Pandemi Covid-19 yang melanda dunia hingga ke Indonesia tak menghalangi untuk berinovasi. Itulah yang dilakukan Kilang Pertamina RU II Sungai Pakning, Kabupaten Bengkalis, Riau. Di tengah tantangan turunnya demand BBM nasional, ikhtiar lainpun dipikir dan dilaksanakan, hasilnya cukup menggembirakan. Kilang ini mampu memeroduksi Marine Fuel Oil Low Sulfur (MLO). Produksi ini telah memenuhi standar internasional (ISO 8217).
Laporan GEMA SETARA, Pekanbaru
Kilang Pertamina Internasional Sungai Pakning berpaut jarak sekitar empat jam perjalanan dengan kendaraan roda empat dari ibukota Provinsi Riau, Pekanbaru. Tepatnya kilang ini berada di Kecamatan Bukit Batu, Bengkalis. Kilang ini letaknya sangat strategis karena menghala (berhadapan, red) langsung dengan jalur pelayaran terpadat di dunia, Selat Melaka.
Mengutip Wikipedia Selat Malaka merupakan selat yang terletak di antara Semenanjung Kra (Thailand, Malaysia, Singapura) dan Pulau Sumatra, Indonesia (Aceh, Sumatra Utara, Riau dan Kepulauan Riau).
Dari segi ekonomi dan strategis, Selat Malaka merupakan salah satu jalur pelayaran terpenting di dunia, sama pentingnya seperti Terusan Suez atau Terusan Panama. Sebanyak 50.000 kapal melintasi Selat Malaka setiap tahunnya, mengangkut antara seperlima dan seperempat perdagangan laut dunia. Sebanyak setengah dari minyak yang diangkut oleh kapal tanker melintasi selat ini, pada 2003, jumlah itu diperkirakan mencapai 11 juta barel minyak per hari, suatu jumlah yang dipastikan akan meningkat mengingat besarnya permintaan dari Tiongkok.
Melihat lokasi yang strategis dan peluang yang ada dimanfaatkan oleh PT Kilang Pertamina Internasional Unit Sungai Pakning. Inovasi baru terciptakan, pundi-pundi pendapatan pun bakal mengalir deras mengisi kas negara.
Inovasi dan produk baru yang dihasilkan tersebut disebut dengan Marine Fuel Oil (MFO) Low Sulfur (LS). Sebelumnya, kilang ini hanya memeroduk produksi berupa naphta, kerosene, ADO, dan residu. "Saat ini bertambah dengan satu produk baru yaitu MFO Low Sulfur," ujar Manager Production PT Kilang Pertamina Internasional Unit Sungai Pakning, Antoni R Doloksaribu.
Produk ini diproduksi oleh Kilang Pertamina Sungai Pakning dengan melihat beberapa potensi yang ada terutama dalam menghadapi pandemi. Produk BBM mengalami penurunan pada masa pandemi, oleh karena itu Kilang Sungai Pakning kemudian berupaya memeroduksi MFO Low Sulfur yang sesuai dengan spesifikasi internasional dan lebih ramah lingkungan.
"Kami dari Kilang Pertamina Unit Sungai Pakning melakukan kajian hingga persiapan strategi dalam memeroduksi MFO," ujarnya.
Menurut Antoni lagi, MFO ini merupakan bahan bakar yang digunakan oleh kapal. Semakin besar kapal, semakin besar pula tenaga yang dibutuhkan. MFO Low Sulfur yang diproduksi oleh Kilang Sungai Pakning ini dapat memberikan energi dan kecepatan yang besar sehingga lebih efisien bagi kapal.
"Produk ini merupakan inovasi kebanggaan bagi Kilang Sungai Pakning. Produksi MFO ini berhasil dalam penghematan energi dan meraih gross tertinggi di antara kilang lainnya. Hal ini juga berdampak bagi negara melalui kegiatan ekspor kami dilihat melalui peran Kilang Sungai Pakning sebagai penyumbang devisa terbanyak di Kabupaten Bengkalis," ujarnya.
Semoga produksi ini berjalan lancar, semakin berkembang, sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih baik lagi bagi masyarakat sekitar.
Memenuhi Standar Internasional
Jr Process Engineer Ervandy Haryoprawironoto, MFO merupakan bahan bakar minyak yang banyak digunakan untuk pembakaran langsung pada industri besar dan digunakan sebagai bahan bakar untuk steam power station.
"MFO LS (Marine Fuel Oil Low Sulfur) merupakan bahan bakar minyak jenis residu yang banyak digunakan pada industri dan transportasi laut," ujarnya lagi.
MFO sendiri merupakan bahan bakar minyak yang tidak termasuk dalam jenis distilate tetapi masuk ke dalam jenis residu yang lebih kental pada suhu kamar. Teksturnya sendiri berwarna hitam pekat dan tingkat kekentalannya lebih tinggi dibanding minyak diesel.
Kilang RU II SPK berhasil memeroduksi MFO LS yang telah memenuhi standar internasional (ISO 8217) sebesar 400 ribu barrel pada periode Agustus-September 2021 dengan tujuan pasar ekspor. Kemudian, pada Oktober 2021 memeroduksi sebanyak 600 ribu barrel, November 600 ribu barrel, Desember sebanyak 800 ribu barel.
"Produksinya akan kita tingkat. Untuk tahun 2022 produksi ditargetkan sebanyak 800 ribu barrel dan tahun 2023 mendatang jumlah produksinya ditargetkan mencapai 1 juta barrel," ungkapnya.
Dia menambahkan mengapa pihaknya melakukan inovasi ini, pertama adanya alih kelola Blok Rokan dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) ke Pertamina dengan memanfaatan excess crude Duri menjadi MFO Low Sulfur yang berpotensi mendatangkan keuntungan bagi PT Kilang Pertamina Internasional
Kedua, lokasi strategis di mana lokasi Kilang RU II SPK dekat dengan pasar internasional, Selat Melaka, ketiga, produk yang dihasilkan ramah lingkungan. "Kita mengetahui International Maritime International (IMO) memperketat batasan kandungan sulfur dari 3.5 persen menjadi 0.5 persen," ujarnya.
Keempat, produk ini menghasilkan profit di kala pandemi Covid-19 saat ini. Inovasi kilang RU II SPK untuk kontribusi profit PT KPI di tengah lesunya demand BBM nasional akibat pandemi Covid-19
Dia menyebut, kualitas produk MFO LS yang dihasil RU II Sungai Pakning ini cukup baik. Batasan spesifikasi kandungan sulfur pada produk MFO diturunkan dari 3.5 persen menjadi 0.5 persen yang diterapkan mulai 2020.
"Tantangan ini mampu dijawab Kilang RU II SPK yang telah berhasil menghadirkan produk MFO kualitas tinggi dan lebih ramah lingkungan," ujarnya.
Dia mengatakan, MFO Low Sulfur diproduksi dari Crude Duri yang telah melalui serangkaian proses rekayasa engineering di Unit CDU SPK, tanpa modifikasi pada fasilitas pengolahan yang sudah terpasang.
PT Kilang Pertamina Internasional bergerak cepat merespons tantangan turunnya demand BBM Nasional akibat pandemi Covid-19 dengan berinovasi mengubah pola operasi Kilang RU II SPK dari Produksi BBM ke Produksi MFO Low Sulfur
"Kilang RU II SPK terus melakukan upaya peningkatan kapasitas produksi untuk menyerap peluang pasar MFO yang masih cukup tinggi baik domestik maupun internasional," ujarnya.
Tantangan ke depan yang akan dihadapi, menurutnya lagi berupa perbaikan berkelanjutan untuk meningkatkan kapasitas produksi serta optimasi produk intermedia antar kilang untuk memperoleh profit yang lebih tinggi.
Pangsa Pasar Besar
Antoni R Doloksaribu menambahkan, pangsa pasar untuk produk MLO LS ini di dunia cukup besar sekali. Peluang ini yang dimanfaatkan pihaknya, terlebih lagi demand BBM nasional yang menurun karena pandemi Covid-19.
"MFO ini produk sampingan yang bisa kita manfaatkan. MFO itu kalau kita lihat warnanya hitam tidak sama dengan BBM jenis lainnya, namun untuk pangsa pasar internsional dia cukup gede (besar, red)," ujarnya.
MFO LS yang diproduksi Kilang Pertamina Sungai Pakning memang dipasarkan untuk internasional, mengapa karena ada peluang 1,5 juta barrel untuk pasar internasional, sekarang Pertamina bisa tidak memenuhi kebutuhan pasar internasional tersebut.
"MFO yang kita produksi untuk pasar internasional, mengapa kita punya kelebihan yang selama ini kita jual rendah nilainya. Mengapa nilai jualnya rendah, karena selama ini kita tidak memenuhi spesifikasi internasional, nah MFO LS yang diproduksi Pertamina Sungai Pakning sudah memenuhi spesifikasi internasional, di antaranya terkait penggunaan BBM yang ramah lingkungan " ujarnya.
Terkait harga jual per barelnya, Antoni R Doloksaribu mengatakan itu rahasia perusahaan. "Harga perbarel? Nah itu dia sekarang, rahasia perusahaan kali ya. Saya dari tadi mau jawab itu, tapi janganlah, itu rahasia perusahaan," ujarnya.
Untuk MFO untuk keperluan lokal berapa barel, dia mengatakan tidak banyak. "Untuk lokal tidak banyak, angkanya saya tidak begitu hafal, tapi untuk pemenuhan untuk dalam negeri gampang, kami akan sanggup memenuhi," ujarnya.***