Hingga kini berbagai bunyian alat musik tradisi, masih berkumandang terang di berbagai kawasan Cipang Raya, Kabupaten Rohul. Alat musiK tradisional ini disebut juga dengan Bunyian Tradisi.
(RIAUPOS.CO) – BANYAK bunyian tradisi yang masih terawat di kawasan Cipang Raya, Kecamatan Rokan IV Koto, Kabupaten Rohul. Di antaranya; Dikie Rupano dan Gondang Oguong. Keduanya tidak terlepas pula dari gerak silat.
Dikie Rupano adalah salah satu seni musik yang berkembang di setiap desa baik di Desa Cipang Kanan, Tibawan, Cipang Kiri Hilir maupun Cipang Kiri Hulu. Selain mengandalkan musik sebagai irama, Dikie Rupano juga disertai dengan nyanyian atau lagu. Lagu itu sendiri diambil dari Albarzanji yang isinya merupakan puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Lagu-lagu itu dilantunkan dalam Bahasa Arab.
Tidak hanya ada satu lagu, tapi banyak. Iramanya juga berbeda, tergantung kepada irama lagu yang disenandungkan. Jika lagunya cepat, irama atau musik akan mengiringi dengan cepat. Begitu juga sebaliknya. Tidak dinyanyikan dengan sederhana, tapi dengan penuh semangat dan suara tinggi.
Alat musik Dikie Rupano berupa gendang. Jumlahnya banyak. Bentuknya sama, hanya ukurannya yang berbeda. Sehingga bunyi yang dihasilkan juga tidak sama. Jenis gendang yang dimainkan dalam satu lagu juga banyak, tidak hanya satu. Ada gendang dasar, ada gendang peningkah sehingga suara musik semakin enak didengar.
Sejak awal, pemain Dikie Rupano di beberapa daerah memang dimainkan kaum lelaki, tidak ada yang perempuan. Begitu juga di Cipang Kanan. Semuaya lelaki, yang memukul gendang dan yang menyanyikan laki-laki semua. Hampir semua lagu dibawa bersamaa atau tidak ada penyanyi solo. Ini juga yang membuat musik tradisi ini terdengar hingga jauh meski tidak menggunakan pengeras suara.
Di Cipang Kanan, jumlah pemain Dikie Rupano ada 21 orang. Tidak ada yang anak-anak, semuanya orang dewasa. Usianya antara 25 hingga 75 tahun. Di bawah binaan Syamsu, para pemain ini bisa bermain dengan baik. Hampir setiap ada kesempatan Syamsu melatih rekan-rekannya, mulai dari memukul gendang hingga irama yang dilagukan.
Jenis lagu yang dimainkan antara lain, amintaza, ayahsabu, naamsaro, Muhammadun, malinbiro, dll. Agar lebih mudah, dalam latihan tidak dipisahkan antara latihan lagu dan latihan gendang. Sambil belajar lagu, sambil memukul gendang. Tapi karena jumlah orang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah gendang, maka yang tidak bermain alat musik, lebih difokuskan untuk membawakan lagu. Lagu harus diawali oleh yang dituakan baru disusul oleh yang lainnya.
Sebagai salah satu seni tradisi, Dikie Rupano tidak boleh sembarang dimainkan. Ada waktu-waktu khusus kapan kesenian ini boleh ditampilkan. Di antaranya untuk pesta pernikahan. Alat musik ini bisa dimainkan hingga pagi, tergantung kekuatan pemain dan kesediaan pemilik hajatan tersebut.
Selain dimainkan saat pernikahan atau masyarakat Cipang Kanan menyebutnya dengan nikah kawin, juga dimainkan saat arak khatam Alquran, Balimau, Niat Tahun atau acara-acara besar dengan tamu-tamu besar atau tamu kehormatan pula.
Syamsu menyebutkan, setidaknya ada dua jenis Dikie di Cipang Kanan, yakni Dikie Maulid dan Dikie Rupano. Kalau Dikie Rupano lebih fleksibel, bisa dimainkan dalam bayak situasi. Tapi Dikie Maulid hanya dimainkan saaat maulid Nabi Muhammad di masjid. Itu pun hanya lagunya saja, tanpa alat musik. Di beberapa daerah, Dikie Maulid disebut juga dengan barzanji.
Lain pula dengan Gondang Oguong. Gondang berarti gendang. Sedang Oguong berarti gong. Gondang Oguong adalah gendang gong yakni alat musik tradisional yang dimainkan dengan berkelompok atau oleh beberapa orang. Gong terbuat dari tembaga. Suaranya lebih mendominasi dibandingkan dengan yang lain.
Cara memukul gong yakni dengan digantung memakai tali pada tiang atau kayu yang diikat segitiga sehingga posisi gong yang tergantung persis di tengah-tengah. Ini jika dimainkan di ruang terbuka. Jika di ruang sempit, atau di tempat yang berbeda, bisa digantung dengan cara yang berbeda pula, yang penting tergantung.
Berbeda dengan gendang. Alat musik ini terbuat dari kulit kambing. Bentuknya sedikit memanjang dengan permukaan datar bulat atau rata.Sedangkan seluruh sisinya terbuat dari kayu dan rotan. Hanya ada satu gendang saja dan dimainkan oleh satu orang. Suara gendang menambah suara gong semakin berarti karena gong hadir sebagai peningkah suara gendang
Talempong merupakan alat musik penyempurna gondang oguong. Tak heran jika gondang oguong juga dikenal dengan nama talempong. Alat musik ini terbuat dari tembaga berwarna kuning. Sebelum ada tembaga, dibuat dari kayu. Suaranya lebih unik tapi tetap menghasilkan suara dan irama. Dengan dua alat pemukul kecil yang juga terbuat dari kayu berukuran panjang sekitar satu jengkal, talempong melahirkan bunyi membentuk lagu-lagu.
Desa Cipang Kanan, alat musik ini dimainkan oleh orang tua. Lalu diturunkan kepada anak-anak remaja, sehingga anak-anak ini juga mahir memainkannya. Banyak pula jenis lagu yang sudah dikuasainya. Bukan lagu sembarangan, tapi sudah ada lagu khusus yang diciptakan para tetua sebelumnya.
Sebagai salah satu alat musik tradisional, juga tidak bisa dimainkan sembarangan Ada waktu-waktu tertentu kapan boleh dimainkan. Di antaranya untuk hajatan besar atau menyambut tetamu yang datang ke kampung mereka. Pada umumnya dimainkan di ruang terbuka atau di pentas-pentas seperti acara pernikahan, sunat rasul dan sebagainya.
Gondang Oguong atau talempong ini menjadi musik pengiring silat. Sangat jarang dimainkan secara tunggal. Dengan kata lain, selalu berpasangan dengan silat. Di Desa Cipang Kanan, alat ini dimainkan oleh orang tua. Lalu diturunkan kepada anak-anak remaja.Tak heran, baik orangtua maupun anak-anak banyak yang pandai memainkan alat musik ini.
Sa’danur, salah satu ninik mamak dan tokoh masyarakat Cipang Kanan, merupakan orang yang paling lihai memainkan talempong. Ia juga mengajarkan kepada anak-anak bagaimana cara bermain dan memainkan gendang oguong yang baik. Selain menghadirkan lagu-lagu melalui pukulan talempong, alat musik ini juga harus dimainkan dengan kompak sehingga terdengar rapi dan utuh.
Sa’danur memang dikenal tokoh masyarakat serba bisa. Selain lihai memainkan talempong, ia sangat pakar bersilat. Kedua tangannya terlihat tegas dalam setiap gerak silat yang dibawakannya. Begitu juga langkah demi langkah kakinya. Kuda-kudanya kokoh, begitu juga saat dalam posisi tegak lurus baik dengan dua kaki atau satu kaki. Menghadapi lawan main, sangat berhati-hati. Tidak sembarang mengeluarkan jurus. Penuh ancang-ancang. Begitu dirasa tepat, langsung menyerang.
Mengajarkan silat pada anak-anak muda, itu juga yang dilakukan Sa’danur dan beberapa tetua di Desa Cipang Kanan. Tak heran jika di desa ini, anak-anak remaja sudah mahir bersilat. Tidak hanya berfungsi sebagai sesuatu yang diiringi talempong atau sebaliknya, sebagai pengisi bunyi talempong, tapi silat ini dianggap penting karena sebagai olahraga bela diri.
Anak-anak kampung, sejak zaman nenek moyang, sudah diajarkan bela diri dan difahamkan dengan matang untuk apa bela diri tersebut. Bukan untuk kesombongan atau melakukan kekerasan, tapi untuk kebugaran, kesehatan dan untuk jaga-jaga jika ada sesuatu atau serangan dari pihak lain. Serangan yang dimaksud bukan hanya dari sesama manusia, tapi bisa juga dari hewan buas yang masih banyak ditemukan di hutan sekitar kawasan desa Cipang Raya.
Kehadiran pencak silat memang untuk bela diri, tapi salah satu fungsinya juga untuk hiburan atau kesenian sehingga silat juga banyak macamnya. Silat yang sering dimainkan dengan iringan gondang oguong atau talempong adalah silat hiburan. Biasanya dimainkan untuk penyambutan tamu besar yang datang ke kampung, untuk acara atau hajatan besar seperti pernikahan, sunat rosul, dan acara-acara adat lain seperti mandi balimau, niat tahun dan masih banyak lainnya.
Silat selalu dimainkan secara berpasangan. Tidak pernah sendiri. Gerakannya juga dominan selalu sama antara satu pesilat dengan pesilat lainnya. Ini khusus untuk silat yag berfungsi sebagai seni atau silat penyambut tamu. Bisa juga dimainkan secara beramai, tapi juga tetap berpasangan. Artinya, banyak pasangan dalam silat tersebut. Cukup fleksibel karena bisa disesuaikan dengan keadaan dan keperluan.***
Laporan KUNNI MASROHANTI, Rohul