(RIAUPOS.CO) — Ucapan duka cita pun bisa bermasalah. Harus dicabut. Yang menulis ‘duka cita’ itu bapak-ibunya. Yang meninggal itu anak laki-lakinya: Connor Betts. Bujangan. Umur 24 tahun. Connor meninggal ditembak polisi. Untuk mencegah agar yang tewas tidak lebih banyak lagi. Saat ditembak Connor baru saja menembaki sebuah diskotik. Yang membuat 9 orang tewas. Termasuk Megan, adik perempuannya sendiri.
Yang luka-luka lebih banyak lagi. Apalagi kalau polisi tidak gerak cepat. Bisa puluhan yang tewas. Senjata yang di sandang Connor otomatis. Pelurunya masih banyak. Tiap akhir pekan memang sering ada patroli polisi. Di pusat hiburan malam di kota kecil Dayton itu. Di antara Colombus dan Cincinnati. Di negara bagian Ohio. Saya pernah bermalam di Dayton. Dalam perjalanan darat dari Kansas ke Boston.
Connor baru beraksi 30 detik. Sudah begitu banyak yang tewas. Polisi cepat menumbangkannya. Mayatnya diurus oleh rumah mayat. Demikian juga mayat adiknya. Juga mayat-mayat yang lain. Rumah mayat itu bernama ‘Conner & Koch’. Perusahaan swasta. Yang usahanya di bidang pengurusan kematian. Mulai dari mengurus mayat sampai penguburannya. Juga punya bisnis sampingan: jualan peti mati, bunga, jasa penulisan kata-kata duka cita sampai jamuan menjelang penguburan. Termasuk mengurus pastor dan pemakamannya.
Rumah mayat itu punya website. Di situlah semua info tentang pemakaman dibeber. Termasuk ucapan-ucapan duka cita. Atau kata-kata kenangan dari keluarga. Salah satunya dari Stephen dan Moira Betts, orang tua sang pembunuh massal. Di kata kenangan itu tertulis pujian untuk sang anak. ‘Ia anak laki-laki yang menyenangkan. Ramah dan cerdas. Serta memiliki mata biru yang memukau. Dan senyum yang selalu bersahabat’.
Karuan saja ribut. Bagaimana bisa. Anak yang begitu kejam digambarkan begitu baik. Pemilik rumah mayat itu akhirnya menjelaskan. Bahwa kata-kata itu sudah dicabut dari website. Brian Koch, sang pengusaha, berkilah: itu kata kenangan biasa dari orang tua ke anaknya. Memang begitulah biasanya. Tidak ada kata kenangan yang menyebut almarhum telah meninggal karena dibunuh. Atau bunuh diri. Atau meninggal di kamar hotel bersama pacar gelapnya.
Tapi tetap saja orang tua Connor dianggap kurang sensitif. Mereka pun bergegas minta maaf. Mencabut obituarinya. Tapi banyak juga yang membelanya. Misalnya Ella Elianor. “Saya ikut berduka. Semua orang tua mencintai anaknya, meski tidak selalu menyetujui perbuatannya,” tulis Ella di website itu.
Atau yang ditulis Kris Horlacher: ‘Anda tidak seharusnya minta maaf. Semua orang tua tahu sisi kebaikan dari anak mereka. Tetaplah kenang yang baik-baik itu darinya. Untuk selamanya. Tyler Larade justru menyesalkan mengapa kenangan yang asli itu dicabut. Kata-katanya begitu baik. Ditulis dengan sangat indah. Yang bisa menunjukkan betapa dalam cinta orang tua pada anak mereka.
Tentu yang satu ini tidak dicabut. Yang kata kenangan untuk Megan, anak wanitanya. Yang tewas tertembak kakaknya. Di website itu Megan juga digambarkan dengan sangat indah. Yakni sebagai gadis cantik berumur 22 tahun. Pintar. Cerdas. Penyayang. Riang. Ramah dan mudah senyum. “Dunia akan lebih gelap tanpa senyumnya,” tulis sang ibu.
Diceritakan juga, sebentar lagi Megan lulus universitas. Mestinya. Untuk ilmu tanah. Sejak kecil hobinya mengumpulkan bebatuan. Cita-citanya bisa bekerja di NASA, lembaga antariksa Amerika. Lalu berharap bisa ikut hidup di planet lain. Kelak. Planet lain itu terlalu cepat datangnya.
Megan digambarkan sangat aktif. Ikut kegiatan apa saja: pramuka, menyanyi, renang, menulis puisi, cerpen, dan ikut teater. “Megan selalu memberi ucapan ulang tahun dengan karya kerajinan yang dibuatnya sendiri,” tulis sang ibu.
Kelak, kalau sudah reda, rasanya, obituari untuk sang kakak pun bisa dimunculkan lagi. Menandai bahwa cinta ibu tidak sepanjang galah. Saat ini situasinya memang masih panas. Penembakan itu baru terjadi awal Agustus ini. Masih hangat.
Lebih lagi ada kejadian serupa di tempat-tempat lain. Hanya beberapa jam sebelum di Dayton itu terjadi penembakan masal di El Paso. Yang korbannya lebih besar: 22 orang tewas. Saat itu para korban lagi berbelanja di mall terbesar kota itu: Walmart. Jam 10 pagi. Di kota El Paso, Texas paling Selatan –berbatasan dengan Meksiko. Saya pernah belanja di Walmart ini.
Yang di El Paso itu motifnya jelas: anti imigran. Anti orang asing. Khususnya dari Meksiko. Itu diketahui dari manifesto yang ia tulis. Sepanjang 2.300 kata. Yang sudah di-posting di Facebook-nya. Dengan nama samaran: 8chan. Manifesto itu mirip dengan yang terjadi di masjid Christchurch di Selandia Baru tahun lalu.
Sebagian publik menuduh itu gara-gara Presiden Donald Trump. Yang kebijakan imigrasinya sangat keras. Dan suka pidato berbau rasialis. Penguasa seperti memberi angin. Banyak kata dalam manifesto itu mirip dengan yang sering diucapkan Trump, secara lisan maupun lewat Twitter.Tapi si penembak tidak mau dikaitkan dengan Trump. “Aksi itu semata hanya untuk mempertahankan negara dari bergantinya budaya dan etnik,” tulisnya. “Jangan ada yang menuduh ini karena Trump,” tambahnya.
Anak itu masih muda. Umur baru 22 tahun. Namanya Patric Crusius. Rumahnya sangat jauh dari El Paso, 800 km. Ia hidup bersama orang tuanya di kota kecil Allen, dekat Dallas. Patric harus naik mobil 9 jam untuk ke El Paso. Misi pembunuhan itu begitu suci, anggapnya. Patric kini di tahanan FBI. Badannya kurus.
Berkaca mata dengan frame dari kawat. Ia menganggap masuknya imigran dari Meksiko sebagai invasi. Jumlahnya jutaan. Kemampuan beranaknya pun banyak. Tapi akarnya lebih dalam dari itu: hasil penelitian. Yang dipublikasikan secara luas. Ilmiah. Bahwa suku kulit putih akan menjadi minoritas. Di tahun 2040 nanti. Dan yang akan mayoritas itu adalah Hispanic. Suku keturunan Meksiko. Atau dari Amerika Latin. Kulit hitam pun akan kalah.
Kajian itu dianggap serius. Memang serius. Lalu jadi diskusi publik. Di mana-mana jadi topik pembicaraan: kulit putih akan hilang. Ditambah rumor. Dibumbui sentimen. Salah satu korban di Walmart itu memang keturunan Meksiko. Namanya Antonio Basco. Yang tewas adalah istrinya, Margie Reckard.
Mereka hanya berdua. Tidak punya anak. Tidak punya saudara. Tidak ada yang melayat istrinya. Atau membantu penguburannya. Mayat sang istri ditampung di rumah pemakaman Perches Funeral.
Tiap hari Basco ke rumah duka itu. Sendirian. Siang dan malam. “Kami sudah kawin selama 22 tahun. Selama itu pula kami hanya terus berdua. Kami sudah berjanji sehidup semati,” ujar Basco. Ia mengaku tidak tahu harus hidup bagaimana nanti. Di umurnya yang sudah 63 tahun. Yang secara fisik sudah seperti 75 tahun.
Semua kata melankolisnya itu dimuat di website rumah pemakaman itu. Puluhan ribu respons berdatangan. Ikut berduka. Dan bersimpati. Kini menjadi begitu banyak yang melayat istrinya. Lewat layar komputer atau HP-nya.***