keuangan Pertamina harus mengalami kerugian lantaran menanggung selisih harga.
Irto menjelaskan, pihaknya melakukan berbagai upaya untuk menekan beban keuangan Pertamina. Selain melakukan efisiensi ketat di seluruh lini operasi, penyesuaian harga BBM pun harus dilakukan. "Namun dengan tetap mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat," ujarnya.
Dia menekankan, penyesuaian harga dilakukan secara selektif, hanya berlaku untuk BBM nonsubsidi yang dikonsumsi masyarakat sebesar 17 persen. Di mana 14 persen merupakan jumlah konsumsi Pertamax dan 3 persen jumlah konsumsi Pertamax Turbo, Dexlite dan Pertamina Dex.
Sedangkan BBM Subsidi seperti Pertalite dan Solar Subsidi yang dikonsumi sebagian besar masyarakat Indonesia (konsumsi 83 persen) tidak mengalami perubahan harga atau ditetapkan stabil di harga Rp7.650 per liter.
"Harga Pertamax ini tetap lebih kompetitif di pasar atau dibandingkan harga BBM sejenis dari operator SPBU lainnya. Ini pun baru dilakukan dalam kurun waktu 3 tahun terakhir sejak tahun 2019," urai Irto.
Sebelumnya, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerjasama Kementerian ESDM, Agung Pribadi dalam keterangan tertulisnya menyatakan dengan mempertimbangkan harga minyak bulan Maret yang jauh lebih tinggi dibanding Februari, maka harga keekonomian atau batas atas BBM umum RON 92 bulan April 2022 akan lebih tinggi lagi dari Rp14.526 per liter, bisa jadi sekitar Rp16 ribu per liter.
Terpisah, Pengamat Energi Komaidi Notonegoro memandang, seiring dengan kenaikan harga pertamax, tentu akan ada peralihan ke BBM yang lebih terjangkau. Komaidi melihat, hal itu bisa saja terjadi. Namun, persentasenya diramal tak akan besar.
Sebab, konsumen pertamax merupakan masyarakat menengah ke atas dengan spek kendaraan khusus. "Mungkin yang pindah itu motor, dari pertamax ke pertalite. Tapi kalau mobil kayaknya nggak terlalu. Kalau yang sudah tahu lingkungan atau engine lalu turun kelas tentu akan susah beralih," jelas dia kepada Jawa Pos (JPG), Kamis (31/3).
Komaidi melanjutkan, terkait momentum kenaikan yang disebut memberatkan masyarakat, sejatinya tak ada waktu ideal kapan momentum yang tepat. Dalam perspektif konsumen, akan selalu ada momentum-momentum yang dianggap mempengaruhi. "Setelah ini Ramadan, lalu Idulfitri, lalu ada lagi tahun ajaran baru sekolah," ujarnya.
Sehingga, alangkah baiknya kenaikan harga BBM dilakukan secara bertahap. Dengan kenaikan yang perlahan, hal itu diharapkan tidak membuat masyarakat kaget dan semakin terbebani.
Komaidi menjelaskan, yang membuat kenaikan harga pertamax menjadi polemik adalah karena Pertamina sudah terlalu lama menahan harga pertamax. Ketika para kompetitornya sudah menjual di harga keekonomian, Pertamina memutuskan untuk tetap mempertahankan harga lama. "Ketika yang lain sudah jual Rp13 ribu sampai Rp14 ribu, Pertamina nggak diizinkan penyesuaian. Ketika harga di pasar internasional sudah tidak terbendung, baru kalang kabut," jelas dia.
Meski harga pertamax sudah naik, namun Komaidi melihat hal itu tak akan banyak berkontribusi pada perbaikan kinerja BUMN pelat merah itu. Sebab, pertamax hanya dikonsumsi sebagian kalangan. "Memperbaiki itu pasti, tapi signifikansi lain lagi. Kalau pertamax tidak mungkin banyak kontribusinya, kecuali kalau pertalite," tutur dia.(dee/anf/jpg)