UU KPK Hasil Revisi Lahir Tanpa Proses Legislasi yang Baik

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai, terdapat kecatatan dalam proses Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Bivitri memandang, lahirnya UU KPK hasil revisi tanpa proses legislasi yang baik.

“Proses legislasi tidak dijalankan dengan baik, sesungguhnya ini telah melanggar azas negara hukum. Validitas undang-undang tergantung pada proses yang benar,” kata Bivitri saat menjadi ahli pengujian Uji Formil UU KPK hasil revisi di Gedung MK, Jakarta, Rabu (19/2).

- Advertisement -

Bahkan saat proses pengambilan keputusan UU Nomor 19 Tahun 2019 tidak memenuhi kuorum. Bivitri memandang, selama ini DPR membuat dua argumen terkait dengan kuorum pengambilan keputusan.

Pertama ada perbedaan antara kehadiran fisik dan daftar hadir. Kemudian, fraksi merupakan pengambil keputusan dalam demokrasi Indonesia yang berdasarkan pada prinsip musyawarah untuk mufakat.

- Advertisement -

"Kehadiran dalam bentuk daftar hadir bukanlah tujuan dari kuasa bersuara, namun hanya alat administratif, pada akhirnya kehadiran fisiklah yang seharusnya dijadikan ukuran oleh Mahkamah untuk menilai apakah tindakan mewakili telah dilakukan oleh anggota DPR," tegas Bivitri.

Rapat paripurna pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang digelar di DPR RI pada 17 September 2019 lalu, hanya disaksikan 102 orang anggota DPR. Namun, rapat paripurna pengesahan UU Nomor 19 Tahun 2019 tetap berlanjut. Padahal seharusnya rapat tersebut harus memenuhi kuorum dari jumlah 560 anggota DPR RI.

Sebelumnya, koalisi masyarakat sipil yang menamai Tim Advokasi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan tiga diantaranya merupakan pimpinan KPK jilid IV, yakni Agus Rahardjo, Laode M Syarif dan Saut Situmorang.

Mantan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menilai, materi formil UU KPK hasil revisi masih banyak kesalahan. Atas dasar ini sebagai warga negara dan pimpinan KPK jilid IV memberanikan diri menggugat UU KPK hasil revisi ke MK.

Laode menyebut, proses UU KPK hasil revisi tidak sesuai dengan UU yang berlaku. Sehingga hal ini diyakini melanggar hukum.

Untuk diketahui, mereka yang menggugat UU KPK hasil revisi ke MK selain tiga pimpinan KPK diantaranya Erry Riyana Hardjapamekas, Moch Jasin, Omi Komaria Madjid, Betti S Alisjahbana, Hariadi Kartodihardjo, Mayling Oey, Suarhatini Hadad, Abdul Ficar Hadjar, Abdillah Toha dan Ismid Hadad.

Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai, terdapat kecatatan dalam proses Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Bivitri memandang, lahirnya UU KPK hasil revisi tanpa proses legislasi yang baik.

“Proses legislasi tidak dijalankan dengan baik, sesungguhnya ini telah melanggar azas negara hukum. Validitas undang-undang tergantung pada proses yang benar,” kata Bivitri saat menjadi ahli pengujian Uji Formil UU KPK hasil revisi di Gedung MK, Jakarta, Rabu (19/2).

Bahkan saat proses pengambilan keputusan UU Nomor 19 Tahun 2019 tidak memenuhi kuorum. Bivitri memandang, selama ini DPR membuat dua argumen terkait dengan kuorum pengambilan keputusan.

Pertama ada perbedaan antara kehadiran fisik dan daftar hadir. Kemudian, fraksi merupakan pengambil keputusan dalam demokrasi Indonesia yang berdasarkan pada prinsip musyawarah untuk mufakat.

"Kehadiran dalam bentuk daftar hadir bukanlah tujuan dari kuasa bersuara, namun hanya alat administratif, pada akhirnya kehadiran fisiklah yang seharusnya dijadikan ukuran oleh Mahkamah untuk menilai apakah tindakan mewakili telah dilakukan oleh anggota DPR," tegas Bivitri.

Rapat paripurna pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang digelar di DPR RI pada 17 September 2019 lalu, hanya disaksikan 102 orang anggota DPR. Namun, rapat paripurna pengesahan UU Nomor 19 Tahun 2019 tetap berlanjut. Padahal seharusnya rapat tersebut harus memenuhi kuorum dari jumlah 560 anggota DPR RI.

Sebelumnya, koalisi masyarakat sipil yang menamai Tim Advokasi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan tiga diantaranya merupakan pimpinan KPK jilid IV, yakni Agus Rahardjo, Laode M Syarif dan Saut Situmorang.

Mantan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menilai, materi formil UU KPK hasil revisi masih banyak kesalahan. Atas dasar ini sebagai warga negara dan pimpinan KPK jilid IV memberanikan diri menggugat UU KPK hasil revisi ke MK.

Laode menyebut, proses UU KPK hasil revisi tidak sesuai dengan UU yang berlaku. Sehingga hal ini diyakini melanggar hukum.

Untuk diketahui, mereka yang menggugat UU KPK hasil revisi ke MK selain tiga pimpinan KPK diantaranya Erry Riyana Hardjapamekas, Moch Jasin, Omi Komaria Madjid, Betti S Alisjahbana, Hariadi Kartodihardjo, Mayling Oey, Suarhatini Hadad, Abdul Ficar Hadjar, Abdillah Toha dan Ismid Hadad.

Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya