JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Ketidakpastian global, termasuk berlanjutnya aksi unjuk rasa di Hongkong, terus membawa rupiah ke jalur pelemahan.
Berdasar data Bloomberg, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika (USD) tercatat melemah sejak 25 Juli 2019. Mata uang Garuda ditransaksikan menuju level Rp14.000 per dolar AS.
Pada penutupan perdagangan kemarin (13/8), kurs rupiah ditutup 14.325 per USD atau melemah 0,53 persen dari penutupan hari sebelumnya. Sepanjang hari kemarin, rupiah diperdagangkan dengan kisaran 14.267-14.334 per USD.
Bukan hanya rupiah yang mengalami depresiasi terhadap dolar AS. Mata uang negara-negara Asia lainnya juga melemah. Di antaranya, Filipina, Malaysia, Singapura, Tiongkok, dan India.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah menuturkan, seluruh mata uang negara berkembang atau emerging markets memang melemah. Penyebabnya aksi flight to quality. Investor berlomba-lomba menempatkan dana di tempat yang aman. “Ada beberapa hal yang memicu flight to quality yang akhirnya membuat rupiah melemah,” ujar Nanang kemarin.
Menurut Nanang, salah satu pemicu aksi itu adalah pelemahan tajam mata uang Argentina, peso, pasca pemilihan presiden putaran pertama. Pada pemilu tersebut, besar kemungkinan pemimpin oposisi Alberto Fernandez yang dikenal pasar sebagai tokoh pengusung capital control di Argentina menang. “Hal tersebut memperbesar kemungkinan memburuknya krisis ekonomi di Argentina yang dapat menyeret negara-negara Latin lainnya, terutama Brasil,” urai dia.
Nanang menambahkan, tekanan kepada mata uang regional, termasuk rupiah, juga dipengaruhi berlanjutnya unjuk rasa di Hongkong. Aksi tersebut memperbesar kemungkinan bagi pemerintah Tiongkok untuk melakukan intervensi politik.
Pasar, lanjut Nanang, tampaknya terkejut dengan kondisi politik di Argentina dan aksi unjuk rasa di Hongkong. Padahal, dua peristiwa itu tidak berkaitan langsung dengan kondisi ekonomi domestik.
Nanang menegaskan, BI akan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Di antaranya, melakukan intervensi pasar dengan membeli surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder. Khususnya apabila terjadi aksi jual berkelanjutan oleh investor asing sehingga dapat menekan rupiah. “BI juga merespons dengan menjaga rupiah di pasar spot dan DNDF (domestic non deliverable forward, Red) agar pelemahan rupiah lebih terkelola dan tidak melemah terlalu tajam,” tandasnya.
Sementara itu, kemarin sore Presiden Joko Widodo memanggil sejumlah menteri ekonominya. Dalam rapat terbatas tersebut, secara khusus ada bahasan soal pelemahan nilai tukar yuan. Juga dinamika di sekitarnya dan potensi risiko pelemahan itu terhadap perekonomian Indonesia.
Menkeu Sri Mulyani menjelaskan, sorotan tertuju pada pelemahan nilai tukar yang mencapai 7 yuan per USD. “Apakah ini dianggap sebagai awal terjadinya persaingan dari sisi currency,” terang dia setelah ratas.
Belum lagi pengaruh lain seperti dinamika kebijakan dalam negeri AS antara Federal Reserve dan trade policy dari Presiden AS Donald Trump. Juga risiko yang muncul dari beberapa negara emerging lain seperti Argentina, Brasil, Meksiko, hingga Hongkong.
Suka atau tidak suka, pengaruh global tersebut, papar dia, akan terasa di Indonesia. “Entah dalam bentuk nilai tukar rupiah yang terpengaruh, indeks harga saham, bond yield (imbal hasil obligasi, Red), atau SBSN (surat berharga syariah negara, Red) kita,” lanjut dia. Karena itu, selain membahas risiko, yang tidak kalah penting adalah menentukan kebijakan untuk menghadapinya.
Menurut menteri yang akrab disapa Ani tersebut, yang terpenting saat ini adalah mempertahankan faktor fundamental yang bisa membuat perekonomian Indonesia tetap tumbuh. Terutama mempertahankan prtumbuhan ekonomi di atas 5 persen tanpa menimbulkan kerapuhan. Apalagi, lingkungan global saat ini begitu dinamis.
Sumber: Jawapos.com
Editor :Edwir