SERING orang mengira saat bayi kaget mendengar bunyi yang berdentang, sudah cukup sebagai petunjuk bahwa sang bayi sudah terbebas dari gangguan dengar. Padahal belum tentu demikian. Kebanyakan orang mengira bahwa gangguan dengar adalah suatu kondisi dimana individu tertentu tidak dapat mendengar sama sekali, telinga yang mati.
Penyebabnya adalah sedikitnya masyarakat yang mengetahui derajat gangguan dengar. Gangguan dengar atau ketulian dapat bersifat ringan, sedang, berat, sangat berat dan tak ada respon sama sekali. Dengan beragamnya derajat gangguan dengar maka kita bisa menemukan bayi yang kaget saat pintu ditutup keras, tapi sering tidak respon bila dipanggil. Atau pada kondisi lain ada yang tartarik dengan film kesukaanya tapi kemampuan bicaranya terlambat dibanding anak seusianya.
Oleh kebab itu sangat penting dilakukan pemeriksaan pendengran saat bayi baru lahir agar kelainan dapat dideteksi sedini mungkin. Pemeriksaan pendengaran bayi baru lahir dikenal dengan nama OAE (Oto Acusticemision). Suatu tes yang yang memberikan gelombang bunyi sehingga bunyi yang didengar akan dipantulkan kembali oleh sel rambut luar rumah siput. Hal ini berhubungan dengan respon fungsi pendengaran. Bila sel rambut luar memberi respon berati rumah siput bekerja dengan baik.
Rumah siput ini berperan penting pada fungsi pendengaran. Pada banyak rumah sakit di kota-kota di Indonesia sudah banyak melakukan pemriksaan skrining pendengaran dengan melakukan OAE ini. Program ini juga sejalan dengan hal yang dicanangkan banyak negara maju di dunia yaitu universal newborn hearing screening.
Pemeriksaan skrining pendengaran ini dilakukan saat akan pulang dari rumah sakit setelah melahirkan dan paling lambat umur 28 hari. Apabila hasil skrining pendengaran tidak bagus, maka akan dilakukan pemeriksaan lebih lengkap pada usia 3 bulan. Selain tes OAE, pada usia 3 bulan ini akan dilakukan pemeriksaa BERA (Brainstem Evoked Respon Auditory). Pemeriksaan yang disebut terakhir ini mengukur bagaimana telinga menerima respon bunyi dan mengirimnya ke otak melalui saraf pendengaran.
Pada pemeriksaan ini dapat diketahui derajat gangguan pendengaran yang dialami si anak apakah ringan, sedang, berat atau tak ada respon. Banyak hal yang menjadi faktor resiko terjadinya gangguan dengar pada bayi dan anak. Secara garis besar dapat dibagi atas tiga bagian. Pertama masa kehamilan. Banyak faktor yang dapat menyumbang terjadinya gangguan dengar pada bayi saat masa kehamilan. Infeksi virus rubella merupakan penyumbang yang cukup banyak untuk terjadinya sindroma rubella kongenital yang mengakibatkan gangguan pendengaran dan juga gangguan pada mata. Virus rublella adalah virus RNA yang menular.
Ibu hamil sering tidak menyadari kalau ia terinfeksi virus rubella, karena tidak bergejala, apalagi terinfeksinya di kehamilan trimester pertama. Oleh karena itu, pemerintah menggiatkan dilakukan vaksin MMR pada anak-anak Indonesia untuk melindungi salah satunya dari infeksi rubella. Vaksin ini tidak saja melindungi anak-anak, juga mencegah penularan virus pada wanita hamil.
Karena sering wanita hamil yang tak bergejala rubella ini mendapat infeksi dari anak-sekitarnya, apakah di rumah, sekolah dan tempat bermain. Infeksi selain rubella, ada infeksi cytomegalovirus, toxoplasmosis, herpes dan siphilis. Hal lain selama hamil dapat berupa kecelakaan berat yang dialami ibu saat hamil, mengkosumsi obat-obat tertentu tanpa resep dokter, termasuk didalamnya jenis jamu-jamuan.
Kedua kondisi saat lahir, apakah lahir prematur, berat badan lahir yang rendah atau tidak menangis saat lahir. Ketiga paska lahir, bila ditemui gedaan anak kuning berat, pernah kejang atau pernah dirawat di runag intensive lebih lima hari. Keadaan gangguan dengar bawaan lahir bersifat sensorineural akibat terjadinya gangguan fungsi pada sel rambut rumah siput.
Rumah siput bertugas mengubah energi bunyi menjadi energi listirk yang kemudian signal ini diteruskan ke otak oleh saraf pedengaran. Sejatinya bukanlah telinga yang mendengar, tapi otaklah yang menterjemah bunyi yang didengar. Adakalanya timbal kondisi rumah siput telinga baik, tapi signal ke otak bermasalah. Sehingga membuat anak sulit untuk mendengar.
Keadaan ini disebut dengan neuropati auditori. Pada tes pendengaran akan didapatkan hasil OAE normal dan BERA nya bermasalah. Apapun kondisinya, baik tuli sensorinueral ataupun neuropati auditori perlu penangannan lanjut agar anak dapat berkembang sesuai yang diharapkan. Bila buah hati anda kurang respon saat dipanggil atau kemampuan bicaranya terlambat dengan anak seusianya, maka segeralah periksakan ke fasilatas kesehatan yang lengkap untuk pemeriksaan pendengrannnya. Deteksi dini adalah tindakan bijak agar anak dapat berkembang sebagaimana mestinya.***
dr. Hidayatul Fitria, Sp.THT-KL, Dokter Spesialis THT RS Awal Bros Pekanbaru