JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Usulan penambahan 10 kursi pimpinan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terus bergulir. Pro dan kontra menjadi isu publik yang belum tuntas hingga jelang pelantikan anggota dewan terhormat di Senayan tersebut.
Wakil Ketua MPR Fahri Hamzah menilai bahwa hal tersebut tidak ada fungsinya. Menurutnya, apabila hal ini diusulkan hanya demi mengakomodasi semua partai yang ada di DPR, maka hal itu sangat tidak tepat.
"Kalau simbolik ya tidak rasional. Hanya simbolik supaya semua partai harus dalam kepemimpinan. Tapi kalau fungsional, nggak ada fungsinya," ujar Fahri di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (21/8).
Pendiri ormas Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi) ini menambahkan, kewenangan MPR sebetulnya lebih sedikit dari DPR. Makanya, tidak perlu ada kursi kepemimpinan yang terlampau banyak.
"Hanya tiga kewenangan pimpinan MPR, yaitu memimpin sidang pelantikan presiden, amandemen UUD 1945, dan memimpin sidang pergantian apabila presiden dimakzulkan," katanya.
Fahri menilai, perlu ada pembahasan yang panjang mengenai penambahan kursi pimpinan MPR. Menurutnya, tahun 2024 adalah tahun yang paling tepat untuk membahas hal ini.
"Aturannya belum ada. Mungkin di DPR yang akan datang akan ada perubahan, kami persilahkan," pungkasnya.
Usulan soal 10 pimpinan MPR pertama kali diutarakan oleh Wakil Sekretaris Jenderal PAN, Saleh Partaonan Daulay. Menurut Saleh, 10 pimpinan MPR ini diisi oleh sembilan dari fraksi yang ada di DPR, sementara satu orang lainnya adalah perwakilan dari unsur DPD. Pemilihan Ketua MPR sendiri tinggal dilakukan secara musyawarah tanpa perlu adanya voting. (jpg/egp)
Editor: Arif Oktafian