Sabtu, 23 November 2024
spot_img

 SP3 untuk Sjamsul Nursalim Terbit, Ini Penjelasan KPK

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan kronologi penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan  (SP3) terhadap pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim.

"KPK berkesimpulan syarat adanya perbuatan penyelenggara negara dalam perkara tersebut tidak terpenuhi, sedangkan tersangka SN (Sjamsul Nursalim, red) dan ISN (Itjih Nursalim, red) berkapasitas sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan bersama-sama dengan SAT (Syafruddin Arsyad Temenggung, red) selaku penyelenggara negara maka KPK memutuskan untuk menghentikan penyidikan perkara atas nama tersangka SN dan ISN tersebut," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Kamis (1/4/2021).

KPK mengeluarkan SP3 untuk Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim pada 31 Maret 2021 sebagai SP3 perdana sejak lembaga penegak hukum tersebut berdiri.

Alexander pun menjelaskan riwayat penanganan perkara hingga dihentikannya perkara tersebut.

KPK telah melakukan penyidikan dalam perkara pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim selaku Pemegang Saham Pengendali (PSP) BDNI pada tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh Obligor BLBI kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang dilakukan oleh Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Ketua BPPN.

Penyidikan itu berdasarkan Surat Perintah Penyidikan tertanggal 20 Maret 2017.

Syafruddin mulai menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 14 Mei 2018.

Baca Juga:  Pemprov Riau Jalin Kerja Sama Pembangunan Daerah dengan Pemprov Kepri

Isi dakwaan pada pokoknya adalah Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Ketua BPPN periode 2002-204 bersama-sama dengan Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim telah melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) serta menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham sehingga merugikan keuangan negara senilai Rp4,58 triliun.

Majelis hakim pada 24 September 2018 lalu memutuskan Syafruddin dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara 13 tahun dan pidana denda Rp700 juta.

KPK pun kembali melakukan penyelidikan proses pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku Obligor BLBI kepada BPPN sejak 9 Agustus 2018.

Atas putusan PN Tipikor tersebut, Syafruddin mengajukan banding hingga pada 2 Januari 2019, majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta menjatuhkan putusan pidana penjara selama 15 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar.

Syafruddin lalu mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.

Pada 13 Mei 2019, berdasarkan bukti permulaan yang cukup, KPK menerbitkan surat perintah penyidikan dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim karena diduga bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dengan Syafruddin selaku Ketua BPPN.

Namun pada 9 Juli 2019, MA mengabulkan kasasi Syafruddin dan menyatakan Syafruddin terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana sehingga melepaskan Syafruddin dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging).

Baca Juga:  Aktivis Papua Dipindahkan ke Kaltim

Jaksa eksekutor KPK pun mengeluarkan Syafruddin dari tahanan di rutan KPK pada 9 Juli 2019.

Selanjutnya pada 17 Desember 2019 KPK mengajukan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali kepada MA terhadap putusan Kasasi Syafruddin. Pada 16 Juli 2020, MA menolak permohonan PK KPK.

"Maka KPK meminta pendapat dan keterangan ahli hukum pidana yang pada pokoknya disimpulkan bahwa tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh KPK," ungkap Alexander.

Menurut Alexander, sebagai bagian dari penegak hukum, maka dalam setiap penanganan perkara KPK memastikan akan selalu mematuhi aturan hukum yang berlaku.

"Penghentian penyidikan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 40 UU KPK," tutur Alexander.

Pasal 40 UU No. 19 tahun 2019 tengan KPK berbunyi "KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 tahun".

Penghentian penyidikan dan penuntutan tersebut harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 minggu terhitung dikeluarkannya SP3 dan harus diumumkan kepada publik.

Namun, penghentian penyidikan dan penuntutan dapat dicabut oleh pimpinan KPK bila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan, atau berdasarkan putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.

Sumber: JPNN/Antara/Pojoksatu
Editor: Hary B Koriun

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan kronologi penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan  (SP3) terhadap pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim.

"KPK berkesimpulan syarat adanya perbuatan penyelenggara negara dalam perkara tersebut tidak terpenuhi, sedangkan tersangka SN (Sjamsul Nursalim, red) dan ISN (Itjih Nursalim, red) berkapasitas sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan bersama-sama dengan SAT (Syafruddin Arsyad Temenggung, red) selaku penyelenggara negara maka KPK memutuskan untuk menghentikan penyidikan perkara atas nama tersangka SN dan ISN tersebut," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Kamis (1/4/2021).

- Advertisement -

KPK mengeluarkan SP3 untuk Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim pada 31 Maret 2021 sebagai SP3 perdana sejak lembaga penegak hukum tersebut berdiri.

Alexander pun menjelaskan riwayat penanganan perkara hingga dihentikannya perkara tersebut.

- Advertisement -

KPK telah melakukan penyidikan dalam perkara pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim selaku Pemegang Saham Pengendali (PSP) BDNI pada tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh Obligor BLBI kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang dilakukan oleh Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Ketua BPPN.

Penyidikan itu berdasarkan Surat Perintah Penyidikan tertanggal 20 Maret 2017.

Syafruddin mulai menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 14 Mei 2018.

Baca Juga:  Orang Tua Mahasiswa Korban Tewas saat Aksi Demo Mengadu ke KPK

Isi dakwaan pada pokoknya adalah Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Ketua BPPN periode 2002-204 bersama-sama dengan Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim telah melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) serta menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham sehingga merugikan keuangan negara senilai Rp4,58 triliun.

Majelis hakim pada 24 September 2018 lalu memutuskan Syafruddin dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara 13 tahun dan pidana denda Rp700 juta.

KPK pun kembali melakukan penyelidikan proses pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku Obligor BLBI kepada BPPN sejak 9 Agustus 2018.

Atas putusan PN Tipikor tersebut, Syafruddin mengajukan banding hingga pada 2 Januari 2019, majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta menjatuhkan putusan pidana penjara selama 15 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar.

Syafruddin lalu mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.

Pada 13 Mei 2019, berdasarkan bukti permulaan yang cukup, KPK menerbitkan surat perintah penyidikan dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim karena diduga bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dengan Syafruddin selaku Ketua BPPN.

Namun pada 9 Juli 2019, MA mengabulkan kasasi Syafruddin dan menyatakan Syafruddin terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana sehingga melepaskan Syafruddin dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging).

Baca Juga:  Ini Peran 13 Tersangka Korporasi Kasus Jiwasraya

Jaksa eksekutor KPK pun mengeluarkan Syafruddin dari tahanan di rutan KPK pada 9 Juli 2019.

Selanjutnya pada 17 Desember 2019 KPK mengajukan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali kepada MA terhadap putusan Kasasi Syafruddin. Pada 16 Juli 2020, MA menolak permohonan PK KPK.

"Maka KPK meminta pendapat dan keterangan ahli hukum pidana yang pada pokoknya disimpulkan bahwa tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh KPK," ungkap Alexander.

Menurut Alexander, sebagai bagian dari penegak hukum, maka dalam setiap penanganan perkara KPK memastikan akan selalu mematuhi aturan hukum yang berlaku.

"Penghentian penyidikan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 40 UU KPK," tutur Alexander.

Pasal 40 UU No. 19 tahun 2019 tengan KPK berbunyi "KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 tahun".

Penghentian penyidikan dan penuntutan tersebut harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 minggu terhitung dikeluarkannya SP3 dan harus diumumkan kepada publik.

Namun, penghentian penyidikan dan penuntutan dapat dicabut oleh pimpinan KPK bila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan, atau berdasarkan putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.

Sumber: JPNN/Antara/Pojoksatu
Editor: Hary B Koriun

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari