Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Mantra dan Umbai Lalat Putih Sri Majun

Sebagai kearifan lokal yang banyak dikenal, Manumbai memiliki makna spesial. Apakah maknanya? Budayawan Riau, GP Ade Dharmawi mencatatnya dari berbagai sumber secara rinci. Inilah makna itu.

(RIAUPOS.CO) – MENUMBAI Lebah suatu tradisi masyarakat Riau yang masih bertahan hingga kini. Secara tradisi lebah diberi julukan “Lalat Putih Sri Majun” karena lebah adalah jenis serangga sebagai lambang rezeki. Ia memberikan madu yang berkhasiat untuk obat bermacam penyakit. Mencari madu merupakan profesi bagi seorang atau sekelompok orang. Lebah dalam jumlah ribuan dalam satu kelompok dipimpin “ratunya” tinggal di pohon sialang yang rindang dan tinggi.

Untuk mengambil madunya diperlukan usaha memanjat pohon sialang. Kegiatan tersebut disebut dengan “manumbai”. Manumbai berasal dari kata “umbai” yaitu keadaan sebuah tali yang berada di atas dengan ujungnya terkulai ke bawah. Tali yang tergantung selalu disebut terumbai atau terjulai. Upacara tradisi manumbai yaitu adalah tradisi pengambilan madu di pohon sialang diturunkan dengan tali yang terulur ke bawah.

Upacara manumbai madu lebah dilaksanakan di malam hari saat bulan gelap dengan maksud agar lebah tak dapat melihat pemanjat.

Penumbai terdiri dari:
1). Juragan tua  adalah orang yang telah berprofesi lama, banyak pengalaman dan telah menguasai ilmu manumbai luar dalam. Ia bertanggung jawab atas keberhasilan dan keselamatan para pembantunya. Tugasnya melakukan penyemahan lokasi manumbai agar terhindar dari makhluk gaib dan binatang hutan.

 2). Juragan muda terdiri dari seorang atau beberapa orang yang bertugas membantu juragan tua, menyiapkan segala keperluan manumbai, seperti membuat tunam (suluh yang terbuat dari seludang kelapa yang kering), membuat semangkat (tangga bersambung utk memanjat), menebas dan membersihkan pangkal pohon sialang, membuat para-para tempat memeras sarang lebah. Menyiapkan tali, ember tempat madu. Yang paling utama tugasnya memanjat dan menurunkan madu.

3). Tukang sambut terdiri dari beberapa orang yang bertugas menyambut timba berisi madu kemudian memeras sarang lebah hingga mendapatkan madu.

Pohon sialang dianggap pohon sakti, dimiliki dan dihuni oleh makhluk gaib seperti mambang kayu, jembalang tanah, bahkan juga orang bunian. Dalam pelaksanaan manumbai juragan tua membaca mantra-mantra untuk membujuk penghuni pohon sialang. Sesudah upaya membujuk selesai, maka dimulailah proses pengambilan madu. Semangkat dipasang dan juragan muda pun memanjat. hasil madu yang diperoleh di bagi sekalian juga kepada persukuan yang memiliki wilayah pohon sialang.

Inti upacara tradisi menumbai mengambil lebah pohon sialang (pohon yang berpotensi dan sering dijadikan sarang oleh lebah) adalah pada “mantra” yang dibaca.  Mantra bisa diartikan sebagai susunan kata yang berunsur puisi (seperti rima dan irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain.
Dalam sastra Melayu lama, kata lain untuk mantra adalah jampi, serapah, tawar, sembur, cuca, puja, seru dan tangkal. Mantra termasuk dalam genre sastra lisan yang populer di masyarakat Melayu, sebagaimana pantun dan syair. Hanya saja, penggunaannya lebih eksklusif, karena hanya dituturkan oleh orang tertentu saja, seperti pawang dan bomoh (dukun).
Menurut sebagian kalangan orang Melayu tradisional, pembacaan mantra diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib untuk membantu meraih tujuan-tujuan tertentu.

Secara umum, mantra dapat dibagi ke dalam empat jenis berdasarkan tujuan pelafalannya, yaitu:
(1) mantra untuk pengobatan;
(2) mantra untuk ‘pakaian’ atau pelindung diri;
(3) mantra untuk pekerjaan; dan
(4) mantra adat-istiadat.

Dari segi bentuk, mantra sebenarnya lebih sesuai digolongkan ke dalam bentuk puisi bebas, yang tidak terlalu terikat pada aspek baris, rima dan jumlah kata dalam setiap baris.

Dari segi bahasa, mantra biasanya menggunakan bahasa khusus yang sukar dipahami. Adakalanya, dukun atau pawang sendiri tidak memahami arti sebenarnya mantra yang ia baca; ia hanya memahami kapan mantra tersebut dibaca dan apa tujuannya.

Baca Juga:  DKPP Didesak Berhentikan Ketua KPU RI

Dari segi penggunaan, mantra sangat eksklusif, tidak boleh dituturkan sembarangan, karena bacaannya dianggapa keramat dan tabu. Mantra biasanya diciptakan oleh seorang dukun atau pawang, kemudian diwariskan kepada keturunan, murid ataupun orang yang ia anggap akan menggantikan fungsinya sebagai dukun. Kemunculan dan penggunaan mantra ini dalam masyarakat Melayu, berkaitan dengan pola hidup mereka yang tradisional dan sangat dekat dengan alam.

Kegiatan menumbai di Pelalawan dipimpin oleh seorang yang dituakan yang disebut dengan “Juagan Tuo” (juru panjat). Juragan Tuo dibantu oleh beberapa juru panjat lainnya yang disebut “juagan mudo” yang bertugas membantu juragan tuo pada saat menyapu lebah, dan di bawah dibantu pula beberapa orang sebagai pengumpul timbo yang berisi madu yang diturunkan melalui tali ke bawah.

Upacara menumbai ini dilakukan pada malam hari di saat bulan gelap. Terdapat suatu kepercayaan bahwa di pohon sialang selalu didiami pula oleh makhluk halus dan waktu melakukan menumbai sering pula berhadapan dengan hal-hal yang ghaib, maka untuk itu pada setiap tahapan memanjat pohon selalu diirngi dengan membaca monto (mantera), dengan tahapan sebagai berikut :

Tahap Satu:
Dipangkal pohon sebelum memanjat didendangkan monto oleh Juagan Mudo:
 
Papat-papat tanah ibu
Mai papat di tana tombang
Nonap-nonap cik dayang tidou
Juragan Mudi di Pangkal Sialang.

 
Tang Ketutang Losong Batu Batang Kompe dodapnyo ome Batang sialang lindunganku Dilupo aku takut takome.
 
Nempuing pait ongkau pait
Disombou an ke mato ai
Ja an ditogou juagan nak naek K
atokan anak tupai belai.

 
Ritual ini dilakukan dengan memusatkan pikiran menyatu dengan pohon sialang dan mulailah memanjat tangga panjang sampai ke dahan pertama yang disebut dengan Jombang.
 
Tahap dua:
Dari dahan I (Jombang) terus ke atas yang disebut dengan Balai Tengah, maka Juagan Mudo melanjutkan pembacaan mantera, yaitu :

Mengombang kemano obung
Puting beliung samo tonga
Tabik aku dahan jombang
Aku nak naik ke bolai tonga.

 
Lalu juragan terus naik ke dahan yang lebih tinggi, dimana di situ terdapat sarang lebah yang dituju (yang disebut dengan balai tonga).
 
Tahap tiga:
 Setelah sampaidi sarang lebah, sebelum mengambil madu, perlu dibaca mantera memuji lebah tersebut, yaitu :

Balai Tonga duo eto
Tigo balai talendak bumi
Letak bandan poning kepalo
Menengok cantiknyo balai ini

 
Masak bua kombang mani
Masak sebutei di jaut ungko
Kami betomu si itam mani
Mengulang daa kemuko.

 
Setelah itu Juagan Mudo menyapu lebah dengan asap tunam ke sekeliling sarang lebah lalu mulai lagi membaca mantera dengan maksud agar lebah pergi.

Ceocap tobang kelaman
Tobang meulang-ulang ke pintu
Menyampaikan ucap ajo Sulaiman
Menyapu bola penunggu pintu.

Jika masih ada lebah yang belum mau pergi maka dilanjutkan pembacaan mantera agar semua lebah pergi meninggalkan sarang :

Anak Buayo mudik mendudu
Mai singgah ke pelabuhan
Putih kuning bukakan baju
Kami menengok petabuhan.

 
Setelah lebah pergi maka juagan mudo mulai menyapu sarang lebah dan dibawahnya ditampung dengan timbo dan setelah penuh diturunkan ke bawah dengan tali yang tersedia sambil mendendangkan monto sebagai berikut :

Bo anak tupai bolang
Bolang sampai jai kakinyo
Selamat ojuang menyoboang
Ojuang sarat seisinyo.

 
Demikian terus sampai ke sarang lainnya pula sampai selesai. Dari satu sarang lebah di bagian yang dekat dengan dahan kayu disebut Kepala Sarang yang berisi madu, sedangkan bagian tengah disebut lambuk (perut sarang) yang berisi anak lebah, sedangkan yang terletak diujung bawah sarang disebut pula ujung lambuk (ekor sarang) yang berisi lilin lebah atau tahi lebah.
Setelah selesai dan akan turun didendangkan pula monto untuk minta izin turun :

Baca Juga:  Yasonna Persilakan Dirinya Digugat

Temasu kayu di imbo
Dibuat papan belarek
Tubonsu ja an maibo ibo
Isuk kolam naik balek.

 
Ramo-ramo sikumbang jati
Duo ancak ketigo ancang
Ja an lamo dayangku po-i
Duo bulan ketigo lah datang.

 
Sobab :
Antu kayu ta ogu-ogu  
Dahan panjang tenanti-nanti
Menanti kau datang.

 
Juagan mudopun turun dan kegiatan menumbaipun selesai. Hasil madu yang didapatkan dibagi-bagi untuk para pekerja, Kepala Suku dan anggota suku sesuai dengan aturan yang berlaku menurut adatnya.

Sedangkan dalam versi daerah Siak pelaksanaan tradisi menumbai dilakukan kelompok yang terdiri dari sedikitnya dua orang, yaitu Tenganai  (orang yang memanjat pohon sialang dan Pembantu Tenganai (tukang sorong dan menyambut timba).

Pohon Sialang atau jenis pohon lain (seperti pulai) yang terdapat sarang lebah, rata rata berketinggian diatas 20 m (antara tanah dengan dahan pertama). Pohon yang terdapat sarang lebah bukanlah pohon tidak bertuan meskipun di dalam hutan. Namun masyarakat meyakini  “ada pemiliknya” baik berupa “makhluk” maupun perbatinan atau kelompok/lembaga  maupun pribadi yang sudah ditetapkan secara adat atau ketentuan lainnya (Zulkifli. Wawancara, 28 Juni 2013).

Pantun mantra di awali dengan memegang batang/pohon Sialang sebagai ucapan “tabik” (permisi) untuk memanjat:
 
Sialangku kayu moanti
Tumbuh tanah lombah
Sialangku Sidi sakti
Juagan mudo tunduk menyombah.

 
Pantun, ketika memanjat sudah mencapai separoh batang pohon:

Pio pait mempuing pait
Mai digulai dalam kuali
Jangan ditogu Bujang nak naik
Anggapkan sajo tupai belai

 
Setelah Tenganai sampai di atas dan sebelum akan memulai mengambil sarang lebah, Tenganai mengusap lebah yang menempel di sarang agar induk lebah menyingkir dari sarang sehingga tidak mengganggu dengan membacakan pantun mantra:

Pisau aut panjang ulu
Aut mai jangko geledang
Tiuplah angin baghat dahulu
Dayang kasambat ke gunung ledang.

 
Madu lebah pertama yang diperoleh tidak diambil, melainkan dibuang untuk “datuk sang penunggu” supaya dia tidak mengganggu. Setelah “Datuk” diberi selanjutnya barulah sarang lebah yang berisi madu boleh diambil dengan cara menyayat sarang lebah yang menempel di dahan. Ketika akan menurunkan sarang berisi madu yang telah diambil Tenganai menyampaikan kepada penyorong dan penyambut timba dengan membacakan pantun mantra:

Buing buing tempayan
Tempayan ditopi imbo
Siapo punyo lobah lambayan
Sambut anak gantung timbo.
 

Sarang lebah yang ada di pohon sialang tidak hanya pada dahan besar dekat batang pohon, bahkan ada juga yang bersarang di tengah dan ujung dahan bahkan ranting. Tidak jarang pula sarang tersebut menyebar pada pohon pohon sialang yang berdekatan sehingga dahan dan rantingnya bertaut.

Untuk mengambil madu lebah di tengah dan ujung dahan bahkan ranting serta berpindah dari pohon yang satu ke pohon lain yang ada sarang lebahnya melalui dahan dan ranting yang bertaut Tenganai tidak perlu turun untuk kemudian memanjat pohon di sebelah yang dekat dengan pohon yang telah dipanjatnya, cukup dengan meniti di dahan. Hal ini baru dapat dilakukan apabila bisa meringankan tubuh. Pantun mantra yang dibaca adalah:
                                             
Kulang mandi kelukit
Mandi kelukit sipucuk otan
Menjadi tulang dikaulah kulit
Menjadi bosi dikaulah dahan.

 
Dari proses tradisi menumbai ini tergambar, bagaimana kearifan lokal masyarakat dalam hal menjaga kelestarian lingkungan alam dengan tetap mempertahankan tradisi lisan “mantra”. Hal ini sangat berpotensi dalam mendukung pariwisata, sebab wisatawan dapat ikut dan terlibat langsung dalam proses pengambilan madu lebah.*

 

Laporan KUNNI MASROHNTI, Pekanbaru

Sebagai kearifan lokal yang banyak dikenal, Manumbai memiliki makna spesial. Apakah maknanya? Budayawan Riau, GP Ade Dharmawi mencatatnya dari berbagai sumber secara rinci. Inilah makna itu.

(RIAUPOS.CO) – MENUMBAI Lebah suatu tradisi masyarakat Riau yang masih bertahan hingga kini. Secara tradisi lebah diberi julukan “Lalat Putih Sri Majun” karena lebah adalah jenis serangga sebagai lambang rezeki. Ia memberikan madu yang berkhasiat untuk obat bermacam penyakit. Mencari madu merupakan profesi bagi seorang atau sekelompok orang. Lebah dalam jumlah ribuan dalam satu kelompok dipimpin “ratunya” tinggal di pohon sialang yang rindang dan tinggi.

- Advertisement -

Untuk mengambil madunya diperlukan usaha memanjat pohon sialang. Kegiatan tersebut disebut dengan “manumbai”. Manumbai berasal dari kata “umbai” yaitu keadaan sebuah tali yang berada di atas dengan ujungnya terkulai ke bawah. Tali yang tergantung selalu disebut terumbai atau terjulai. Upacara tradisi manumbai yaitu adalah tradisi pengambilan madu di pohon sialang diturunkan dengan tali yang terulur ke bawah.

Upacara manumbai madu lebah dilaksanakan di malam hari saat bulan gelap dengan maksud agar lebah tak dapat melihat pemanjat.

- Advertisement -

Penumbai terdiri dari:
1). Juragan tua  adalah orang yang telah berprofesi lama, banyak pengalaman dan telah menguasai ilmu manumbai luar dalam. Ia bertanggung jawab atas keberhasilan dan keselamatan para pembantunya. Tugasnya melakukan penyemahan lokasi manumbai agar terhindar dari makhluk gaib dan binatang hutan.

 2). Juragan muda terdiri dari seorang atau beberapa orang yang bertugas membantu juragan tua, menyiapkan segala keperluan manumbai, seperti membuat tunam (suluh yang terbuat dari seludang kelapa yang kering), membuat semangkat (tangga bersambung utk memanjat), menebas dan membersihkan pangkal pohon sialang, membuat para-para tempat memeras sarang lebah. Menyiapkan tali, ember tempat madu. Yang paling utama tugasnya memanjat dan menurunkan madu.

3). Tukang sambut terdiri dari beberapa orang yang bertugas menyambut timba berisi madu kemudian memeras sarang lebah hingga mendapatkan madu.

Pohon sialang dianggap pohon sakti, dimiliki dan dihuni oleh makhluk gaib seperti mambang kayu, jembalang tanah, bahkan juga orang bunian. Dalam pelaksanaan manumbai juragan tua membaca mantra-mantra untuk membujuk penghuni pohon sialang. Sesudah upaya membujuk selesai, maka dimulailah proses pengambilan madu. Semangkat dipasang dan juragan muda pun memanjat. hasil madu yang diperoleh di bagi sekalian juga kepada persukuan yang memiliki wilayah pohon sialang.

Inti upacara tradisi menumbai mengambil lebah pohon sialang (pohon yang berpotensi dan sering dijadikan sarang oleh lebah) adalah pada “mantra” yang dibaca.  Mantra bisa diartikan sebagai susunan kata yang berunsur puisi (seperti rima dan irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain.
Dalam sastra Melayu lama, kata lain untuk mantra adalah jampi, serapah, tawar, sembur, cuca, puja, seru dan tangkal. Mantra termasuk dalam genre sastra lisan yang populer di masyarakat Melayu, sebagaimana pantun dan syair. Hanya saja, penggunaannya lebih eksklusif, karena hanya dituturkan oleh orang tertentu saja, seperti pawang dan bomoh (dukun).
Menurut sebagian kalangan orang Melayu tradisional, pembacaan mantra diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib untuk membantu meraih tujuan-tujuan tertentu.

Secara umum, mantra dapat dibagi ke dalam empat jenis berdasarkan tujuan pelafalannya, yaitu:
(1) mantra untuk pengobatan;
(2) mantra untuk ‘pakaian’ atau pelindung diri;
(3) mantra untuk pekerjaan; dan
(4) mantra adat-istiadat.

Dari segi bentuk, mantra sebenarnya lebih sesuai digolongkan ke dalam bentuk puisi bebas, yang tidak terlalu terikat pada aspek baris, rima dan jumlah kata dalam setiap baris.

Dari segi bahasa, mantra biasanya menggunakan bahasa khusus yang sukar dipahami. Adakalanya, dukun atau pawang sendiri tidak memahami arti sebenarnya mantra yang ia baca; ia hanya memahami kapan mantra tersebut dibaca dan apa tujuannya.

Baca Juga:  JPU Akan Panggil Kembali Wiranto untuk Jadi Saksi

Dari segi penggunaan, mantra sangat eksklusif, tidak boleh dituturkan sembarangan, karena bacaannya dianggapa keramat dan tabu. Mantra biasanya diciptakan oleh seorang dukun atau pawang, kemudian diwariskan kepada keturunan, murid ataupun orang yang ia anggap akan menggantikan fungsinya sebagai dukun. Kemunculan dan penggunaan mantra ini dalam masyarakat Melayu, berkaitan dengan pola hidup mereka yang tradisional dan sangat dekat dengan alam.

Kegiatan menumbai di Pelalawan dipimpin oleh seorang yang dituakan yang disebut dengan “Juagan Tuo” (juru panjat). Juragan Tuo dibantu oleh beberapa juru panjat lainnya yang disebut “juagan mudo” yang bertugas membantu juragan tuo pada saat menyapu lebah, dan di bawah dibantu pula beberapa orang sebagai pengumpul timbo yang berisi madu yang diturunkan melalui tali ke bawah.

Upacara menumbai ini dilakukan pada malam hari di saat bulan gelap. Terdapat suatu kepercayaan bahwa di pohon sialang selalu didiami pula oleh makhluk halus dan waktu melakukan menumbai sering pula berhadapan dengan hal-hal yang ghaib, maka untuk itu pada setiap tahapan memanjat pohon selalu diirngi dengan membaca monto (mantera), dengan tahapan sebagai berikut :

Tahap Satu:
Dipangkal pohon sebelum memanjat didendangkan monto oleh Juagan Mudo:
 
Papat-papat tanah ibu
Mai papat di tana tombang
Nonap-nonap cik dayang tidou
Juragan Mudi di Pangkal Sialang.

 
Tang Ketutang Losong Batu Batang Kompe dodapnyo ome Batang sialang lindunganku Dilupo aku takut takome.
 
Nempuing pait ongkau pait
Disombou an ke mato ai
Ja an ditogou juagan nak naek K
atokan anak tupai belai.

 
Ritual ini dilakukan dengan memusatkan pikiran menyatu dengan pohon sialang dan mulailah memanjat tangga panjang sampai ke dahan pertama yang disebut dengan Jombang.
 
Tahap dua:
Dari dahan I (Jombang) terus ke atas yang disebut dengan Balai Tengah, maka Juagan Mudo melanjutkan pembacaan mantera, yaitu :

Mengombang kemano obung
Puting beliung samo tonga
Tabik aku dahan jombang
Aku nak naik ke bolai tonga.

 
Lalu juragan terus naik ke dahan yang lebih tinggi, dimana di situ terdapat sarang lebah yang dituju (yang disebut dengan balai tonga).
 
Tahap tiga:
 Setelah sampaidi sarang lebah, sebelum mengambil madu, perlu dibaca mantera memuji lebah tersebut, yaitu :

Balai Tonga duo eto
Tigo balai talendak bumi
Letak bandan poning kepalo
Menengok cantiknyo balai ini

 
Masak bua kombang mani
Masak sebutei di jaut ungko
Kami betomu si itam mani
Mengulang daa kemuko.

 
Setelah itu Juagan Mudo menyapu lebah dengan asap tunam ke sekeliling sarang lebah lalu mulai lagi membaca mantera dengan maksud agar lebah pergi.

Ceocap tobang kelaman
Tobang meulang-ulang ke pintu
Menyampaikan ucap ajo Sulaiman
Menyapu bola penunggu pintu.

Jika masih ada lebah yang belum mau pergi maka dilanjutkan pembacaan mantera agar semua lebah pergi meninggalkan sarang :

Anak Buayo mudik mendudu
Mai singgah ke pelabuhan
Putih kuning bukakan baju
Kami menengok petabuhan.

 
Setelah lebah pergi maka juagan mudo mulai menyapu sarang lebah dan dibawahnya ditampung dengan timbo dan setelah penuh diturunkan ke bawah dengan tali yang tersedia sambil mendendangkan monto sebagai berikut :

Bo anak tupai bolang
Bolang sampai jai kakinyo
Selamat ojuang menyoboang
Ojuang sarat seisinyo.

 
Demikian terus sampai ke sarang lainnya pula sampai selesai. Dari satu sarang lebah di bagian yang dekat dengan dahan kayu disebut Kepala Sarang yang berisi madu, sedangkan bagian tengah disebut lambuk (perut sarang) yang berisi anak lebah, sedangkan yang terletak diujung bawah sarang disebut pula ujung lambuk (ekor sarang) yang berisi lilin lebah atau tahi lebah.
Setelah selesai dan akan turun didendangkan pula monto untuk minta izin turun :

Baca Juga:  DKPP Didesak Berhentikan Ketua KPU RI

Temasu kayu di imbo
Dibuat papan belarek
Tubonsu ja an maibo ibo
Isuk kolam naik balek.

 
Ramo-ramo sikumbang jati
Duo ancak ketigo ancang
Ja an lamo dayangku po-i
Duo bulan ketigo lah datang.

 
Sobab :
Antu kayu ta ogu-ogu  
Dahan panjang tenanti-nanti
Menanti kau datang.

 
Juagan mudopun turun dan kegiatan menumbaipun selesai. Hasil madu yang didapatkan dibagi-bagi untuk para pekerja, Kepala Suku dan anggota suku sesuai dengan aturan yang berlaku menurut adatnya.

Sedangkan dalam versi daerah Siak pelaksanaan tradisi menumbai dilakukan kelompok yang terdiri dari sedikitnya dua orang, yaitu Tenganai  (orang yang memanjat pohon sialang dan Pembantu Tenganai (tukang sorong dan menyambut timba).

Pohon Sialang atau jenis pohon lain (seperti pulai) yang terdapat sarang lebah, rata rata berketinggian diatas 20 m (antara tanah dengan dahan pertama). Pohon yang terdapat sarang lebah bukanlah pohon tidak bertuan meskipun di dalam hutan. Namun masyarakat meyakini  “ada pemiliknya” baik berupa “makhluk” maupun perbatinan atau kelompok/lembaga  maupun pribadi yang sudah ditetapkan secara adat atau ketentuan lainnya (Zulkifli. Wawancara, 28 Juni 2013).

Pantun mantra di awali dengan memegang batang/pohon Sialang sebagai ucapan “tabik” (permisi) untuk memanjat:
 
Sialangku kayu moanti
Tumbuh tanah lombah
Sialangku Sidi sakti
Juagan mudo tunduk menyombah.

 
Pantun, ketika memanjat sudah mencapai separoh batang pohon:

Pio pait mempuing pait
Mai digulai dalam kuali
Jangan ditogu Bujang nak naik
Anggapkan sajo tupai belai

 
Setelah Tenganai sampai di atas dan sebelum akan memulai mengambil sarang lebah, Tenganai mengusap lebah yang menempel di sarang agar induk lebah menyingkir dari sarang sehingga tidak mengganggu dengan membacakan pantun mantra:

Pisau aut panjang ulu
Aut mai jangko geledang
Tiuplah angin baghat dahulu
Dayang kasambat ke gunung ledang.

 
Madu lebah pertama yang diperoleh tidak diambil, melainkan dibuang untuk “datuk sang penunggu” supaya dia tidak mengganggu. Setelah “Datuk” diberi selanjutnya barulah sarang lebah yang berisi madu boleh diambil dengan cara menyayat sarang lebah yang menempel di dahan. Ketika akan menurunkan sarang berisi madu yang telah diambil Tenganai menyampaikan kepada penyorong dan penyambut timba dengan membacakan pantun mantra:

Buing buing tempayan
Tempayan ditopi imbo
Siapo punyo lobah lambayan
Sambut anak gantung timbo.
 

Sarang lebah yang ada di pohon sialang tidak hanya pada dahan besar dekat batang pohon, bahkan ada juga yang bersarang di tengah dan ujung dahan bahkan ranting. Tidak jarang pula sarang tersebut menyebar pada pohon pohon sialang yang berdekatan sehingga dahan dan rantingnya bertaut.

Untuk mengambil madu lebah di tengah dan ujung dahan bahkan ranting serta berpindah dari pohon yang satu ke pohon lain yang ada sarang lebahnya melalui dahan dan ranting yang bertaut Tenganai tidak perlu turun untuk kemudian memanjat pohon di sebelah yang dekat dengan pohon yang telah dipanjatnya, cukup dengan meniti di dahan. Hal ini baru dapat dilakukan apabila bisa meringankan tubuh. Pantun mantra yang dibaca adalah:
                                             
Kulang mandi kelukit
Mandi kelukit sipucuk otan
Menjadi tulang dikaulah kulit
Menjadi bosi dikaulah dahan.

 
Dari proses tradisi menumbai ini tergambar, bagaimana kearifan lokal masyarakat dalam hal menjaga kelestarian lingkungan alam dengan tetap mempertahankan tradisi lisan “mantra”. Hal ini sangat berpotensi dalam mendukung pariwisata, sebab wisatawan dapat ikut dan terlibat langsung dalam proses pengambilan madu lebah.*

 

Laporan KUNNI MASROHNTI, Pekanbaru

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari