RIAUPOS.CO– Mengobati sakit kanker akan lebih mudah dilakukan jika secara dini diketahui. Penanganan kanker memerlukan pengetahuan yang benar serta tatalaksana yang terstandar agar pengobatan mencapai hasil yang diinginkan. Sayangnya, dalam mengobati kanker masih sering terjadi kesalahpahaman di masyarakat.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, kanker merupakan salah satu penyakit penyebab morbiditas dan mortalitas terbanyak di dunia. WHO mencatat, terdapat sekitar 18,1 juta kasus kanker baru dan 9,6 juta kematian terjadi pada 2018.
Secara nasional, Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada 2018 menunjukkan prevalensi kanker di Indonesia mencapai 1,79 persen per 1000 penduduk. Hal ini berarti naik dari 2013 sebesar 1,4 persen per 1000 penduduk.
Di samping insiden kanker yang terus meningkat di seluruh dunia, sampai saat ini masih banyak didapati mitos yang menyesatkan tentang kanker. Terlebih mengenai pengobatannya sehingga diperlukan komitmen dan upaya semua pihak untuk meminimalisasi hal tersebut.
“Dengan kata lain, pasien kanker untuk mengikuti prosedur pengobatan yang bersifat ilmiah dan evidence-based,†kata Ahli Hematologi Onkologi Medik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Dr. dr. Ikhwan Rinaldi, Sp.PD-KHOM, dalam keterangan tertulis, Jumat (31/1).
Pengobatan pada kanker dapat dibagi menjadi 2 bagian besar yakni pengobatan lokal dan pengobatan sistemik. Pengobatan lokal yang sering menjadi cara pengobatan kanker adalah operasi dan radiasi. Pengobatan sistemik adalah pengobatan yang dilakukan dengan cara memasukkan obat ke dalam tubuh dengan cara ditelan. Atau dimasukkan ke dalam pembuluh darah atau disuntik atau diinfuskan, contohnya kemoterapi, terapi target, dan imunoterapi.
Faktanya, masih ada pasien kanker yang lebih memilih pengobatan yang tidak terstandar. Setidaknya ada 5 kesalahpahaman pengobatan yang masih sering terjadi di masyarakat.
1. Berobat ke Alternatif
Kekhawatiran pada prosedur akan berbagai tindakan pada kanker yang akan dilakukan oleh dokter membuat pasien. Sehingga mencari jalan alternatif pengobatan kanker.
Ada pasien yang tidak mau dibiopsi lalu pergi ke pelayanan kesehatan tertentu yang memberikan solusi tidak biopsi untuk tindak lanjut pengobatannya. Akhirnya pasien tidak diobati sesuai dengan penyakitnya. Akhirnya dalam sekian bulan terjadi progresivitas penyakit.
2. Tak Mau Dioperasi
Ada pasien yang tidak mau menjalani operasi maunya dikemoterapi saja padahal standarnya lebih baik dioperasi dulu baru dikemoterapi. Misalnya, pasien kanker payudara yang belum bermetastasis jauh tetapi belum bisa dioperasi. Sebab ukuran benjolan yang besar maka dapat dilakukan kemoterapi lebih dulu. Bila sudah mengecil dilakukan operasi dilanjutkan dengan kemoterapi lagi.
Pasien yang dimaksud tidak mau menjalani operasi setelah benjolan mengecil, meminta hanya dikemoterapi saja. Benjolan payudara hilang namun dalam waktu singkat terjadi kekambuhan. Kanker muncul lagi di organ lain dan di payudara yang dulu ada benjolan. Ada juga pasien yang sudah dibiopsi pada lubang pembuangan dan diketahui kanker, tetapi tidak mau menjalani operasi karena harus dibuat kantong pembuangan di daerah perut.
3. Lakukan Pengobatan Herbal
Pasien memilih menjalani pengobatan dengan herbal. Dalam 3 bulan terjadi progresifitas penyakit, terjadi pertumbuhan kanker di hati. Akhirnya pasien harus menjalani operasi pembuatan kantong pembuangan karena terjadi penyumbatan saluran pembuangan dan kanker tak bisa dioperasi lagi.
4. Pengobatan Tak Lengkap
Ada juga pasien yang awalnya sudah menjalani radioterapi untuk kanker pembuangan tetapi tidak mau melanjutkan operasi dan atau kemoterapi. Justru memilih untuk menjalani pengobatan di pelayanan kesehatan lain yang tidak menjalankan prosedur standar. Akhirnya datang kembali ke rumah sakit dengan penyebaran di berbagai organ seperti hati, paru, dan tulang.
5. Percaya Pengobatan Kanker Non-Medis
Penting sekali untuk mengedepankan komunikasi kepada pasien dan keluarganya sehingga keberhasilan cancer treatment sesuai tatalaksana pengobatan kanker pun semakin tinggi. Komunikasi yang kuat harus dibangun antara dokter, pasien, dan keluarga pasien agar tercipta kepercayaan antara satu sama lain.
Hal ini menjadi strategi pula agar pasien dan keluarga mau mengikuti prosedur tatalaksana. Sehingga tidak mudah terpengaruh omongan mulut ke mulut tentang pengobatan kanker non-medis yang tak terbukti secara ilmiah. Terlebih mengingat dampak berbahaya yang berpotensi akan timbul.
Editor : Deslina
Sumber: Jawapos.com