JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Beredar pesan berantai di jejaring WhatsApp tentang penurunan suhu udara menjadi sangat dingin karena posisi bumi menjauh dari matahari pada Juli ini, atau disebut Fenomena Aphelion. Benarkah demikian? Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) suhu dingin yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia merupakan fenomena alamiah yang umum terjadi.
Bukan saja di daerah Jawa, fenonema Aphelion juga jadi pembahasan di Pekanbaru. Menurut Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Herizal, fenomena suhu udara dingin sebetulnya merupakan fenomena alamiah yang umum terjadi pada puncak musim kemarau yakni pada Juli-September. Saat ini wilayah Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara Timur (NTT) menuju periode puncak musim kemarau.
“Periode ini ditandai pergerakan angin dari arah timur, yang berasal dari Benua Australia,” kata Herizal dalam keterangannya dikutip Riaupos.co dari Jawapos.com.
Herizal juga mengatakan, pada Juli, wilayah Australia berada dalam periode musim dingin. Dia menyebut, adanya pola tekanan udara yang relatif tinggi di Australia menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia atau dikenal dengan istilah Monsoon Dingin Australia.
“Angin monsun Australia yang bertiup menuju wilayah Indonesia melewati perairan Samudera Indonesia yang memiliki suhu permukaan laut juga relatif lebih dingin, sehingga mengakibatkan suhu di beberapa wilayah di Indonesia terutama bagian selatan khatulistiwa (Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara) terasa juga lebih dingin,” ucap Herizal.
Selain dampak angin dari Australia, berkurangnya awan dan hujan di Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara turut berpengaruh ke suhu yang dingin di malam hari. Sebab, tidak adanya uap air dan air menyebabkan energi radiasi yang dilepaskan oleh bumi pada malam hari tidak tersimpan di atmosfer.
Tak hanya itu, langit yang cenderung bersih awannya (clear sky), lanjut Herizal, juga akan menyebabkan panas radiasi balik gelombang panjang ini langsung dilepas ke atmosfer luar.
“Sehingga kemudian membuat udara dekat permukaan terasa lebih dingin terutama pada malam hingga pagi hari. Hal ini yang kemudian membuat udara terasa lebih dingin terutama pada malam hari,” ungkapnya.
Mengenai aphelion yang berdampak pada suhu udara saat malam, Herizal mengatakan bahwa posisi matahari memang berada pada titik jarak terjauh dari bumi (aphelion). Tapi, kondisi tersebut tidak berpengaruh banyak pada fenomena atmosfer permukaan.
Dia menuturkan, aphelion merupakan fenomena astronomis yang terjadi setahun sekali pada kisaran bulan Juli.
Sementara itu, pada waktu yang sama, secara umum wilayah Indonesia berada pada periode musim kemarau.
“Hal ini menyebabkan seolah aphelion memiliki dampak yang ekstrem terhadap penurunan suhu di Indonesia,” papar Herizal.
Dia memastikan, fenomena ini merupakan hal yang biasa terjadi tiap tahun, bahkan hal ini pula yang dapat menyebabkan beberapa tempat seperti di Dieng dan dataran tinggi atau wilayah pegunungan lainnya, berpotensi terjadi embun es (embun upas) yang dikira salju oleh sebagian orang.
Sementara itu, Deputi Bidang Meteorologi Guswanto menyampaikan, berdasarkan pengamatan BMKG di seluruh wilayah Indonesia, saat ini memang rata-rata suhu minimum dan maksimum di wilayah Indonesia bagian selatan ekuator seperti Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara umumnya lebih rendah dibandingkan wilayah lainnya yang berada di utara dan di sekitar ekuator.
“Suhu udara minimum berkisar antara 14-21 derajat Celsius dengan suhu terendah tercatat di Maumere dan Tretes (Pasuruan),” pungkas Guswanto.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Eka G Putra