Kamis, 19 September 2024

10 Tahun Lagi, Selamat Tinggal Mobil BBM

Era mobil listrik semakin dekat. Mereka diprediksi menggeser mobil bahan bakar minyak (BBM) dalam 10 tahun ke depan.

Laporan: Jawapos.com
 

MOBIL listrik sebenarnya punya sejarah lebih panjang daripada yang dikira masyarakat. Pada 1800-an, beberapa montir di AS, Hungaria, atau Belanda sudah coba-coba memasang baterai untuk menjalankan mobil mereka. Misalnya, Robert Anderson, penemu asal Inggris, mengembangkan konsep kendaraan listrik. Lalu, William Morrison, pakar kimia dari AS, berhasil membangun mobil listrik pertama yang memang bekerja penuh.

Jarak pengembangan itu sebenarnya tak beda jauh dengan pengembangan pertama mobil BBM, yakni akhir 1800-an. Namun, sejak abad ke-20, pengembangan mobil listrik tertinggal jauh daripada fosil. Baru pada 1999, pabrikan otomotif berpikir untuk merambah teknologi listrik, itu pun hanya sebagai konsep hybrid.

- Advertisement -

Saat pandemi muncul, tiba-tiba mobil listrik mendekat dengan kencang. Banyak yang menyatakan bahwa masa di mana masyarakat bakal mengganti mesin mereka dengan baterai dan motor listrik akan terjadi. ’’EV (electric vehicles) bakal jadi kenyataan baru bagi pembeli mobil baru di Eropa pada enam tahun ke depan,’’ ungkap Julia Poliscanova, senior director untuk kendaraan dan mobilitas listrik di Transport and Environment, kepada Agence France-Presse.

Aktivis kendaraan ramah lingkungan itu memaparkan bahwa pada 2027, mobil dengan mesin listrik bakal lebih murah daripada mobil dengan mesin pembakaran. Bahkan, harga mobil sedan dan sport utility vehicles (SUV) listrik diperkirakan menyamai mobil konvensional pada 2026. Misalnya, sedan listrik yang saat ini berada di tingkat 40 ribu euro diprediksi terpangkas hingga 20 ribu euro layaknya sedan BBM.

- Advertisement -
Baca Juga:  Honda Berikan Kejutan Mobil Baru di GIIAS 2021

Yang butuh waktu lebih lama adalah produksi mobil kecil. Poliscanova memprediksi produsen otomotif butuh waktu setahun lebih lama untuk membuat ongkos produksi lebih murah. ’’Dengan kebijakan yang tepat, mobil listrik bisa mengambil semua pangsa pasar moda roda empat di Eropa Barat, Selatan, bahkan di Eropa Timur pada 2035,’’ imbuhnya.

Percepatan era mobil listrik memang tidak terjadi begitu saja. Uni Eropa sengaja mendorong industri otomotif untuk bisa bergeser ke teknologi listrik. Mereka mewajibkan pabrikan mobil untuk mencapai rata-rata emisi karbon dioksida senilai 95 gram per kilometer.

Otomatis, pabrikan hanya punya sedikit pilihan. Menciptakan mesin kombusi supercanggih untuk mencegah emisi besar. Atau, beralih ke mesin listrik yang notabene nol emisi. Sebab, standar di benua biru terus mengetat, logika paling tepat jelas pilihan kedua.

Komitmen para pelaku industri mobil membuat kebutuhan komponen mesin listrik meningkat. Otomatis, produsen komponen tersebut bakal menurunkan ongkos produksi karena bisa melakukan produksi masif. Salah satu komponen yang paling penting adalah baterai. Suku cadang tersebut diperkirakan berkontribusi minimal seperempat dari total ongkos produksi.

’’Selain harga, saat konsumen melihat banyak infrastruktur kendaraan listrik dan jarak tempuh mencapai 200 mil sekali isi, mereka tak akan berpikir dua kali. Kami sudah melihat contohnya di Norwegia,’’ David Bailey, profesor ekonomi bisnis dari University of Birmingham, kepada The Guardian.

Menurut Transport & Environment, saat ini baterai masih di angka USD 100 per kilowatt hours (kWH). Namun, pada 2030 harganya bisa turun hingga USD 58 per kWH. Padahal, dengan harga komponen yang masih mahal pun, penjualan mobil listrik, terutama di Uni Eropa dan Tiongkok, sudah merangkak naik.

Baca Juga:  Cuma Rp100 Ribu, Bisa Berbuka di Pinggir Kolam Renang Grand Suka

International Energy Association (IEA), melaporkan bahwa jumlah mobil listrik di dunia mencapai 10 juta tahun lalu. Hal tersebut didorong peningkatan penjualan 41 persen pada pandemi tahun lalu. Padahal, total penjualan mobil tengah turun 16 persen.

JIKA bicara negara pemimpin pasar mobil listrik, Tiongkok sudah pasti disebut. Namun, satu negara saja tak mungkin bersaing dengan satu benua. Saat ini Eropa memang lebih unggul dalam pertumbuhan mobil listrik jika dibandingkan dengan Asia.

Antusiasme pebisnis Tiongkok dalam industri masa depan itu tak perlu diragukan. Dalam beberapa pekan terakhir, Huawei, Xiaomi, Alibaba, bahkan DJI sudah melirik industri elektrifikasi itu. Mereka ramai-ramai memasuki pasar mobil listrik pintar. ’’Persaingan seperti ini bagus untuk mendorong inovasi,’’ ungkap William Li, pendiri perusahaan mobil listrik Tiongkok NIO, kepada Agence France-Presse.

Selama kuartal I 2021, mobil listrik baru di Tiongkok sudah mencapai 500 ribu unit. Dari sisi kuantitas, Eropa memang kalah. Namun, Eropa sudah mendekati Negeri Tirai Bambu tersebut. Pada periode yang sama, benua biru sudah menyerap 450 ribu unit.

Secara regional, Asia jelas tertinggal dari pemerintah Eropa. Komitmen pemerintahan Asia baru segelintir negara, jauh jika dibandingkan dengan Eropa.

”Wilayah Asia masih hanya mengekor dari pasar global. Selama ini, penjualan di Cina berkontribusi 90 persen dari angka total benua (Asia, Red),’’ papar Anna-Marie Baisden, kepala penelitian otomotif dari Fitch Solutions, kepada CNBC.

 

Editor: E Sulaiman

Era mobil listrik semakin dekat. Mereka diprediksi menggeser mobil bahan bakar minyak (BBM) dalam 10 tahun ke depan.

Laporan: Jawapos.com
 

MOBIL listrik sebenarnya punya sejarah lebih panjang daripada yang dikira masyarakat. Pada 1800-an, beberapa montir di AS, Hungaria, atau Belanda sudah coba-coba memasang baterai untuk menjalankan mobil mereka. Misalnya, Robert Anderson, penemu asal Inggris, mengembangkan konsep kendaraan listrik. Lalu, William Morrison, pakar kimia dari AS, berhasil membangun mobil listrik pertama yang memang bekerja penuh.

Jarak pengembangan itu sebenarnya tak beda jauh dengan pengembangan pertama mobil BBM, yakni akhir 1800-an. Namun, sejak abad ke-20, pengembangan mobil listrik tertinggal jauh daripada fosil. Baru pada 1999, pabrikan otomotif berpikir untuk merambah teknologi listrik, itu pun hanya sebagai konsep hybrid.

Saat pandemi muncul, tiba-tiba mobil listrik mendekat dengan kencang. Banyak yang menyatakan bahwa masa di mana masyarakat bakal mengganti mesin mereka dengan baterai dan motor listrik akan terjadi. ’’EV (electric vehicles) bakal jadi kenyataan baru bagi pembeli mobil baru di Eropa pada enam tahun ke depan,’’ ungkap Julia Poliscanova, senior director untuk kendaraan dan mobilitas listrik di Transport and Environment, kepada Agence France-Presse.

Aktivis kendaraan ramah lingkungan itu memaparkan bahwa pada 2027, mobil dengan mesin listrik bakal lebih murah daripada mobil dengan mesin pembakaran. Bahkan, harga mobil sedan dan sport utility vehicles (SUV) listrik diperkirakan menyamai mobil konvensional pada 2026. Misalnya, sedan listrik yang saat ini berada di tingkat 40 ribu euro diprediksi terpangkas hingga 20 ribu euro layaknya sedan BBM.

Baca Juga:  Honda Scoopy Terbaru Siap Meluncur, Ini Spesifikasinya

Yang butuh waktu lebih lama adalah produksi mobil kecil. Poliscanova memprediksi produsen otomotif butuh waktu setahun lebih lama untuk membuat ongkos produksi lebih murah. ’’Dengan kebijakan yang tepat, mobil listrik bisa mengambil semua pangsa pasar moda roda empat di Eropa Barat, Selatan, bahkan di Eropa Timur pada 2035,’’ imbuhnya.

Percepatan era mobil listrik memang tidak terjadi begitu saja. Uni Eropa sengaja mendorong industri otomotif untuk bisa bergeser ke teknologi listrik. Mereka mewajibkan pabrikan mobil untuk mencapai rata-rata emisi karbon dioksida senilai 95 gram per kilometer.

Otomatis, pabrikan hanya punya sedikit pilihan. Menciptakan mesin kombusi supercanggih untuk mencegah emisi besar. Atau, beralih ke mesin listrik yang notabene nol emisi. Sebab, standar di benua biru terus mengetat, logika paling tepat jelas pilihan kedua.

Komitmen para pelaku industri mobil membuat kebutuhan komponen mesin listrik meningkat. Otomatis, produsen komponen tersebut bakal menurunkan ongkos produksi karena bisa melakukan produksi masif. Salah satu komponen yang paling penting adalah baterai. Suku cadang tersebut diperkirakan berkontribusi minimal seperempat dari total ongkos produksi.

’’Selain harga, saat konsumen melihat banyak infrastruktur kendaraan listrik dan jarak tempuh mencapai 200 mil sekali isi, mereka tak akan berpikir dua kali. Kami sudah melihat contohnya di Norwegia,’’ David Bailey, profesor ekonomi bisnis dari University of Birmingham, kepada The Guardian.

Menurut Transport & Environment, saat ini baterai masih di angka USD 100 per kilowatt hours (kWH). Namun, pada 2030 harganya bisa turun hingga USD 58 per kWH. Padahal, dengan harga komponen yang masih mahal pun, penjualan mobil listrik, terutama di Uni Eropa dan Tiongkok, sudah merangkak naik.

Baca Juga:  XL Axiata Umumkan Pengunduran Diri Mohamed Adlan 

International Energy Association (IEA), melaporkan bahwa jumlah mobil listrik di dunia mencapai 10 juta tahun lalu. Hal tersebut didorong peningkatan penjualan 41 persen pada pandemi tahun lalu. Padahal, total penjualan mobil tengah turun 16 persen.

JIKA bicara negara pemimpin pasar mobil listrik, Tiongkok sudah pasti disebut. Namun, satu negara saja tak mungkin bersaing dengan satu benua. Saat ini Eropa memang lebih unggul dalam pertumbuhan mobil listrik jika dibandingkan dengan Asia.

Antusiasme pebisnis Tiongkok dalam industri masa depan itu tak perlu diragukan. Dalam beberapa pekan terakhir, Huawei, Xiaomi, Alibaba, bahkan DJI sudah melirik industri elektrifikasi itu. Mereka ramai-ramai memasuki pasar mobil listrik pintar. ’’Persaingan seperti ini bagus untuk mendorong inovasi,’’ ungkap William Li, pendiri perusahaan mobil listrik Tiongkok NIO, kepada Agence France-Presse.

Selama kuartal I 2021, mobil listrik baru di Tiongkok sudah mencapai 500 ribu unit. Dari sisi kuantitas, Eropa memang kalah. Namun, Eropa sudah mendekati Negeri Tirai Bambu tersebut. Pada periode yang sama, benua biru sudah menyerap 450 ribu unit.

Secara regional, Asia jelas tertinggal dari pemerintah Eropa. Komitmen pemerintahan Asia baru segelintir negara, jauh jika dibandingkan dengan Eropa.

”Wilayah Asia masih hanya mengekor dari pasar global. Selama ini, penjualan di Cina berkontribusi 90 persen dari angka total benua (Asia, Red),’’ papar Anna-Marie Baisden, kepala penelitian otomotif dari Fitch Solutions, kepada CNBC.

 

Editor: E Sulaiman

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari