Senin, 29 September 2025
spot_img
spot_img

Edyanus Herman Halim

Membendung Gairah Belanja Robayanti

Rojali (rombongan jarang beli) dan Rohana (rombongan hanya nanya) yang bergentayangan di mal dan supermarket telah memberi peluang pada industri keuangan untuk berkreasi dan berinovasi melahirkan produk atau instrumen keuangan yang dapat digunakan untuk memuaskan hasrat membeli masyarakat.

Sejak tahun 2022 industri keuangan melansir instrumen Buy Now Pay Later (BNPL). Ini merupakan metode pembayaran yang memungkinkan konsumen untuk melakukan pembelian tanpa harus membayar secara penuh di muka. Sebagai gantinya, mereka dapat membayar dalam beberapa cicilan yang telah ditentukan dalam periode waktu tertentu. Model ini biasanya dihadirkan oleh perusahaan fintech atau lembaga keuangan yang bekerja sama dengan pengecer atau platform e-commerce. Dengan BNPL, konsumen dapat membeli barang atau jasa yang mereka inginkan, lalu membayarnya secara bertahap, biasanya tanpa bunga jika dibayar tepat waktu.

Akibatnya muncul gerombolan baru di mal dan supermarket yakni rombongan bayar nanti (Robayanti). Lebih banyak digemari dan semakin populer di kalangan konsumen milenial dan gen Z, karena generasi ini mengutamakan fleksibilitas finansial, menghindari beban bunga tinggi dari kartu kredit. Kemudahan persetujuan dan integrasi digitalnya yang lancar telah mendorong penerimaan, mengubahnya dari penawaran khusus menjadi metode pembayaran umum.

Konsep BNPL memang sangat memberikan keleluasaan kepada Robayanti untuk melakukan pembelian barang atau layanan tanpa harus membayar secara penuh di muka, melainkan membayarnya dalam beberapa cicilan. Semakin banyaknya platform e-commerce dan pengecer yang menawarkan opsi BNPL, maka Robayanti kini memiliki lebih banyak pilihan untuk mengelola pengeluaran mereka dengan cara yang lebih fleksibel dan terjangkau.

Secara global perkembangan BNPL sangat pesat. Tahun 2023 pasar BNPL mencapai 70 miliar dolar Amerika dan pada tahun 2025 ini diperkirakan akan tumbuh sebesar 25,7 persen. Bahkan diperkirakan akan bernilai 576 miliar dolar Amerika. Di Indonesia per Desember 2024 pembiayaan BNPL dari perusahaan fintech mencapai Rp6,82 triliun (Kontan, 11 Februari 2025), tumbuh sebesar 37,5 persen. Sedangkan BNPL dari perbankan sebesar Rp22,12 triliun dengan pertumbuhan sebesar 43,76 persen.

Otoritas Jasa Keuangan Indonesia mencatat jumlah pengguna layanan BNPL di Indonesia pada Mei 2025 mencapai 17,26 juta orang debitur dengan jumlah rekening sebanyak 17,26 juta. Sedangkan jumlah rekening di perbankan mencapai 36,6 juta rekening. Artinya, jumlah Robayanti yang harus diwaspadai bersama semakin membesar.

Di balik kemudahan dan segala fasilitas yang tersedia pada instrumen keuangan ini juga terkandung risiko-risiko yang tidak kecil. Kalau diperhatikan dari aspek gagal bayar memang masih dapat ditolerir sesuai standar kualitas yang dipersyaratkan. Non Performing Loans (NPL) BNPL di Indonesia menunjukkan tren menurun dari sekitar 6,66 persen pada September 2023 kemudian turun menjadi 3,21 persen pada November 2024, namun kemudian melonjak tipis menjadi 4,26 persen pada April 2025.

Baca Juga:  Ayu Azhari Minta Maaf

Ini berarti Robayanti masih terjaga kualitas pengembalian kreditnya dan tetap dapat menjadi sasaran pembiayaan bagi perbankan dan industri fintech. Hanya saja harus tetap diwaspadai dan dibendung tren eksponensialnya agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

Bagi pemerintah, khususnya para pemegang regulasi (OJK dan Bank Indonesia) harus mencermatinya dari sisi keamanan institusi dan para ritel yang dapat terdampak serius dari adanya kredit macet. Regulasi menyangkut pengguna dan jumlah penggunaan harus diatur secara tegas.

Berdasarkan data (CNBC Indonesia, 20 Juni 2025) penyumbang kredit macet tertinggi berasal dari kalangan generasi baby boomers atau yang berusia lebih dari 55 tahun. Salah satu alasannya karena generasi baby boomers cenderung kurang akrab dengan teknologi digital.

Berdasarkan aturan OJK yang baru (akan efektif per 1 Januari 2027), pengguna layanan BNPL harus memenuhi kriteria usia minimal 18 tahun atau sudah menikah, serta memiliki pendapatan minimal Rp3 juta per bulan. Oleh karena itu menjelang pemberlakuan aturan ini haruslah tetap dipantau perilaku industri BNPL secara cermat sembari terus mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terjadi fraud dan gagal bayar. Apalagi dalam suasana perbankan yang kebanjiran likuiditas dan daya beli masyarakat yang masih “mengganjal” pertumbuhan ekonomi.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus makin cermat mempelototi para Robayanti dan penyedia instrumen BNPL. Gairah ingin menyalurkan dana pembiayaan atau kredit dari industri keuangan dan nafsu belanja Robayanti nan kian bergelora dapat saja memunculkan perilaku-perilaku yang “menembus batas” dan berpotensi menimbulkan instabilitas keuangan.

Untuk itu perlu dicermati kebutuhan-kebutuhan regulasi dan batas-batas perilaku bisnis yang tidak saja dapat membatasi munculnya fraud tetapi juga dapat mendorong BNPL menciptakan dinamika perekonomian yang optimal. Edukasi dan literasi secara konsisten menjadi hal yang makin urgen untuk ditindaklanjuti agar pemahaman masyarakat terhadap BNPL dapat semakin positif.

Berdasarkan laporan dari Kata Data Insight Centre, Juni 2024, perilaku pengguna BNPL sebanyak 70,5 persen Robayanti menggunakannya saat berbelanja online dalam satu tahun terakhir, meningkat dari 69,4 persen pada tahun sebelumnya. Sementara itu, 29,5 persen Robayanti menggunakannya untuk berbelanja offline.

Robayanti dengan umur 26–35 tahun tetap menjadi kelompok dengan jumlah transaksi terbanyak yakni 44,6 persen. Robayanti yang sudah menikah mendominasi baik dari jumlah pengguna, serta jumlah dan nilai transaksi dibandingkan yang lajang. Namun, yang lajang cenderung melakukan transaksi menggunakan BNPL dengan nominal yang paling besar, yakni rata-rata di rentang Rp350–400 ribu.

Baca Juga:  Sekeluarga Meninggal Usai Antar Ibu Umrah, Dikubur Satu Liang 

Dalam memilih tenor penundaan pembayaran, 27,2 persen Robayanti memilih tenor 12 bulan pada 2024. Bahkan 4,2 persen lainnya memilih tenor lebih dari 12 bulan. Di sisi lain, yang memilih tenor 1 bulan ke bawah cenderung menurun. Ini menunjukkan bahwa sebagian Robayanti beralih ke tenor lebih panjang guna menambah masa cicilan sehingga dapat meringankan arus kas mereka.

Selain itu, awareness terhadap bunga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2024, 86,7 persen Robayanti mengetahui ada bunga yang dikenakan ketika menggunakan BNPL, meningkat dari 85,1 persen di tahun sebelumnya.

Selama ini BNPL sangat mendukung konsumen dalam hal fleksibilitas pembayaran. Melalui BNPL pembayaran dapat dilakukan secara cicilan tanpa bunga sehingga sangat membantu pengelolaan keuangan masyarakat karena tidak harus membayar harga barang secara langsung.

Di samping itu BNPL dapat menjadi alternatif yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan dalam keadaan mendesak. Layanan BNPL mendemokratisasi akses ke pembiayaan, memungkinkan lebih banyak masyarakat untuk terlibat dalam transaksi ekonomi dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi lokal. Hanya saja risikonya masyarakat dapat terjerat utang jika tidak menggunakan BNPL secara bijak.

Bagi penyedia instrumen BNPL prinsip kehati-hatian harus tetap ditingkatkan. Kolaborasi antara institusi keuangan dan peritel hendaklah dijaga dengan baik secara berkesinambungan. Penggunaan teknologi dalam era digital saat ini menjadi tantangan tersendiri sehingga peningkatan keterampilan dalam pemanfaatannya senantiasa diasah agar tetap eksis dalam percaturan dan persaingan bisnis yang kian turbulen.

Para ritel dituntut semakin kreatif melakukan inovasi produk, layanan dan strategi marketing guna menggaet kaum Robayanti yang memang tidak jarang punya nafsu menggebu-gebu untuk berbelanja. Pelayanan yang semakin prima tentu saja perlu ditingkatkan untuk mempertahankan pelanggan secara berkesinambungan.

Bagi Robayanti sendiri hendaklah menyadari bahwa penggunaan BNPL hanya menunda pembayaran bukan membatalkan pembayaran. Pengendalian nafsu belanja sangat penting diterapkan agar tidak terjerat dengan utang yang menumpuk. Memilah dan memilih prioritas kebutuhan menjadi hal utama yang harus didisiplinkan dalam diri.

Memperturutkan keinginan hanya akan membawa kesengsaraan. Apalagi bila pendapatan tidak mencukupi untuk menunda-nunda pembayaran terhadap belanja yang tidak sesuai prioritas kebutuhan. Hindari godaan berbelanja yang tidak perlu. Pastikan kemampuan membayar cicilan bulanan sebelum menyetujui pinjaman BNPL.

Pelajari dan fahami dampak dari kredit, misalnya dalam hal keterlambatan pembayaran dan syarat-syarat lainnya yang mungkin saja menjerat dan memberatkan keuangan di kemudian hari. Prinsipnya, kalau kail panjang sejengkal, jangan laut hendak diduga. Jangan sampai besar pasak daripada tiang. Makanan onggang janganlah nak dimakan pipit. Ontahlah?***

Edyanus Herman Halim, Associate Professor di FEB Unri

Rojali (rombongan jarang beli) dan Rohana (rombongan hanya nanya) yang bergentayangan di mal dan supermarket telah memberi peluang pada industri keuangan untuk berkreasi dan berinovasi melahirkan produk atau instrumen keuangan yang dapat digunakan untuk memuaskan hasrat membeli masyarakat.

Sejak tahun 2022 industri keuangan melansir instrumen Buy Now Pay Later (BNPL). Ini merupakan metode pembayaran yang memungkinkan konsumen untuk melakukan pembelian tanpa harus membayar secara penuh di muka. Sebagai gantinya, mereka dapat membayar dalam beberapa cicilan yang telah ditentukan dalam periode waktu tertentu. Model ini biasanya dihadirkan oleh perusahaan fintech atau lembaga keuangan yang bekerja sama dengan pengecer atau platform e-commerce. Dengan BNPL, konsumen dapat membeli barang atau jasa yang mereka inginkan, lalu membayarnya secara bertahap, biasanya tanpa bunga jika dibayar tepat waktu.

Akibatnya muncul gerombolan baru di mal dan supermarket yakni rombongan bayar nanti (Robayanti). Lebih banyak digemari dan semakin populer di kalangan konsumen milenial dan gen Z, karena generasi ini mengutamakan fleksibilitas finansial, menghindari beban bunga tinggi dari kartu kredit. Kemudahan persetujuan dan integrasi digitalnya yang lancar telah mendorong penerimaan, mengubahnya dari penawaran khusus menjadi metode pembayaran umum.

Konsep BNPL memang sangat memberikan keleluasaan kepada Robayanti untuk melakukan pembelian barang atau layanan tanpa harus membayar secara penuh di muka, melainkan membayarnya dalam beberapa cicilan. Semakin banyaknya platform e-commerce dan pengecer yang menawarkan opsi BNPL, maka Robayanti kini memiliki lebih banyak pilihan untuk mengelola pengeluaran mereka dengan cara yang lebih fleksibel dan terjangkau.

Secara global perkembangan BNPL sangat pesat. Tahun 2023 pasar BNPL mencapai 70 miliar dolar Amerika dan pada tahun 2025 ini diperkirakan akan tumbuh sebesar 25,7 persen. Bahkan diperkirakan akan bernilai 576 miliar dolar Amerika. Di Indonesia per Desember 2024 pembiayaan BNPL dari perusahaan fintech mencapai Rp6,82 triliun (Kontan, 11 Februari 2025), tumbuh sebesar 37,5 persen. Sedangkan BNPL dari perbankan sebesar Rp22,12 triliun dengan pertumbuhan sebesar 43,76 persen.

- Advertisement -

Otoritas Jasa Keuangan Indonesia mencatat jumlah pengguna layanan BNPL di Indonesia pada Mei 2025 mencapai 17,26 juta orang debitur dengan jumlah rekening sebanyak 17,26 juta. Sedangkan jumlah rekening di perbankan mencapai 36,6 juta rekening. Artinya, jumlah Robayanti yang harus diwaspadai bersama semakin membesar.

Di balik kemudahan dan segala fasilitas yang tersedia pada instrumen keuangan ini juga terkandung risiko-risiko yang tidak kecil. Kalau diperhatikan dari aspek gagal bayar memang masih dapat ditolerir sesuai standar kualitas yang dipersyaratkan. Non Performing Loans (NPL) BNPL di Indonesia menunjukkan tren menurun dari sekitar 6,66 persen pada September 2023 kemudian turun menjadi 3,21 persen pada November 2024, namun kemudian melonjak tipis menjadi 4,26 persen pada April 2025.

- Advertisement -
Baca Juga:  Bakal Minta Keterangan Ahli Telaah Tewasnya 6 Laskar FPI

Ini berarti Robayanti masih terjaga kualitas pengembalian kreditnya dan tetap dapat menjadi sasaran pembiayaan bagi perbankan dan industri fintech. Hanya saja harus tetap diwaspadai dan dibendung tren eksponensialnya agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

Bagi pemerintah, khususnya para pemegang regulasi (OJK dan Bank Indonesia) harus mencermatinya dari sisi keamanan institusi dan para ritel yang dapat terdampak serius dari adanya kredit macet. Regulasi menyangkut pengguna dan jumlah penggunaan harus diatur secara tegas.

Berdasarkan data (CNBC Indonesia, 20 Juni 2025) penyumbang kredit macet tertinggi berasal dari kalangan generasi baby boomers atau yang berusia lebih dari 55 tahun. Salah satu alasannya karena generasi baby boomers cenderung kurang akrab dengan teknologi digital.

Berdasarkan aturan OJK yang baru (akan efektif per 1 Januari 2027), pengguna layanan BNPL harus memenuhi kriteria usia minimal 18 tahun atau sudah menikah, serta memiliki pendapatan minimal Rp3 juta per bulan. Oleh karena itu menjelang pemberlakuan aturan ini haruslah tetap dipantau perilaku industri BNPL secara cermat sembari terus mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terjadi fraud dan gagal bayar. Apalagi dalam suasana perbankan yang kebanjiran likuiditas dan daya beli masyarakat yang masih “mengganjal” pertumbuhan ekonomi.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus makin cermat mempelototi para Robayanti dan penyedia instrumen BNPL. Gairah ingin menyalurkan dana pembiayaan atau kredit dari industri keuangan dan nafsu belanja Robayanti nan kian bergelora dapat saja memunculkan perilaku-perilaku yang “menembus batas” dan berpotensi menimbulkan instabilitas keuangan.

Untuk itu perlu dicermati kebutuhan-kebutuhan regulasi dan batas-batas perilaku bisnis yang tidak saja dapat membatasi munculnya fraud tetapi juga dapat mendorong BNPL menciptakan dinamika perekonomian yang optimal. Edukasi dan literasi secara konsisten menjadi hal yang makin urgen untuk ditindaklanjuti agar pemahaman masyarakat terhadap BNPL dapat semakin positif.

Berdasarkan laporan dari Kata Data Insight Centre, Juni 2024, perilaku pengguna BNPL sebanyak 70,5 persen Robayanti menggunakannya saat berbelanja online dalam satu tahun terakhir, meningkat dari 69,4 persen pada tahun sebelumnya. Sementara itu, 29,5 persen Robayanti menggunakannya untuk berbelanja offline.

Robayanti dengan umur 26–35 tahun tetap menjadi kelompok dengan jumlah transaksi terbanyak yakni 44,6 persen. Robayanti yang sudah menikah mendominasi baik dari jumlah pengguna, serta jumlah dan nilai transaksi dibandingkan yang lajang. Namun, yang lajang cenderung melakukan transaksi menggunakan BNPL dengan nominal yang paling besar, yakni rata-rata di rentang Rp350–400 ribu.

Baca Juga:  Ayu Azhari Minta Maaf

Dalam memilih tenor penundaan pembayaran, 27,2 persen Robayanti memilih tenor 12 bulan pada 2024. Bahkan 4,2 persen lainnya memilih tenor lebih dari 12 bulan. Di sisi lain, yang memilih tenor 1 bulan ke bawah cenderung menurun. Ini menunjukkan bahwa sebagian Robayanti beralih ke tenor lebih panjang guna menambah masa cicilan sehingga dapat meringankan arus kas mereka.

Selain itu, awareness terhadap bunga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2024, 86,7 persen Robayanti mengetahui ada bunga yang dikenakan ketika menggunakan BNPL, meningkat dari 85,1 persen di tahun sebelumnya.

Selama ini BNPL sangat mendukung konsumen dalam hal fleksibilitas pembayaran. Melalui BNPL pembayaran dapat dilakukan secara cicilan tanpa bunga sehingga sangat membantu pengelolaan keuangan masyarakat karena tidak harus membayar harga barang secara langsung.

Di samping itu BNPL dapat menjadi alternatif yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan dalam keadaan mendesak. Layanan BNPL mendemokratisasi akses ke pembiayaan, memungkinkan lebih banyak masyarakat untuk terlibat dalam transaksi ekonomi dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi lokal. Hanya saja risikonya masyarakat dapat terjerat utang jika tidak menggunakan BNPL secara bijak.

Bagi penyedia instrumen BNPL prinsip kehati-hatian harus tetap ditingkatkan. Kolaborasi antara institusi keuangan dan peritel hendaklah dijaga dengan baik secara berkesinambungan. Penggunaan teknologi dalam era digital saat ini menjadi tantangan tersendiri sehingga peningkatan keterampilan dalam pemanfaatannya senantiasa diasah agar tetap eksis dalam percaturan dan persaingan bisnis yang kian turbulen.

Para ritel dituntut semakin kreatif melakukan inovasi produk, layanan dan strategi marketing guna menggaet kaum Robayanti yang memang tidak jarang punya nafsu menggebu-gebu untuk berbelanja. Pelayanan yang semakin prima tentu saja perlu ditingkatkan untuk mempertahankan pelanggan secara berkesinambungan.

Bagi Robayanti sendiri hendaklah menyadari bahwa penggunaan BNPL hanya menunda pembayaran bukan membatalkan pembayaran. Pengendalian nafsu belanja sangat penting diterapkan agar tidak terjerat dengan utang yang menumpuk. Memilah dan memilih prioritas kebutuhan menjadi hal utama yang harus didisiplinkan dalam diri.

Memperturutkan keinginan hanya akan membawa kesengsaraan. Apalagi bila pendapatan tidak mencukupi untuk menunda-nunda pembayaran terhadap belanja yang tidak sesuai prioritas kebutuhan. Hindari godaan berbelanja yang tidak perlu. Pastikan kemampuan membayar cicilan bulanan sebelum menyetujui pinjaman BNPL.

Pelajari dan fahami dampak dari kredit, misalnya dalam hal keterlambatan pembayaran dan syarat-syarat lainnya yang mungkin saja menjerat dan memberatkan keuangan di kemudian hari. Prinsipnya, kalau kail panjang sejengkal, jangan laut hendak diduga. Jangan sampai besar pasak daripada tiang. Makanan onggang janganlah nak dimakan pipit. Ontahlah?***

Edyanus Herman Halim, Associate Professor di FEB Unri

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos
spot_img

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

Rojali (rombongan jarang beli) dan Rohana (rombongan hanya nanya) yang bergentayangan di mal dan supermarket telah memberi peluang pada industri keuangan untuk berkreasi dan berinovasi melahirkan produk atau instrumen keuangan yang dapat digunakan untuk memuaskan hasrat membeli masyarakat.

Sejak tahun 2022 industri keuangan melansir instrumen Buy Now Pay Later (BNPL). Ini merupakan metode pembayaran yang memungkinkan konsumen untuk melakukan pembelian tanpa harus membayar secara penuh di muka. Sebagai gantinya, mereka dapat membayar dalam beberapa cicilan yang telah ditentukan dalam periode waktu tertentu. Model ini biasanya dihadirkan oleh perusahaan fintech atau lembaga keuangan yang bekerja sama dengan pengecer atau platform e-commerce. Dengan BNPL, konsumen dapat membeli barang atau jasa yang mereka inginkan, lalu membayarnya secara bertahap, biasanya tanpa bunga jika dibayar tepat waktu.

Akibatnya muncul gerombolan baru di mal dan supermarket yakni rombongan bayar nanti (Robayanti). Lebih banyak digemari dan semakin populer di kalangan konsumen milenial dan gen Z, karena generasi ini mengutamakan fleksibilitas finansial, menghindari beban bunga tinggi dari kartu kredit. Kemudahan persetujuan dan integrasi digitalnya yang lancar telah mendorong penerimaan, mengubahnya dari penawaran khusus menjadi metode pembayaran umum.

Konsep BNPL memang sangat memberikan keleluasaan kepada Robayanti untuk melakukan pembelian barang atau layanan tanpa harus membayar secara penuh di muka, melainkan membayarnya dalam beberapa cicilan. Semakin banyaknya platform e-commerce dan pengecer yang menawarkan opsi BNPL, maka Robayanti kini memiliki lebih banyak pilihan untuk mengelola pengeluaran mereka dengan cara yang lebih fleksibel dan terjangkau.

Secara global perkembangan BNPL sangat pesat. Tahun 2023 pasar BNPL mencapai 70 miliar dolar Amerika dan pada tahun 2025 ini diperkirakan akan tumbuh sebesar 25,7 persen. Bahkan diperkirakan akan bernilai 576 miliar dolar Amerika. Di Indonesia per Desember 2024 pembiayaan BNPL dari perusahaan fintech mencapai Rp6,82 triliun (Kontan, 11 Februari 2025), tumbuh sebesar 37,5 persen. Sedangkan BNPL dari perbankan sebesar Rp22,12 triliun dengan pertumbuhan sebesar 43,76 persen.

Otoritas Jasa Keuangan Indonesia mencatat jumlah pengguna layanan BNPL di Indonesia pada Mei 2025 mencapai 17,26 juta orang debitur dengan jumlah rekening sebanyak 17,26 juta. Sedangkan jumlah rekening di perbankan mencapai 36,6 juta rekening. Artinya, jumlah Robayanti yang harus diwaspadai bersama semakin membesar.

Di balik kemudahan dan segala fasilitas yang tersedia pada instrumen keuangan ini juga terkandung risiko-risiko yang tidak kecil. Kalau diperhatikan dari aspek gagal bayar memang masih dapat ditolerir sesuai standar kualitas yang dipersyaratkan. Non Performing Loans (NPL) BNPL di Indonesia menunjukkan tren menurun dari sekitar 6,66 persen pada September 2023 kemudian turun menjadi 3,21 persen pada November 2024, namun kemudian melonjak tipis menjadi 4,26 persen pada April 2025.

Baca Juga:  Pasutri Diduga Minum Racun, Suami Tewas, Istri yang Lumpuh Sekarat

Ini berarti Robayanti masih terjaga kualitas pengembalian kreditnya dan tetap dapat menjadi sasaran pembiayaan bagi perbankan dan industri fintech. Hanya saja harus tetap diwaspadai dan dibendung tren eksponensialnya agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

Bagi pemerintah, khususnya para pemegang regulasi (OJK dan Bank Indonesia) harus mencermatinya dari sisi keamanan institusi dan para ritel yang dapat terdampak serius dari adanya kredit macet. Regulasi menyangkut pengguna dan jumlah penggunaan harus diatur secara tegas.

Berdasarkan data (CNBC Indonesia, 20 Juni 2025) penyumbang kredit macet tertinggi berasal dari kalangan generasi baby boomers atau yang berusia lebih dari 55 tahun. Salah satu alasannya karena generasi baby boomers cenderung kurang akrab dengan teknologi digital.

Berdasarkan aturan OJK yang baru (akan efektif per 1 Januari 2027), pengguna layanan BNPL harus memenuhi kriteria usia minimal 18 tahun atau sudah menikah, serta memiliki pendapatan minimal Rp3 juta per bulan. Oleh karena itu menjelang pemberlakuan aturan ini haruslah tetap dipantau perilaku industri BNPL secara cermat sembari terus mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terjadi fraud dan gagal bayar. Apalagi dalam suasana perbankan yang kebanjiran likuiditas dan daya beli masyarakat yang masih “mengganjal” pertumbuhan ekonomi.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus makin cermat mempelototi para Robayanti dan penyedia instrumen BNPL. Gairah ingin menyalurkan dana pembiayaan atau kredit dari industri keuangan dan nafsu belanja Robayanti nan kian bergelora dapat saja memunculkan perilaku-perilaku yang “menembus batas” dan berpotensi menimbulkan instabilitas keuangan.

Untuk itu perlu dicermati kebutuhan-kebutuhan regulasi dan batas-batas perilaku bisnis yang tidak saja dapat membatasi munculnya fraud tetapi juga dapat mendorong BNPL menciptakan dinamika perekonomian yang optimal. Edukasi dan literasi secara konsisten menjadi hal yang makin urgen untuk ditindaklanjuti agar pemahaman masyarakat terhadap BNPL dapat semakin positif.

Berdasarkan laporan dari Kata Data Insight Centre, Juni 2024, perilaku pengguna BNPL sebanyak 70,5 persen Robayanti menggunakannya saat berbelanja online dalam satu tahun terakhir, meningkat dari 69,4 persen pada tahun sebelumnya. Sementara itu, 29,5 persen Robayanti menggunakannya untuk berbelanja offline.

Robayanti dengan umur 26–35 tahun tetap menjadi kelompok dengan jumlah transaksi terbanyak yakni 44,6 persen. Robayanti yang sudah menikah mendominasi baik dari jumlah pengguna, serta jumlah dan nilai transaksi dibandingkan yang lajang. Namun, yang lajang cenderung melakukan transaksi menggunakan BNPL dengan nominal yang paling besar, yakni rata-rata di rentang Rp350–400 ribu.

Baca Juga:  Bakal Minta Keterangan Ahli Telaah Tewasnya 6 Laskar FPI

Dalam memilih tenor penundaan pembayaran, 27,2 persen Robayanti memilih tenor 12 bulan pada 2024. Bahkan 4,2 persen lainnya memilih tenor lebih dari 12 bulan. Di sisi lain, yang memilih tenor 1 bulan ke bawah cenderung menurun. Ini menunjukkan bahwa sebagian Robayanti beralih ke tenor lebih panjang guna menambah masa cicilan sehingga dapat meringankan arus kas mereka.

Selain itu, awareness terhadap bunga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2024, 86,7 persen Robayanti mengetahui ada bunga yang dikenakan ketika menggunakan BNPL, meningkat dari 85,1 persen di tahun sebelumnya.

Selama ini BNPL sangat mendukung konsumen dalam hal fleksibilitas pembayaran. Melalui BNPL pembayaran dapat dilakukan secara cicilan tanpa bunga sehingga sangat membantu pengelolaan keuangan masyarakat karena tidak harus membayar harga barang secara langsung.

Di samping itu BNPL dapat menjadi alternatif yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan dalam keadaan mendesak. Layanan BNPL mendemokratisasi akses ke pembiayaan, memungkinkan lebih banyak masyarakat untuk terlibat dalam transaksi ekonomi dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi lokal. Hanya saja risikonya masyarakat dapat terjerat utang jika tidak menggunakan BNPL secara bijak.

Bagi penyedia instrumen BNPL prinsip kehati-hatian harus tetap ditingkatkan. Kolaborasi antara institusi keuangan dan peritel hendaklah dijaga dengan baik secara berkesinambungan. Penggunaan teknologi dalam era digital saat ini menjadi tantangan tersendiri sehingga peningkatan keterampilan dalam pemanfaatannya senantiasa diasah agar tetap eksis dalam percaturan dan persaingan bisnis yang kian turbulen.

Para ritel dituntut semakin kreatif melakukan inovasi produk, layanan dan strategi marketing guna menggaet kaum Robayanti yang memang tidak jarang punya nafsu menggebu-gebu untuk berbelanja. Pelayanan yang semakin prima tentu saja perlu ditingkatkan untuk mempertahankan pelanggan secara berkesinambungan.

Bagi Robayanti sendiri hendaklah menyadari bahwa penggunaan BNPL hanya menunda pembayaran bukan membatalkan pembayaran. Pengendalian nafsu belanja sangat penting diterapkan agar tidak terjerat dengan utang yang menumpuk. Memilah dan memilih prioritas kebutuhan menjadi hal utama yang harus didisiplinkan dalam diri.

Memperturutkan keinginan hanya akan membawa kesengsaraan. Apalagi bila pendapatan tidak mencukupi untuk menunda-nunda pembayaran terhadap belanja yang tidak sesuai prioritas kebutuhan. Hindari godaan berbelanja yang tidak perlu. Pastikan kemampuan membayar cicilan bulanan sebelum menyetujui pinjaman BNPL.

Pelajari dan fahami dampak dari kredit, misalnya dalam hal keterlambatan pembayaran dan syarat-syarat lainnya yang mungkin saja menjerat dan memberatkan keuangan di kemudian hari. Prinsipnya, kalau kail panjang sejengkal, jangan laut hendak diduga. Jangan sampai besar pasak daripada tiang. Makanan onggang janganlah nak dimakan pipit. Ontahlah?***

Edyanus Herman Halim, Associate Professor di FEB Unri

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari