Sebuah tradisi tua di Rupat Utara sejak abad ke-13, zapin api, pernah jaya di masanya. Digemari, dinanti. Pun, zapin api sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia pada 2017. Sudah diakui dunia. Tapi jarang yang tahu, tradisi ini pernah padam. Api tak lagi menyala sangat lama untuk dimainkan dalam tradisi zapin. Selama 40 tahun, sejak era tahun 1970-an, zapin api tak pernah lagi dimainkan hingga 2009. Akankah ia terus hidup dan melegenda? Atau suatu ketika akan benar-benar padam, tak akan menyala buat selamanya?
(RIAUPOS.CO) – SEBUAH bara api melayang di udara. Tinggi, lebih dari 10 meter. Penonton bersorak. Ada nuansa ngeri, takut, juga gembira. Campur aduk. Para penjaga api segera mengejar bara api yang jatuh di luar pagar tali yang dibuat sang Khalifah. Bara api itu dimasukkan kembali ke arena. Beberapa kali api melayang di udara. Ada yang masih di dalam arena, ada juga yang di luar. Setiap bara api melayang, ketika itu pula penonton berteriak histeris.
Api terbang ini merupakan bagian dari pertunjukan zapin api di Desa Teluk Rhu, Kecamatan Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis, Senin (8/2) lalu. Selain api terbang, sebenarnya ada juga beberapa bagian yang dramatis dari pertunjukan ini. Di antaranya adalah para penari yang berlari di atas bara api, memegang bara api, hingga melompat ke dalam tumpukan bara api. Tapi, bagian api terbang yang membuat penonton histeris. Sebab, ini juga dapat mencelakai penonton.
Khalifah Zapin Api, M Afiz menyebutkan, dari beberapa pengalaman, belum ada insiden berarti, baik pada pemain maupun penonton.
“Belum pernah ada insiden. Mudah-mudahan tidak terjadi,” ujar Afiz usai pertunjukan.
Bagi penari zapin api, bara dari sabut kelapa yang dibakar itu hanya bagian dari permainan. Mereka bahkan tidak sadar. Mereka sedang berada di “alam lain”. Suasana mistis memang kental dalam pertunjukan zapin api. Para penari merupakan orang-orang yang “kerasukan”, sehingga tidak merasa sedang bermain api. Mereka hanya merasa sedang diajak menari bersama perempuan cantik lalu mengikuti irama zapin. Mereka ikut menari bersama perempuan itu, lalu memetik bunga. Bunga itu dipegang, lalu dilemparkan. Bagi penonton, bunga itu adalah bara api.
Sebelum pertunjukan dimulai, para penari yang bertelanjang dada duduk membentuk lingkaran. Mereka menggunakan celana berwarna putih dengan sabuk kain merah. Kemenyan dibakar Khalifah. Aroma khas pun tercium. Disiapkan juga sabut kelapa yang dibakar dan menimbulkan kobaran dan bara api.
Khalifah kemudian membaca amalan khusus sebelum pertunjukan dimulai. Khalifah dibantu beberapa penjaga api. Para penjaga api ini bertugas membantu khalifah selama pertunjukan. Mulai dari mengamankan api, penonton, pemain musik, hingga penari zapin api sendiri. Sama dengan khalifah, para penjaga api berpakaian teluk belanga Melayu. Bedanya, khalifah menggunakan teluk belanga berwarna hitam dan peci hitam. Penjaga api lebih variatif. Iringin musik zapin pun dimulai. Petikan dawai gambus, tepukan gendang dan marwas terdengar. Para penari pun mulai bergerak tanpa sadar. Mereka mengikuti irama zapin. Jumlah penari selalu ganjil. Jika diturunkan angka genap, yang jadi tetap ganjil.
“Pernah kami turunkan sepuluh, yang jadi hanya lima,” ujar Afiz.
Afiz bercerita, zapin api telah ada sejak abad ke-13. Ketika itu, masyarakat masih menganut animisme. Mulai abad ke-15, sentuhan Islam datang ketika ada musafir Aceh yang terdampar di sebuah pulau yang kemudian dinamakan sebagai Beting Aceh. Dari sanalah kemudian tradisi zapin api memiliki sentuhan keislaman. Syair yang digunakan juga menggunakan kalimat Illahi. Ada sentuhan sufistik juga. Syai lagu yang sekilas mirip lagu “Cindai” itu, misalnya berbunyi.
“Mari menari si zapin api Sambil berzikir pada ilahi”
Terdapat tiga syair yang dinyanyikan, yakni syair Syekh Abdul Qadir Jailani, Siti Fatimah dan Raja Beradu. Tidak lebih dari itu.
Dengan mengikuti irama zapin itulah, tarian zapin api ini diperagakan. Tarian akan berhenti setelah seluruh api padam dan ada aba-aba dari khalifah. Satu per satu penari disadarkan dari “fana” mereka.
Hilang 40 Tahun
Riwayat zapin api hampir saja tamat di era 1970-an. Setelah rutin diadakan sepanjang tahun sejak abad ke-13, nyala zapin api sempat padam. Penyebabnya, tidak ada perhatian dari pemerintah. Banyak khalifah dan penari zapin api yang “merajuk”. Afiz, menceritakan, leluhur mereka tetaplah harus mencari penghidupan. Kebanyakan nelayan. Untuk persiapan pertunjukan, diperlukan persiapan panjang. Bisa sebulan. Paling kurang sepekan atau tiga hari. Mulai dari menyiapkan alat musik, puasa, hingga ritual yang lainnya. Tentu saja mereka tak dapat mencari nafkah selama itu. Makanya, ketika tidak ada perhatian atau penanggap, maka banyak khalifah, penari dan penjaga api yang tak lagi berminat. Beberapa leluhurnya bahkan berangkat dan tinggal di Malaysia untuk mencari nafkah. Mereka juga bermain gasal, alat musik khas Melayu.
“Tapi zapin api tak pernah dimainkan di sana,” ujar Afiz.
Itulah pula penyebabnya, kendati puluhan tahun para pemain, khalifah, dan penjaga api pernah di Malaysia, zapin api tidak diklaim Negeri Jiran. Sebagai catatan, Malaysia hanya berada di seberang Selat Melaka, dan orang-orang Rupat Utara terbiasa, bahkan berhubungan kerabat hingga sekarang dengan sebagian orang-orang Port Klang, Malaysia.
Kini, zapin api sudah didaftarkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan menetapkannya pada 2017. Hanya saja, tentu tak setakat penetapan warisan budaya. Harus ada pembinaan yang terus-menerus. Apalagi, orang-orang yang berkecimpung di sini merupakan orang yang “bingung alang” (tidak memiliki pekerjaan tetap). Mereka juga orang-orang yang “lurus bendul” (ikhlas). Mereka juga tidak suka mengajukan proposal.
Kebangkitan zapin api pada 2009 ditandai dengan lahirnya Sanggar Petak Semai. Afiz mewarisi Sanggar Petak Semai dari ayahnya dan memimpin hingga sekarang. Dengan sudah diakuinya zapin api sebagai WBTB Indonesia, seharusnya ada upaya pelestariannya. Jangan malah kemudian diabaikan, lalu pelan-pelan hilang. Benar-benar hilang.
“Kami tentu berharap ada perhatian pemerintah,” sebutnya.***
Laporan Muhammad Amin, Rupat Utara