RIO DE JANEIRO (RIAUPOS.CO) – Brazil mencatatkan kematian karena pandemi corona (Covid-19) pada salah seorang anggota suku pedalaman di belantara Amazon. Kematian ini mengejutkan karena mereka tak banyak melakukan kontak dengan dunia luar.
Anak lelaki suku Yanomami di Amazon berusia 15 tahun yang terinfeksi virus corona dilaporkan meninggal dunia pada Jumat (10/4/2020). Peristiwa ini menimbulkan kekhawatiran bagi suku Amazon yang dikenal dengan kerentanannya terhadap penyakit.
Bocah ini merupakan suku Yanomami pertama yang didiagnosis terinfeksi virus tersebut. Dia dirawat di rumah sakit sejak seminggu lalu di ICU di Boa Vista, ibu kota negara bagian utara Roraima.
"Penyakit ini sangat berbahaya bagi kami," kata Dario Yawarioma, seorang pemimpin Yanomami.
"Ini hari yang sangat menyedihkan bagi Yanomami," kata Dario lagi seperti dilansir AFP.
Kementerian Kesehatan Brazil dalam pernyataannya yang dikutip dari AFP menyebut bahwa dia meninggal karena komplikasi pernapasan yang parah pada Kamis (9/4).
Menurut surat kabar Globo, dia adalah orang pribumi ketiga di Brazil yang meninggal setelah tertular virus corona baru. Yang lain berasal dari suku Borari dan Muru.
Masyarakat adat yang terisolasi di hutan hujan Amazon sangat rentan terhadap penyakit yang dibawa dari dunia luar, dan kelompok hak asasi Yanomami mengatakan bocah itu datang dan melakukan kontak dengan penduduk asli lainnya setelah ia mulai menunjukkan gejala.
Asosiasi Hutukara menyalahkan "perawatan medis yang tidak memadai" atas kematian bocah lelaki itu, dengan mengatakan ia pergi lebih dari dua minggu tanpa diagnosa yang tepat sejak pertama kali ia pergi ke rumah sakit dengan gejala pernapasan.
Hal tersebut membuat mereka meminta pihak berwenang untuk melacak dan membantu mereka untuk menjalani tes dan isolasi diri. Mereka juga mendesak pemerintah untuk menindak penambang emas ilegal di tanah adat yang mereka yakini menjadi sumber penularan.
Brazil adalah rumah bagi sekitar 800.000 penduduk asli dari lebih dari 300 kelompok etnis. Yanomami, yang terkenal dengan cat wajah dan tindikan berjumlah sekitar 27.000 jiwa.
Sebagian besar dari mereka terisolasi dari dunia luar hingga pertengahan abad ke-2o. Mereka hancur oleh penyakit seperti campak dan malaria pada 1970-an.
Sumber: AFP/CNN/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun