Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Kompak Pertanyakan Big Data Menko Marves

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Klaim Men­teri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan bahwa mayoritas masyarakat mendukung penundaan pemilu dipertanyakan beberapa kalangan. Bahkan, mereka membantah klaim yang disebut berdasar big data itu.

Politikus senior PDI Perjuangan (PDIP) Hendrawan Supratikno mengatakan, partainya menerapkan manajemen demokrasi terpimpin. Jadi, klaim di luar arahan resmi partai tidak perlu dimaknai secara serius. Menurut dia, sikap partainya sudah jelas, yaitu menolak penundaan pemilu. "Sikap partai kami sudah disampaikan Sekjen," tegasnya, Sabtu (12/3).

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan, partainya tunduk pada konstitusi yang mengatur pemilu digelar setiap lima tahun. Artinya, pemilu ke depan harus tetap dilaksanakan pada 2024. Terkait pertemuan Megawati Soekarnoputri (ketua umum PDIP) dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Bogor pada 10 Maret lalu, Hasto menegaskan bahwa pertemuan itu tidak membahas pemilu.

Menurut dia, Jokowi dan Megawati memiliki napas yang sama, yaitu taat pada konstitusi. Kepala Bappilu DPP Partai Demokrat Andi Arief mempertanyakan data yang disampaikan Luhut. Menurut dia, hasil survei internal Partai Demokrat menunjukkan bahwa para pemilih Demokrat menghendaki Pemilu 2024. "Jadi, kami mempertanyakan survei versi Pak Luhut," ucap dia.

Jika benar ada survei yang menyebut masyarakat mendukung penundaan pemilu, tegas Andi, hal itu tetap tidak boleh diikuti. Pemerintah harus mengedukasi masyarakat dan mengingatkan tentang sejarah politik Indonesia.

Baca Juga:  Kapolres Dumai Menang Praperadilan 

Andi juga mengungkapkan bahwa pada 2013 kepuasan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sekitar 74 persen. Kemudian, ketika SBY meninggalkan istana, kepuasan masyarakat mencapai 72 persen. Jadi, saat itu SBY dianggap berhasil dan mendapat apresiasi dari masyarakat.

Menurut survei internal saat itu, ada keinginan rakyat untuk memperpanjang masa jabatan SBY. Namun, hasil riset tersebut tidak dipublikasikan dan tidak dikapitalisasi untuk modal SBY mencalonkan tiga periode. "Kami cegah, bahkan kami tutup semua diskusi terhadap isu mengancam demokrasi yang ingin memperpanjang jabatan SBY," ujarnya.

Ardian Sopa, peneliti LSI Denny JA, juga mempertanyakan data yang disampaikan Luhut. Menurut dia, Luhut perlu menyampaikan sumber data dan metodologi pengambilan data tersebut. "Data itu dari mana dan metodologinya seperti apa? Itu harus jelas," urainya.

Menurut Ardian, Luhut harus berbicara dengan data agar semua pihak bisa mempelajarinya. Hasil survei LSI Denny JA yang dirilis pada 10 Maret lalu menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menolak penundaan pemilu.

Mereka yang menolak sebesar 68,5 persen. Data LSI Denny JA juga menunjukkan bahwa komposisi pro dan kontra isu presiden tiga periode hampir sama dengan isu penundaan pemilu.

Jika dibuat rata-rata nasional, mereka yang menentang isu presiden tiga periode sebesar 70,3 persen. Artinya, lanjut Ardian, dua wacana, yaitu penundaan Pemilu 2024 dan presiden tiga periode, mendapatkan resistansi cukup keras dari publik. "Resonansi penolakan dua wacana tersebut merata di hampir semua segmen pemilih," tegasnya.Sebelumnya, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengaku memiliki data dari rakyat Indonesia yang menginginkan agar Pemilu 2024 ditunda pelaksanaanya. Sehingga wacana penundaan Pemilu 2024 bedasarkan suara dari rakyat Indonesia.

Baca Juga:  LPPM Unri Kembangkan Wirausaha Sagu sebagai Produk Unggulan

“Kita kan punya big data, dari big data itu 110 juta itu macam-macam dari Facebook dan segala macam, karena orang main Twitter kira-kira 110 juta," kata Luhut.

Luhut menuturkan, dari big data tersebut masyarakat kelas menengah ke bawah menginginkan tidak ingin adanya kegaduhan politik di Indonesia akibat Pemilu 2024. Bahkan masyarakat takut adanya pembelahan, seperti di Pilpres 2019 lalu yang muncul ‘cebong’ dan ‘kampret’.

Bahkan Luhut mengungkapkan dari big data tersebut masyarakat juga tidak ingin Indonesia dalam keadaan susah akibat pandemi Covid-19, namun malah menghaburkan uang demi penyelenggaran Pemilu 2024.

Pasalnya menurut Luhut, Pemilu dan Pilkada serentak 2024 bisa menghabiskan anggaran negara sebesar Rp110 triliun. Karena itu, Luhut megatakan seharusnya partai-partai politik bisa menangkap aspirasi dari masyakat mengenai keenganan Pemilu 2024 itu diselenggarakan.(lum/c9/oni/jpg)

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Klaim Men­teri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan bahwa mayoritas masyarakat mendukung penundaan pemilu dipertanyakan beberapa kalangan. Bahkan, mereka membantah klaim yang disebut berdasar big data itu.

Politikus senior PDI Perjuangan (PDIP) Hendrawan Supratikno mengatakan, partainya menerapkan manajemen demokrasi terpimpin. Jadi, klaim di luar arahan resmi partai tidak perlu dimaknai secara serius. Menurut dia, sikap partainya sudah jelas, yaitu menolak penundaan pemilu. "Sikap partai kami sudah disampaikan Sekjen," tegasnya, Sabtu (12/3).

- Advertisement -

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan, partainya tunduk pada konstitusi yang mengatur pemilu digelar setiap lima tahun. Artinya, pemilu ke depan harus tetap dilaksanakan pada 2024. Terkait pertemuan Megawati Soekarnoputri (ketua umum PDIP) dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Bogor pada 10 Maret lalu, Hasto menegaskan bahwa pertemuan itu tidak membahas pemilu.

Menurut dia, Jokowi dan Megawati memiliki napas yang sama, yaitu taat pada konstitusi. Kepala Bappilu DPP Partai Demokrat Andi Arief mempertanyakan data yang disampaikan Luhut. Menurut dia, hasil survei internal Partai Demokrat menunjukkan bahwa para pemilih Demokrat menghendaki Pemilu 2024. "Jadi, kami mempertanyakan survei versi Pak Luhut," ucap dia.

- Advertisement -

Jika benar ada survei yang menyebut masyarakat mendukung penundaan pemilu, tegas Andi, hal itu tetap tidak boleh diikuti. Pemerintah harus mengedukasi masyarakat dan mengingatkan tentang sejarah politik Indonesia.

Baca Juga:  5.745.713 Pelanggar Prokes Ditindak

Andi juga mengungkapkan bahwa pada 2013 kepuasan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sekitar 74 persen. Kemudian, ketika SBY meninggalkan istana, kepuasan masyarakat mencapai 72 persen. Jadi, saat itu SBY dianggap berhasil dan mendapat apresiasi dari masyarakat.

Menurut survei internal saat itu, ada keinginan rakyat untuk memperpanjang masa jabatan SBY. Namun, hasil riset tersebut tidak dipublikasikan dan tidak dikapitalisasi untuk modal SBY mencalonkan tiga periode. "Kami cegah, bahkan kami tutup semua diskusi terhadap isu mengancam demokrasi yang ingin memperpanjang jabatan SBY," ujarnya.

Ardian Sopa, peneliti LSI Denny JA, juga mempertanyakan data yang disampaikan Luhut. Menurut dia, Luhut perlu menyampaikan sumber data dan metodologi pengambilan data tersebut. "Data itu dari mana dan metodologinya seperti apa? Itu harus jelas," urainya.

Menurut Ardian, Luhut harus berbicara dengan data agar semua pihak bisa mempelajarinya. Hasil survei LSI Denny JA yang dirilis pada 10 Maret lalu menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menolak penundaan pemilu.

Mereka yang menolak sebesar 68,5 persen. Data LSI Denny JA juga menunjukkan bahwa komposisi pro dan kontra isu presiden tiga periode hampir sama dengan isu penundaan pemilu.

Jika dibuat rata-rata nasional, mereka yang menentang isu presiden tiga periode sebesar 70,3 persen. Artinya, lanjut Ardian, dua wacana, yaitu penundaan Pemilu 2024 dan presiden tiga periode, mendapatkan resistansi cukup keras dari publik. "Resonansi penolakan dua wacana tersebut merata di hampir semua segmen pemilih," tegasnya.Sebelumnya, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengaku memiliki data dari rakyat Indonesia yang menginginkan agar Pemilu 2024 ditunda pelaksanaanya. Sehingga wacana penundaan Pemilu 2024 bedasarkan suara dari rakyat Indonesia.

Baca Juga:  Teten Sebut Nama Arwin, Suratno Banyak Tak Tahu

“Kita kan punya big data, dari big data itu 110 juta itu macam-macam dari Facebook dan segala macam, karena orang main Twitter kira-kira 110 juta," kata Luhut.

Luhut menuturkan, dari big data tersebut masyarakat kelas menengah ke bawah menginginkan tidak ingin adanya kegaduhan politik di Indonesia akibat Pemilu 2024. Bahkan masyarakat takut adanya pembelahan, seperti di Pilpres 2019 lalu yang muncul ‘cebong’ dan ‘kampret’.

Bahkan Luhut mengungkapkan dari big data tersebut masyarakat juga tidak ingin Indonesia dalam keadaan susah akibat pandemi Covid-19, namun malah menghaburkan uang demi penyelenggaran Pemilu 2024.

Pasalnya menurut Luhut, Pemilu dan Pilkada serentak 2024 bisa menghabiskan anggaran negara sebesar Rp110 triliun. Karena itu, Luhut megatakan seharusnya partai-partai politik bisa menangkap aspirasi dari masyakat mengenai keenganan Pemilu 2024 itu diselenggarakan.(lum/c9/oni/jpg)

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari