JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Setelah AstraZeneca, kini giliran vaksin Johnson & Johnson (J&J) yang disorot. Masalah mereka sama, ada dugaan menyebabkan pembekuan darah yang berujung kematian. AS, Afrika Selatan, dan Uni Eropa (UE) untuk sementara menghentikan penggunaan dan pengiriman vaksin Covid-19 milik J&J.
Badan Pangan dan Obat (FDA) AS mengungkap, ada 6 kasus pembekuan darah terdeteksi, dari 6,8 juta dosis vaksin J&J yang sudah digunakan. Jenis pembekuan darahnya parah, biasa disebut dengan cerebral venous sinus thrombosis (CVST). Semuanya dialami perempuan usia 18–48 tahun. Gejala pembekuan darah muncul 6–13 hari pasca divaksin. Salah satu pasien meninggal dan sisanya dalam kondisi kritis.
Karena itu, FDA menyarankan penghentian sementara penggunaan J&J sebagai bentuk kehati-hatian, sembari melakukan penelitian lebih lanjut. Semua negara bagian langsung mengikuti instruksi tersebut. Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS langsung rapat untuk membahas masalah itu.
Orang yang telah menerima vaksin J&J dengan efek sakit kepala parah, sakit perut, sakit kaki, atau sesak napas dalam tiga pekan setelah vaksinasi diminta menghubungi fasilitas kesehatan terdekat. Dalam pernyataannya, J&J memaparkan bahwa mereka sudah membagikan semua laporan tentang kemungkinan kejadian buruk pada otoritas kesehatan terkait. Mereka menyadari adanya kasus pembekuan darah dilaporkan pasca penggunaan beberapa vaksin Covid-19.
"Untuk saat ini, tidak ada hubungan sebab-akibat yang jelas antara peristiwa langka ini (pembekuan darah, Red) dan vaksin Covid-19 J&J," bunyi pernyataan Janssen, perusahaan pembuat vaksin J&J.
Tidak seperti vaksin Covid-19 lainnya, J&J hanya membutuhkan satu dosis suntikan. Vaksin lain rata-rata harus diinjeksikan 2 dosis dalam rentang waktu tertentu. Gedung Putih menegaskan, penghentian sementara vaksin J&J itu tidak akan berdampak pada program vaksinasi mereka.
"Kami memiliki suplai vaksin Pfizer dan Moderna dalam jumlah yang lebih dari cukup untuk terus melakukan vaksinasi dengan target 3 juta suntikan per hari," tegas Koordinator Respons Covid-19 Gedung Putih Jeff Zients seperti dikutip CNBC.
J&J adalah perusahaan perawatan kesehatan AS. Namun, khusus untuk vaksin Covid-19, mereka mengembangkannya di cabang farmasi di Belgia dan laboratorium di Belanda. Selain hanya butuh satu injeksi, vaksin buatan J&J mudah disimpan. Ia cocok untuk area yang suhunya panas. Penggunaan vaksin tersebut disetujui di AS pada 27 Februari lalu.
Afrika Selatan (Afsel) yang tidak memiliki kasus seperti di AS ikut menghentikan penggunaan vaksin J&J. Sejak pertengahan Februari, hampir 300 ribu tenaga kesehatan di negara tersebut sudah divaksin J&J. Vaksin itu disukai karena hasil penelitian menunjukkan ia memberikan perlindungan lebih pada varian yang muncul di Afsel dibandingkan vaksin lainnya. Presiden Cyril Ramaphosa juga divaksin J&J di Khayelitsha Hospital 17 Februari lalu.
J&J di lain pihak memutuskan untuk menghentikan sementara peluncuran vaksin mereka di Eropa. Pengumuman itu hanya berselang sehari sebelum jadwal distribusi vaksinnya. Uni Eropa (UE) sepertinya juga masih melihat kondisi di AS.
Di lain pihak, WHO menegaskan bahwa mereka masih memonitor situasi dan menunggu laporan dari regulator AS serta Eropa. Sebelumnya, WHO sempat mengkritik lambatnya vaksinasi di Eropa. Kasus itu tentu akan memperburuk situasi.
Di sisi lain, Inggris belum menyetujui penggunaan vaksin J&J di negaranya. Meski begitu, mereka sudah memesan 30 juta dosis. Departemen Kesehatan Inggris menegaskan, jadwal vaksinasi tidak akan berubah. Kanada juga memesan vaksin J&J sebanyak 10 juta dosis.
"Pengiriman pertama akan diterima pada akhir bulan ini," ujar PM Kanada Justin Trudeau seperti dikutip BBC. Kanada juga mengamati situasi di AS sebelum menggunakan vaksin tersebut.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi