AKHIR November 2025 menjadi kisah pilu dan duka mendalam bagi saudara-saudara kita di Pulau Sumatera, khususnya di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Banjir bandang atau yang disebut “galodo” dalam Bahasa Minang, dan juga tanah longsor, menerpa wilayah mereka. Duka mereka pastinya adalah duka kita semua, duka Bangsa Indonesia.
Musibah tanah longsor dan banjir bandang merupakan tragedi yang sering terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Namun, ada satu pemandangan yang menyita perhatian dan meninggalkan pertanyaan besar dalam bencana alam kali ini: gelondongan kayu yang turut menyertai amukan banjir bandang tersebut.
Tentu kita bertanya, apakah ini fenomena biasa yang terjadi sebagai efek dari cuaca ekstrem atau siklon tropis? Apakah gelondongan itu hanyalah kayu lapuk yang terbawa arus? Tinjauan di lokasi kejadian membuktikan sebaliknya. Kehadiran bekas gergaji mesin (chainsaw) yang tampak jelas pada potongan kayu-kayu tersebut menunjukkan ulah tangan-tangan tak bertanggung jawab. Mereka yang hanya ingin mengeruk kekayaan alam terbukti memiliki andil besar, bahkan dicurigai sebagai aktor utama dalam musibah ini.
Aktivitas pembalakan hutan dan penambangan di kawasan resapan adalah hal yang paling disorot atas nestapa Sumatera ini. Jauh sebelum peristiwa ini terjadi, tokoh dan aktor mancanegara seperti Harrison Ford bahkan pernah mengingatkan, dan sempat menginterogasi langsung Menteri Kehutanan kala itu, tentang bahaya penggundulan hutan di Sumatera untuk pertambangan dan alih fungsi lahan oleh korporasi tertentu.
Daripada kita terjebak dalam perdebatan narasi apakah ini harus dilabeli bencana nasional atau daerah, atau narasi yang mengatakan bahwa peristiwa ini tak semencekam yang dilaporkan di media sosial, mari kita coba melihat dari sudut pandang yang lebih substantif dan transformatif. Sudut pandang ini penting agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan, atau bahkan mencegah bencana yang lebih parah terjadi.
Ekoteologi: Solusi Preventif Berbasis Iman
Di antara sekian banyak solusi yang ditawarkan untuk pencegahan, konsep Ekoteologi perlu dihadirkan. Konsep ini menawarkan tindakan preventif yang dapat dilakukan oleh setiap individu tanpa harus menunggu aparat hukum dan pejabat bertindak menindak para pembalak. Ekoteologi memandang aktivitas menjaga lingkungan (eco) juga merupakan bentuk ibadah dan tanggung jawab keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa (teologi).
Ekoteologi menawarkan pemahaman konsep ibadah yang menarik di tengah bahaya ekologi yang kian mengancam. Konsep ini menegaskan bahwa ibadah tidak hanya bersifat vertikal antara manusia dengan Tuhan, tetapi juga horizontal, yaitu berbuat baik kepada sesama manusia, hewan, dan juga alam semesta.
Kita bisa melihat fenomena ini di beberapa komunitas keagamaan. Di Amerika Serikat, misalnya, salah satu agama yang pesat perkembangannya dalam beberapa dekade terakhir adalah Agama Baha’i. Salah satu daya tarik agama ini adalah ajaran tentang konsep ibadah yang inklusif. Mereka didoktrin bahwa ritual keagamaan seperti salat atau puasa adalah ibadah, namun menanam pohon, menjaga alam, dan tidak menebang pohon sembarangan juga merupakan ibadah. Semua bentuk kebaikan untuk diri sendiri, orang lain, dan alam semesta mereka yakini sebagai perwujudan ketaatan.
Di negara kita sendiri, praktik ekoteologi dapat dilihat secara nyata. Masyarakat Hindu di Bali, misalnya, sangat menghargai alam. Kita saksikan banyak pohon dibungkus dengan kain khusus, yaitu saput poleng, yang dibingkai dengan keyakinan spiritual. Tradisi ini menunjukkan kecintaan masyarakat Bali akan kelestarian lingkungan yang melampaui sekadar aturan hukum. Kepatuhan ini lahir dari kesadaran spiritual.
Di daerah Sumatera, tempat bencana terjadi, konsep ekoteologi telah lama diajarkan oleh para leluhur melalui konsep hutan larangan atau hutan adat. Sebut saja Hutan Adat Nagari Pasia Laweh di Sumatera Barat atau Hutan Adat Aek Godang di Sumatera Utara, atau Sungai Larangan di Desa Pangkalan Indarung, Kuansing, Riau. Mereka yang melanggar aturan adat terhadap kelestarian hutan tidak hanya berhadapan dengan hukum negara, tetapi juga hukum adat dan sanksi spiritual. Hutan larangan berfungsi sebagai pagar keimanan yang terbukti lebih efektif dan lestari daripada pagar besi.
Bagaimana aplikasi ekoteologi di masyarakat umum yang lebih luas? Indonesia, sebagai negara dengan pondasi agama yang kuat, semestinya dapat mengampanyekan gerakan cinta lingkungan yang dibingkai oleh ajaran agama masing-masing. Terlebih, Indonesia memiliki jumlah pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Ini adalah potensi besar untuk mengintegrasikan ajaran Islam tentang mencintai alam dan menjaga lingkungan ke dalam kehidupan sehari-hari, mengingat ajaran tersebut memang termuat dalam literasi keagamaan.
Alternatif pengajaran ekoteologi dapat dilaksanakan secara masif di sekolah-sekolah, madrasah, pesantren, serta dalam khutbah di masjid, gereja, dan tempat ibadah lainnya. Akun media sosial yang kita miliki juga merupakan senjata yang tepat untuk mensosialisasikan konsep ini, terutama mengingat ekoteologi kini menjadi salah satu konsentrasi Kementerian Agama RI untuk dikampanyekan.
Kelestarian Alam, Tanggung Jawab Bersama
Ketika pemeluk Agama Baha’i, pemeluk Agama Hindu di Bali, dan masyarakat adat mampu mengampanyekan keyakinan cinta lingkungan kepada komunitasnya, maka agama lain semestinya juga bisa mengajarkan harmoni antara alam dan manusia. Hakikatnya, tidak ada agama yang mengajarkan konsep untuk tidak mencintai alam semesta.
Kita boleh berbeda dalam keyakinan beragama, namun kita sama-sama menderita saat musibah menerpa. Permasalahan lingkungan merupakan musuh bersama, musuh semua agama dan semua manusia. Semakin cepat kita semua menyadari bahwa masalah lingkungan, masalah hilangnya hutan, adalah masalah kita bersama, maka semakin cepat masalah ini teratasi.
Sudah saatnya kita menjadi agen dalam mengampanyekan ekoteologi di lingkungan terdekat. Menyampaikan kepada orang-orang bahwa menjaga kebersihan lingkungan adalah ibadah, menanam pohon adalah ibadah, dan membuang sampah pada tempatnya adalah ibadah. Pun demikian kepada para pejabat, menjaga kelestarian hutan adalah ibadah, dan tidak menerbitkan izin yang merusak alam adalah ibadah.
Sebaliknya, melakukan hal-hal yang membahayakan kelestarian alam adalah perbuatan yang membahayakan manusia itu sendiri, dan dalam banyak literasi keagamaan, merusak alam adalah dosa besar yang dosanya seolah-olah membunuh seluruh manusia.
Mari beribadah dengan menjaga alam kita. Semoga alam Indonesia tetap terjaga, untuk kita dan untuk generasi yang akan datang. Duka Sumatera, duka kita. Lekas pulih Sumatera!***
Edi Setiawan, Direktur Markazul Qur’an Ponpes Khairul Ummah, Air Molek, Inhu, Riau, Certified Program for Inter Faith and Peace Building, AIC, Chicago, AS.



