YANGOON (RIAUPOS.CO) – Setidaknya lima pastor tewas dibunuh dan empat lainnya ditahan oleh junta militer Myanmar sejak kudeta berlangsung pada Februari 2021 lalu.
Selain menyasar pejabat sipil dan aktivis, berbagai tokoh publik yang kedapatan menentang kudeta juga ikut menjadi target penangkapan junta militer, termasuk pemuka agama seperti pastor.
Wakil Eksekutif Direktur Kelompok Hak Asasi Manusia di negara bagian Chin, Salai Za Op Lin, mengatakan, sebagian besar pendeta yang menjadi korban berasal dari Kota Kanpetlet, Mindat, Matupi dan Thantlang.
"Laporan kami menunjukkan ada sembilan pemimpin Kristen, termasuk pastor, yang menderita di tangan junta. Lima dari sembilan orang ini dibunuh," tutur Lin kepada Radio Free Asia seperti dilansir AFP.
"Peristiwa yang sama terjadi di wilayah Magway, di luar Negara Bagian Chin," tambahnya.
Salah satu pastor 30 tahun dari Desa Otpo di Kanpetlet, Um Kee, ditangkap di rumahnya pada 11 Desember. Dua hari kemudian, warga menemukan jenazahnya di dekat Hotel Pan Laybyay.
Seorang warga yang berbicara secara anonim kepada RFA mengatakan bahwa Um Kee ditusuk di bagian abdomen dan ditembak di kepala.
"Um Kee dibawa junta militer untuk diinterogasi. Kami tahu ia ditangkap. Badannya ditemukan di samping jalan keesokan harinya. Abdomennya diiris terbuka akibat luka pisau, dan dia memiliki luka besar di kepala," kata warga tersebut.
Selain Um Kee, seorang pastor dari Desa Thekkedaung, Salai Ngwe Kyar, ditangkap di Saetottara, Magway, pada 6 Desember lalu karena dituduh sebagai anggota Kelompok Perlawanan Sipil (PDF) anti-junta militer. Masyarakat lokal mengatakan ia meninggal dunia di Rumah Sakit Magway pada 9 Desember akibat luka selama interogasi.
Junta militer juga menangkap Naing Kone, pastor dari desa Ngalai di Matupi pada 23 September. Keluarganya baru tahu kematian Kone pada 17 November, menurut warga lokal.
Pada 19 September, pendeta yang membantu memadamkan kebakaran di sebuah rumah di Thantlang ditembak mati. Kebakaran itu terjadi setelah bentrok antara junta militer dan anggota militan suku Chin (CDF).
Yang Mulia Ngun Htaung Man, Kepala Asosiasi Baptis Chin, menyebut pembunuhan pemimpin agama ini tidak dapat diterima.
"Hal seperti ini seharusnya tidak terjadi. Ini menistakan agama dan menimbulkan masalah rasis. Agama harus diakui dengan setara dan dihargai. Pandangan kami adalah aturan dan regulasi hukum internasional harus diobservasi," tutur Ngun.
Sementara itu, juru bicara junta militer Myanmar, Mayor Jenderal Zaw Min Tun, membantah pembunuhan pastor di tangan pasukannya. Ia juga mengklaim laporan bahwa pemuka agama Kristen dibunuh junta militer merupakan kabar bohong.
Zaw mengklaim para pastor itu terbunuh dalam baku tembak antara pasukan pemerintah dan militan Chin.
"Suatu hari ada penembakan. Pemimpin Kristiani datang ke area kejadian dan terbunuh. Kami tidak tahu peluru siapa yang menyebabkan ia tewas. Ia sudah dikubur," tutur Zaw lagi.
"Setelahnya, ada kabar bahwa cincin yang ia pakai diambil dari jarinya di tempat penguburan. Kami bisa membuktikan kami tidak melakukan hal itu. Penguburan dilakukan oleh anggota gereja. Tuduhan seperti ini akan selalu ada. Kami ingin menjadi teman bagi semua agama," jelas Zaw.
Myanmar dilanda kekacauan sejak junta militer melakukan kudeta pada pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi. Sejak itu, bentrok antara junta militer dan kelompok perlawanan sipil yang menentang kudeta tak terhindarkan.
Sejauh ini sudah lebih dari 1.000 orang tewas akibat bentrokan antara warga penentang kudeta dan pasukan junta militer menurut laporan kelompok hak asasi manusia di Myanmar.
Sumber: AFP/Free Asia/CNN/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun