PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Dulu sekali, saat Pekanbaru masih sepi, kawasan ini bernama bencah luas. Rawa-rawa yang bak danau saat musim hujan. Kawasan seluas 14 hektare itu sekarang penuh jejak para gubernur. Peneraju Negeri Melayu seakan berlomba memberikan jejak pembangunan di sana. Ada empat gubernur yang punya jejak di sana, dari MTQ Nasional, Bandar Serai, ASIT, Ritos, dan terakhir QC. Dari nuansa islami, seni, olahraga, hingga ekonomi ada di sana.
Kompleks Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandar Serai) tak lagi seramai dulu. Apalagi sejak tak adanya lagi aktivitas perkuliahan di Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR). Pada siang hari, pekan lalu, hanya terlihat beberapa orang saja yang beraktivitas di kompleks yang berada di Jalan Jenderal Sudirman tersebut. Denyut kesenian memang tampak mulai melambat di sana.
Yang masih memanfaatkan gedung eks AKMR adalah Dewan Kesenian Riau (DKR). Di gedung tersebut, para pengurus DKR biasanya membahas program kerja sembari berbual terkait kesenian di Riau. Selain aktivitas tersebut, tak banyak aktivitas yang dilakukan di gedung yang berada di belakang bangunan Anjung Seni Idrus Tintin (ASIT) itu.
Belakangan, para seniman Riau sempat dihebohkan dengan rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau yang akan membangun Quran Center (QC) di kawasan Bandar Serai. Rencana pembangunan Quran Center tersebut juga menuai pro-kontra di kalangan seniman itu sendiri.
Bagi DKR, pembangunan Quran Center dinilai tak akan mengganggu aktivitas mereka berkesenian. Dari sisi letak, sekretariat DKR dengan rencana lokasi pembangunan Quran Center juga cukup jauh. Lagi pula, selama ini mereka tak pernah berlatih kesenian di halaman Bandar Serai.
Bencah Luas yang Kontroversial
Dulu sekali, masyarakat Pekanbaru dan Kampar menamakan kawasan ini sebagai bencah luas. Boncah loweh dialek Kampar-nya. Kawasan seluas sekitar 14 hektare ini terbiar begitu saja karena memang dianggap hanya kawasan tak bermanfaat. Hanya rawa-rawa gambut yang penuh air bak danau di musim hujan.
Gubernur Riau Soeripto memberikan jejaknya yang pertama di sini. Soeripto menjadikan areal ini sebagai venue Musabaqah Tilawatil Quran Nasional (MTQN) XVII pada 17 Juli 1994. Dibangun stadion mini dengan atraksi spektakuler saat pembukaan MTQN. Nyaris seperti PON kemeriahan yang ditampilkan. MTQN dibuka Presiden RI Soeharto.
Kawasan ini pun kemudian lama terbiar. Sekitar 15 tahun terbiar begitu saja. Pemakaian istilah Purna-MTQ pun akhirnya melekat di sana karena memang merupakan bekas areal atau venue MTQN. Di tahun 2000-an kawasan itu mulai dimanfaatkan sebagai pusat kesenian Provinsi Riau. Apalagi, di masa itu Balai Dang Merdu di Jalan Sudirman yang biasa digunakan untuk pementasan kesenian akan digunakan untuk pembangunan lain. Ada rencana membangun Bank Riau Kepri, termasuk tetap ada ruang pertemuan di sana sebagaimana halnya Balai Dang Merdu. Hanya saja, Dang Merdu versi baru itu bukan lagi untuk area pertunjukan seni.
Gubernur Saleh Djasit memiliki visi laman bermain baru untuk seniman di areal itu. Ini adalah perwujudan dari Visi Riau 2020 yang salah satu isinya adalah menjadikan Riau sebagai pusat budaya Melayu di Asia Tenggara. Itulah kemudian yang menahbiskan istilah Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandar Serai).
Seniman/budayawan Riau Taufik Ikram Jamil menyebutkan, Gubri Saleh Djasit yang meminta seniman pindah ke sana. Ketika itu, eks areal MTQN itu masih terbengkalai.
"Jadi kami para seniman tidak mengatakan itu sebagai Purna-MTQ. Salah itu. Itu adalah Bandar Seni Raja Ali Haji. Artinya pemerintah sendiri yang mencanangkan itu sebagai bandar seni. Waktu itu zaman Pak Saleh Djasit," paparnya.
Sejak ditetapkan Saleh Djasit sebagai pusat kesenian hingga kini, sudah tiga kali dibuat detail engineering design (DED) untuk pembangunan kawasan tersebut. Namun tak satu pun terealisasi. Saleh Djasit pernah merancang gedung seni di areal Bandar Serai. Tapi, rencana lanjutan gedung seni tidak berlanjut karena masa pemerintahan hanya satu periode.
Di masa Gubernur Rusli Zainal, kelanjutan Bandar Serai terealisasi. Rusli Zainal melanjutkan rencana pembangunan Bandar Serai dengan Anjung Seni Idrus Tintin (ASIT). Sempat ada Festival Film Indonesia (FFI) di sini. Selain itu juga beberapa pertunjukan skala besar.
Tapi areal seni itu tiba-tiba mulai pula berubah. Jelang PON 2012, di kawasan tersebut dibangun venue untuk pertandingan. Kala itu, di antara pelaku seni sempat pula kasak-kusuk dan resah. Taufik Ikram mengistilahkan Bandar Serai ini kembali lagi diguncang.
"Tapi hanya di sebelahnya. Itu lapangan boling yang terbengkalai," ujar Taufik Ikram.
Taufik Ikram termasuk salah satu pelaku seni dan budayawan yang sejak awal mengikuti dinamika yang terjadi di kawasan Bandar Serai. Saat Gubri dijabat Saleh Djasit, dia adalah sekretaris umum Dewan Kesenian Riau (DKR). Dia kemudian pernah menjadi ketua organisasi tempat para seniman Riau itu berwadah. Saat PON, dari 14 hektare luas kawasan tersebut, enam hektare di antaranya digunakan untuk kawasan venue olahraga, salah satunya boling. Para seniman sempat berdebat dengan Gubri Rusli Zainal. "Tapi Pak RZ bilang ini tidak semua kawasan digunakan untuk PON. Hanya enam hektare saja," urai Taufik Ikram Jamil.
Di masa Gubri Rusli Zainal juga terjadi pergeseran rencana di kawasan ini. Tak hanya kawasan kesenian, tapi masuk pula kawasan perekonomian, yakni rencana pembangunan Riau Town Square and Convention Center (Ritos). Ketua DPRD Riau periode 1999-2004 dan 2004-2008 Dr drh Chaidir mengatakan, saat itu Gubernur Riau Rusli Zainal akan menjadikan kawasan Bandar Serai sebagai pusat kesenian sekaligus perekonomian. Bahkan ada rencana ikon besar di sana. Sudah pula ada master plan-nya. Hanya saja, Ritos tidak terealisasi.
Belakangan, Gubri Syamsuar berencana menjadikan areal ini sebagai Quran Center (QC). Rencana QC di areal eks bencah luas ini tentu saja menambah nuansa baru di sana. Mulai dari rencana mengembalikan nuansa Purna-MTQ, memberikan simbol baru di gerbang masuk ibu kota, hingga alasan lainnya mengemuka.
Tapi, tentu saja rencana ini menjadi tanda tanya di beberapa kalangan seniman yang sudah nyaman di sana. Salah satunya Taufik Ikram.
"Kami bertanya, apakah tidak ada tempat lain?" tanya Taufik Ikram.
Usaha Keras Seniman
Terbengkalainya Astaka Purna-MTQ selama sekitar 15 tahun tentu saja membuat kawasan ini seperti sarang jin. Penuh belukar. Sekretaris Umum Asosiasi Seniman Riau (Aseri) Aristofani menceritakan, kawasan ini dulu rimbun sekali. Banyak pohon tidak terawat. Benar-benar seperti hutan belantara. Banyak ular juga. Sebagai areal yang memiliki bangunan yakni eks venue MTQN, banyak juga gelandangan yang hidup di sini.
Makanya, ketika ada rencana pemindahan laman berkarya seniman ke kawasan ini, para seniman bekerja keras. Penuh perjuangan. Setelah itu maka dibentuk badan pengelola berbentuk yayasan. Itulah Yayasan Bandar Seni Raja Ali Haji.
"Yayasan ini yang merancang kawasan ini menjadi art center," ungkap Aristofani.
Kerja keras itu tentu saja dengan harapan di kawasan ini para seniman dapat berkarya dengan leluasa. Hal itu dimulai sejak rencana rehabilitasi Balai Dang Merdu sekitar tahun 2000. Mereka pun merambah semak belukar dan mulai berkarya di bekas astaka MTQ itu. Yayasan Bandar Serai pun mulai beraksi di sana.
Pro-Kontra
Rencana pembangunan Quran Center di areal yang kini lebih dikenal sebagai Bandar Serai ini, kini menuai kontroversi. Ada pro dan kontra. Budayawan Taufik Ikram Jamil menyebutkan, lokasi itu memang pemerintah yang punya. Tetapi kepunyaan ini bukan absolut. Sebab di sana ada masyarakat. Ada kelompok manusia yang menggunakan dan mengelola selama ini. Itulah para seniman.
Di Bandar Serai terdapat pula Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR). Di sana tempat pemuda dari banyak daerah menimba ilmu kesenian. Lewat AKMR, kesenian dihidupkan. Sampai tiga kali pula pemerintah membuat DED art center (pusat kesenian). "DED itu untuk menunjukkan bagaimana pembangunan kawasan Bandar Serai itu sebagai kawasan seni," urai Taufik Ikram.
Pada DED terakhir itu, di depan Anjung Seni Idrus Tintin akan dibangun taman. Ini menunjukkan bagaimana Riau itu aquatik. Ada lancang kuning yang besar. "Tapi tidak juga jadi (dibangun, red)," katanya.
Rencana QC di tempat ini tentu saja membuat para seniman terkejut. Rapat membahas penempatan Quran Center beberapa waktu lalu sudah digelar. Dirinya mendapatkan informasi dari Datuk Seri al Azhar yang mengikuti pembahasan tersebut. Dari al Azhar dia mendapatkan cerita soal rencana itu. Ada tiga alternatif. Pertama, Quran Center dibuat di Masjid An-Nur. Opsi ini tidak ada bantahan. Kedua di hall boling. Ketiga di museum perempuan di sebelah kantor Dinas Pariwisata.