Tiga ''raksasa hijau'' di Provinsi Riau seakan sedang dalam tidur panjang. Dalam terlelap itu, tak jarang dia terbatuk-batuk ketika ''rambut-rambutnya'' dicabut paksa oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab. Atau malah sebagian ''kulitnya'' melepuh dijilati si jago merah.
Laporan Zulkifli Ali, Pekanbaru
Indonesia memiliki kawasan konservasi alam dengan status taman nasional berjumlah 54. Sebanyak 12 taman nasional berada di Pulau Sumatera, dan tiga di antaranya berada di Provinsi Riau.
Total luas kawasan ketiga taman nasional di Riau tersebut adalah 257.496 hektare (ha). Rinciannya, Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang ditetapkan pada 1995 memiliki luas 144.223 ha (berada di Provinsi Riau dan Jambi), Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN/2004) seluas 81.793 ha dan Taman Nasional Zamrud (TNZ/2016) dengan luas 31.480 ha.
Namun keberadaan tiga ''Hulk'' itu seakan tidak ada apa-apanya. Masyarakat tidak menganggap sebagai sesuatu yang penting untuk dijaga dan dirawat. Maklumnya saja karena dirasakan tidak memberi manfaat secara langsung.
Paling hanya oleh penduduk sekitar berguna dengan mengambil kayu-kayu serta memburu flora dan fauna khas di dalamnya. Ataupun membuka sebagian hutan untuk dijadikan lahan kebun.
Sikap kurang pedulian masyarakat terhadap taman nasional tersebut justru menguntungkan para cukong-cukong di balik layar. Pada awalnya dengan mengambil kayu-kayu hutan guna menyuplai industri kecil maupun besar. Modusnya dengan memanfaatkan penduduk sekitar. Aksi yang marak ini biasa disebut pembalakan liar (illegal logging).
Lalu berlanjut dengan membuka lahan perkebunan sawit mulai dari beberapa kapling sampai ukuran berhektare-hektare. Tentu saja sekali lagi ini tindakan ilegal dengan menggunakan oknum-oknum tempatan.
Sebenarnya, penetapan sebuah kawasan menjadi taman nasional oleh pemerintah miliki fungsi tertentu demi keberlangsungan ekosistem di sekitarnya. Sekilas ada beberapa fungsi taman nasional seperti dikutip dari buku Taman Nasional dan Ekowisata (2019) karya Bhayu Rahma (kompas.com 13/12/2020).
Di antaranya 1) Fungsi Pelestarian Keanekaragaman Hayati yang meliputi pemberian sumber daya gen, melindungi spesies, menjaga keanekaragaman ekosistem, dan mendukung proses evolusi.
2) Fungsi Pelestarian Proses Ekologis yang meliputi perbaikan dan pengedaran nutrisi, pembentukan tanah, sirkulasi dan pembersihan udara dan air, mendukung udara global, memberikan keseimbangan air, memberikan oksigen, dan menyerap karbondioksida.
3) Fungsi Pelestarian Sumber Air yang meliputi pengendalian erosi, reduksi banjir lokal, dan regulasi aliran sungai. 4) Fungsi Konsumsi yang merujuk pada pemanfaatan taman nasional oleh masyarakat sekitar. Misalnya masyarakat memperoleh kayu bakar dan makanan untuk menunjang kebutuhan hidup mereka.
5) Fungsi Penelitian dan Pendidikan yang merujuk pada studi mengenai sejarah alam dan keanekaragaman hayati di suatu wilayah. Ada manfaat dari fungsi penelitian ini, yaitu refleksi, identitas, kontinuitas, dan keterlekatan.
6) Fungsi Rekreasi yang merujuk pada fungsi taman nasional yang digunakan untuk tempat wisata dalam bentuk ekowisata. 7) Fungsi Penyangga Bencana yang berhubungan dengan taman nasional yang berada di lokasi rawan bencana.
Misalnya, Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru sebagai daerah penyangga apabila terjadi erupsi vulkanis. Sebagai daerah penyangga, taman nasional mampu meminimalisasi kerusakan yang diakibatkan oleh bencana alam sekaligus mengurangi korban jiwa.
Sebagian besar dari fungsi-fungsi tersebut berjalan dengan sendirinya alias secara alami. Tanpa ada campur tangan manusia fungsi-fungsi tersebut terus berproses. Paling keterlibatan manusia lebih dominan pada aspek pengamanan kawasan taman nasional yang sangat luas tersebut.
Sialnya, pengamanan tersebut di banyak taman nasional tidak maksimal. Kondisi ini tidak lepas dari keterbatasan tenaga pengamanan yang dipercayakan pada Polisi Kehutanan (Polhut) yang bernaung di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI.
Ini fakta yang tak terbantahkan dan terjadi hampir di semua taman nasional. Misal ini diakui oleh Kepala Satuan (Kasat) Polhut Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Ida Rohida (detikcom, 31/5/2021). Wilayah hutan seluas sekitar 24.000 hektare di TNGGP dijaga oleh 43 Polhut. Bagi dia, jumlah tersebut masih kurang. Alasannya, selain luas kawasan yang harus dijaga juga karena tingginya tekanan dari masyarakat.
Menurut Ida, paradigma yang dipakai pemerintah pusat adalah satu Polhut untuk 3.000 ha kawasan. Sementara pihaknya menilai, satu Polhut tidak hanya dihitung dari luas kawasan tugasnya. Tapi juga perlu memperhitungkan faktor tekanan dari masyarakat sekitar kawasan TNGGP.
"Di sini tekanan masyarakat tinggi. Harusnya 1 Polhut untuk 1.000 hektare dan 500 masyarakat, misalnya. Atau seperti Babinsa/Babinkamtibmas, menjaga satu desa," jelas Ida.
Tantangan ini juga dialami dua taman nasional yang ada di Riau, yakni TNTN dan TNBT. Sementara untuk TNZ relatif cukup terjaga dikarekan berada di kawasan konsesi Badan Operasi Bersama PT Bumi Siak Pusako (BOB BSP) dan Pertamina Hulu.
Seperti diungkap Pelaksana Tugas Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi Riau, Fifin Arfiana Jogasara SHut MSi, TNBT dengan wilayah seluas 144.223 ha hanya memiliki 28 Polhut. Sementara TNTN seluas 81.793 ha diawasi oleh 22 Polhut dan 1 PPNS. Sedang TNZ dengan areal 31.480 ha dikawal cukup banyak oleh Polhut yakni 48 orang.
Jika dikalkulasi dengan sudut pandang pemerintah pusat sekalipun, maka tenaga pengamanan untuk TNBT dan TNTN jelas tidak memadai. Setidaknya diperlukan sebanyak 48 Polhut di TNBT. Begitu juga dengan TNTN yang seharusnya memerlukan 27 Polhut.
Fakta di lapangan juga memberi konfirmasi perihal lemahnya pengamanan terhadap dua taman nasional tadi. Sejumlah aktivitas manusia menjadi ancaman utama terhahap keberadaan keduanya. Seperti perambahan liar hutan untuk kebun tradisional maupun modern (perkebunan besar), pembalakan liar, serta perburuan liar terhadap fauna dan flora di dalamnya. Termasuk pula ancaman terbakarnya lahan sengaja ataupun tidak.
Terbaru, TNTN yang berada di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Indragiri Hulu tersebut, menjadi bukti taman nasional yang sangat parah tingkat gangguannya. Pada Senin (24/1/2022), dirilis kondisi mengenaskan TNTN itu. Dari total luas area 81.793 ha, kini hanya tersisa 13.750 ha kawasan hutan atau hanya sekitar 16,8 persen. Dengan kata lain, 40.469 ha dari total kawasan konservasi itu sudah berubah menjadi kebun sawit.
Seperti dijelaskan Kepala Balai TNTN Heru Sutmantoro SHut MM, berdasarkan perhitungan pihaknya, luas kebun sawit ilegal mencapai sekitar 50 persen dari total luas lahan TNTN. "Ini valid berdasarkan hasil perhitungan dan analisis kita," sebut Heru.
Mengutip dari situs ksdae.menlhk.go.id, ancaman sama juga berlaku di TNBT. Awalnya, TNBT mempunyai 84.042 ha areal penyangga berupa tutupan hutan alam pada 2009, dan merosot menjadi 34.814 ha saja. Pada 1980-an, ada sekitar 400 ekor gajah yang hidup dan tak sampai 150 ekor tersisa dalam tiga dekade kemudian.
Menyusutnya kawasan ini juga mengakibatkan peningkatan konflik antara manusia dan gajah Sumatera empat kali lipat selama 10 tahun terakhir. Menurut Frankfurt Zoological Society, 346 konflik pada tahun 2018 yang mengakibatkan rusaknya 9.161 pohon karet dan sawit, 2.475 batang tanaman dan pondok, serta kematian seekor gajah.
Belajar dari Pengalaman AS
Yellowstone yang terhampar dari negara bagian Wyoming, Montana, hingga Idaho di Amerika Serikat, adalah taman nasional pertama di dunia yang diresmikan pada 1872. Berikutnya sejumlah kecil negara mengikuti langkah tersebut.
Seperti Taman Nasional Royal pada 1879 (Australia), dan Taman Nasional Banff (dulu dikenal sebagai Taman Nasional Gunung Rocky) pada 1887 (Kanada). Selandia Baru memiliki taman nasional pertamanya juga pada 1887. Dan di Eropa taman nasional pertama diresmikan pada 1910 di Swedia. Usai Perang Dunia II banyak taman nasional diresmikan di seluruh dunia (Wikipedia).