Gasing, layang-layang dan congkak adalah permainan tradisional Melayu yang hingga saat ini masih banyak ditemukan di berbagai daerah. Bahkan, permainan ini terawat dengan baik.
Laporan KUNNI MASROHANTI, Pekanbaru
DI tengah kemajuan teknologi saat ini, hampir semua permainan tradisi terlupakan. Anak-anak masa kini bisa dikatakan asing, bahkan tidak lagi tahu tentang permainan nenek moyang mereka itu. Apalagi tentang makna dan filosofi dalam permaianan tersebut. Di sinilah pentingnya melestarikan permainan tersebut, baik dengan cara menggelar lomba atau sekadar pertunjukan biasa. Ini jugalah yang menjadi dasar mengapa Dinas Kebudayaan Riau menggelar berbagai perlombaan tradisi tersebut beberapa waktu lalu sempena hari jadi Provinsi Riau.
Tiga permainan tradisi tersebut yakni gasing, layang-layang dan congkak. Ketiganya merupakan permaianan rakyat Indonesia (bukan hanya Riau). Gasing misalnya. Di Jakarta dan Jawa Barat gasing dikenal dengan nama panggal, di Lampung masyarakat menyebutnya pukang. Di Jambi, Bengkulu, Tanjungpinang, dan wilayah Kepulauan Riau, Sumatera Barat dikenal dengan gansing atau gasing. Di Kalimantan Timur begasing, Bali megangsing, di Nusa Tenggara Barat magasing, dan di Maluku, apiong.
Di antara sejumlah permainan tradisional lainnya, gasing termasuk paling populer. Gasing merupakan permainan untuk kaum laki-laki. Gasing terdapat di mana-mana. Berbagai daerah banyak memiliki permainan gasing dengan ciri khasnya masing-masing.
Gasing sering diasosiasikan dengan permainan anak-anak. Padahal, banyak remaja dan orang dewasa memainkannya. Gasing adalah mainan yang bisa berputar pada poros karena faktor keseimbangan pada suatu titik. Harus seimbang. Bagian-bagian kayu yang membentuk gasing juga harus rapi.
Begitu juga kehidupan. Akan mulus dan sejahtera jika terjadi keseimbangan. Filosofi yang tersimpang di sebalik gasing yang membuat permainan ini bukan permainan biasa.
Diperkirakan gasing merupakan mainan tertua di dunia. Artefak ini banyak ditemukan pada berbagai situs arkeologi di banyak negara. Sejauh ini dapat dikatakan gasing merupakan permainan yang bersifat universal, dalam arti ada di berbagai kebudayaan dunia.
Gasing tradisional dibuat dari kayu, dimainkan menggunakan tali, yang umumnya berasal dari kulit pohon. Sementara gasing modern terbuat dari plastik atau bahan-bahan sintetis, dimainkan menggunakan tali nilon atau benang bol. Panjang tali gasing berbeda-beda, tergantung pada ukuran gasing dan panjang lengan orang yang memainkan.
Bahan pembuatan gasing biasanya bagian terkuat dari kayu yang terletak pada tengah atau bagian akar. Jenis-jenis kayu itu antara lain Menggeris, Pelawan, Kayu Besi, Leban, Mentigi, dan sejenisnya. Penggunaan jenis kayu tentu saja sangat dipengaruhi faktor geografis atau daerah. Pembentukan kayu menjadi sebuah gasing umumnya menggunakan peralatan tradisional berupa parang, golok, pisau, pecahan beling, dan ampelas.
Gasing dimainkan dengan cara dilempar atau ditarik. Lalu berputar untuk beberapa saat. Lama waktu berputar sangat tergantung kepada keterampilan si pemain. Interaksi bagian kaki (paksi) dengan permukaan tanah membuat gasing bisa tegak. Setelah gasing berputar tegak untuk sementara waktu, momentum sudut dan efek giroskopik berkurang sedikit demi sedikit hingga akhirnya bagian badan terjatuh secara kasar ke permukaan tanah. Gasing yang baik dapat berputar dengan lancar dan enak dilihat. Bahkan pemain yang terampil mampu membuat gasing berputar di atas ujung jarinya.
Permainan gasing biasanya menggunakan tempat di pekarangan rumah atau tanah lapang yang kondisi tanahnya keras dan datar. Permainan ini dapat dilakukan secara perorangan ataupun beregu. Jumlah pemainnya bervariasi, tergantung kebiasaan di daerah tertentu. Hingga kini, gasing masih tetap populer. Permainan ini banyak ditemukan di sejumlah daerah di Indonesia. Bahkan warga di beberapa provinsi rutin menyelenggarakan kompetisi atau festival gasing dalam rangka promosi pariwisata.
Di Riau juga demikian. Lomba gasing yang dilaksanakan sempena hari jadi Provinsi Riau beberapa waktu lalu, memang dimaksudkan untuk pelestarian budaya. Tapi bisa juga menjadi daya tarik wisatawan sebagai wisata budaya. Lomba tersebut diikuti banyak pria dewasa dari 12 kabupaten/kota yang ada di Riau.
‘’Permainan tradisi seperti gasing, layang-layang dan congkak, harus dilestarikan. Selain permainannya memang asyik, penuh tantangan, strategi dan cara khusus untuk memainkannya, permainan ini juga mengandung filosofi kehidupan yang luar biasa. Alhamdulillah lomba yang kita laksanakan sempena hari jadi Provinsi Riau, banyak peminatnya,’’ ungkap Kepala Dinas Kebudayaan Riau, Yoserizal Zein.
Jika layang-layang dan gasing dimainkan oleh lelaki anak-anak dan dewasa, lain halnya dengan congkak yang hanya dimainkan oleh anak-anak perempuan. Congkak merupakan permainan tradisi Melayu yang unik. Tidak diketahui pasti kapan congkak ini ditemukan dan dari mana bermula. Konon, ada yang mengatakan dari Pulau Jawa, tapi ada juga yang mengatakan dari Malaka, Malaysia. Yang jelas, congkak merupakan permainan putri-putri raja di dalam istana. Saat waktu senggang, mereka memainkan congkak tersebut. Lambat laun, congkak menjadi permaianan masyarakat luas. Anak-anak perempuan memainkan congkak kapan saja.
Seperti gasing, congkak juga mengandung filosofi kehidupan. Layaknya sebuah kompetisi, dalam memainkan congkak juga perlu cara dan strategi supaya memperoleh kemenangan. Buah congkak yang biasanya kerang atau siput, diletakkan di setiap lubang congkak, selain lubang induk. Ada 16 lubang pada papan congkak ini. Satu orang memiliki tujuh lubang yang berisi siput sebagai alat permainan, dan satu lubang kosong sebagai lubang induk di awal permainan. Siapa yang berhasil mengumpulkan siput terbanyak di lubang induk, dialah pemenang.
Bagaimana pula dengan layang-layang. Tentu lebih unik. Terdapat berbagai tipe layang-layang permainan. Di Sunda dikenal istilah maen langlayanga. Yang paling umum adalah layang-layang hias. Dalam bahasa Betawi disebut koang dan layang-layang aduan laga. Terdapat pula layang-layang yang diberi sendaringan yang dapat mengeluarkan suara karena hembusan angin. Layang-layang laga biasa dimainkan oleh anak-anak pada masa pancaroba karena kuatnya angin berhembus pada saat itu.
Di beberapa daerah, layang-layang dimainkan sebagai bagian dari ritual tertentu, biasanya terkait dengan proses budidaya pertanian. Layang-layang paling sederhana terbuat dari helai daun yang diberi kerangka dari bambu, kemudian diikat dengan serat rotan. Layang-layang semacam ini masih dapat dijumpai di Sulawesi. Diduga beberapa bentuk layang-layang tradisional asal Bali berkembang dari layang-layang daun karena bentuk ovalnya yang menyerupai daun.
Penggunaan layang-layang sebagai alat bantu penelitian cuaca telah dikenal sejak abad ke-18. Contoh yang paling terkenal adalah ketika Benjamin Franklin menggunakan layang-layang yang terhubung dengan kunci untuk menunjukkan bahwa petir membawa muatan listrik.
Sungguh layang-layang merupakan permainan tradisi yang juga penuh dengan filosofi kehidupan. Layang-layang tidak akan terbang jika tidak terjadi tarik ulur tali kendali yang baik. Jika tidak bisa memahami kekuatan angin sebagai alat pengangkut layang-layang hingga bisa terbang ke udara. ***