Jumat, 22 November 2024
spot_img

121 Tahun Pacu Jalur Kuantan Singingi (1)

Dari Sarana Transportasi Rakyat Jadi Wisata Nasional

Sejarah Rantau Kuantan tak lepas dari kegiatan tahunan pacu jalur. Sekarang, tradisi budaya ini sudah dikenal luas masyarakat. Bahkan berhasil menjadi kalender wisata nasional tanah air. Keberhasilan itu bukanlah pekerjaan yang mudah seperti membalikkan telapak tangan. Tetapi pacu jalur di Rantau Kuantan memiliki sejarah yang panjang negeri ini.

Laporan DESRIANDI CANDRA, Telukkuantan

EVENT nasional pacu jalur tradisional di Tepian Narosa Telukkuantan tahun ini kembali dihelat. Pemkab Kuantan Singingi (Kuansing) bersama panitia pacu jalur sudah menetapkan tradisi budaya dan pesta rakyat itu dimulai 21-25 Agustus 2024.

Tepian Narosa Telukkuantan kembali menjadi “saksi bisu” perjalanan panjang pacu jalur yang kini masuk dalam Top Ten Kharisma Event Nusantara (KEN) di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) RI. Bahkan Pemkab Kuansing berharap tahun ini pacu jalur bisa menembus tiga besar KEN.

Ini dilihat dari kesibukan aktivitas di sepanjang arena perpacuan jalur yang berada dipusat ibu kota Telukkuantan itu sejak akhir Juli 2024 lalu. Alur perpacuan terlihat dilakukan pengerukan oleh Dinas PUPR Kuansing dan pengecatan tribun tangga batu yang berada di sepanjang Tepian Narosa oleh semua OPD di lingkungan Pemkab Kuansing pekan lalu.

Lalu masyarakat secara swadaya tampak mulai membangun tribun penonton hingga anak pacu yang sibuk melakukan latihan di Tepian Narosa Telukkuantan setiap hari pada sorenya. Semuanya terlihat semangat menyambut helat akbar masyarakat Rantau Kuantan itu. Bersiap-siap menyaksikan jalur manakah yang pada tahun ini keluar sebagai juara, memboyong piala bergilir Menparekraf RI serta hadiah ratusan juta yang sudah disiapkan panitia.

Biasanya, yang menjadi rivalitas perebutan gelar juara terjadi antara jalur-jalur asal Kuansing dan Indragiri Hulu (Inhu). Meski arena perpacuan jalur Tepian Narosa, tetapi tidak mutlak pemenangnya adalah jalur Kuansing. Jalur-jalur dari Kabupaten Inhu tidak bisa dianggap lemah. Namun tentu saja, di tahun 2024 ini gelar juara dan piala itu bisa kembali ke Kuansing setelah di 2023 lalu berhasil diboyong Inhu.

Sorak sorai ratusan ribu penonton dari berbagai daerah di Kuansing, Inhu, kabupaten/kota di Riau, provinsi tetangga dan wisatawan lainnya, ikut berbaur memadati sepanjang arena, menjadi ciri khas setiap pacu jalur digelar. Begitulah pacu jalur dikenal orang sekarang ini.

Sebelum dia dikenal sebagai sebuah tradisi dan budaya yang dipertontonkan dalam rangkaian festival yang disiapkan semeriah mungkin, dalam sejarah Rantau Kuantan berawal sebagai sebuah sarana transportasi rakyat.

“Pacu jalur yang kita saksikan ini punya sejarah panjang, sudah 121 tahun. Dan awalnya sebuah alat transportasi utama bagi masyarakat atau desa di Rantau Kuantan,” papar Sekretaris Jenderal Limbago Adat Nogori (LAN) Kabupaten Kuantan Singingi Datuk Paduko Rajo Ir Emil Harda MM MBA kepada Riau Pos, Senin (12/8) lalu.

Menurut Emil Harda, dari rangkuman sejarah yang dihimpun LAN Kuansing dari berbagai sumber, budayawan Kuansing, maupun pelaku sejarah yang masih ada, pada abad ke 17 masehi, sarana transportasi darat belumlah berkembang seperti sekarang ini.

Maka perahu menjadi transportasi utama masyarakat banjar (desa) di Rantau Kuantan terutama bagi mereka yang tinggal di sepanjang Sungai Batang Kuantan. Mulai dari Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu sampai ke Cerenti di bagian hilirnya.

Ketika itu, perahu yang digunakan belumlah sepanjang jalur sekarang ini. Tapi perahu kenek (kecil) dengan panjang 2 meter sampai 2,5 meter dan lebar 60 cm dengan muatan satu orang. Perahu ini biasa digunakan orang untuk pergi ke ladang menyadap karet atau getah. Selain itu digunakan untuk memancing, menambai (menangkap ikan semacam jaring berukuran kecil) atau mengguntang ( alat penangkap ikan dengan pancing yang dikaitkan dengan apung-apung).

Dalam perkembangannya, masyarakat Rantau Kuantan membuat perahu yang lebih besar, yang dapat memuat empat orang. Jenis perahu ini bisa digunakan untuk menangkap ikan, mengangkut padi dan hasil tanaman lainnya. Kemudian dalam perkembangannya, dibuatlah perahu tambang untuk mengangkut orang yang dikenakan ongkos atau biaya sebagai alat transportasi umum yang bisa memuat delapan sampai 15 orang. Digunakan sebagai sarana transportasi dari desa satu ke desa lainnya yang letaknya saling berseberangan di tepi sungai.

Setelah itu, masyarakat Rantau Kuantan membuat perahu yang lebih besar yang panjangnya mencapai 15-20 meter dan lebar 1 meter sampai 1,5 meter. Perahu ini memiliki daya angkut sampai satu ton yang dipergunakan untuk mengangkut hasil bumi seperti karet, kelapa, tebu, padi, dan barang dagangan lainnya seperti beras, gula, dan tepung.

Perahu ini yang kemudian menjadi cikal bakal perahu yang lebih besar yang sekarang dikenal dengan nama jalur. Perahu yang memiliki panjang 25-30 meter dengan lebar 1 meter-1,5 meter. Jalur mulai populer di tengah masyarakat Rantau Kuantan sejak abad ke 19 masehi atau sekitar 1900-an. Dari segi bentuk dan ukuran, jalur ini lebih halus, ramping dan lebih panjang dari perahu godang (perahu besar) yang dibuat sebelumnya.

Perahu tradisional masyarakat Rantau Kuantan yang sekarang disebut jalur dilengkapi dengan haluan dan kemudi yang panjang serta selembayung yang berukir untuk memberi keindahan pada jalur. Selain sebagai mahkota pada jalur, selembayung berfungsi sebagai tempat pegangan bagi tukang onjai (pembuat irama untuk menggerakkan jalur).

Dalam perkembangan masa selanjutnya, menurut tokoh adat Kenegerian Telukkuantan Datuk Paduko Rajo Emil Harda, perahu besar atau jalur berinovasi. Muncul jalur-jalur yang diberi ukiran indah. Ada berupa kepala ular, harimau, siposan rimbo, singa, kalajengking, dan lainnya. Baik di bagian lambung maupun selembayung. Bahkan ada pula yang menambahkan dengan perlengkapan payung, tali temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri).

Perubahan itu, menandai fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat transportasi. Namun juga menunjukkan identitas sosial. “Karena hanya penguasa wilayah, bangsawan dan datuk-datuk yang bisa menaiki jalur berhias itu,” papar Emil Harda.

Kapan awal mula pacu jalur? Dijelaskan Emil, berangkat dari kemeriahan antar kampung, maka mulai diadakan lomba pacu jalur sekitar 1900-an. Di mana ketika itu, untuk para juara lomba tidak ada peres (hasil/hadiah) yang diperebutkan.

Baca Juga:  Terkadang tanpa Pemasukan

Tetapi yang ada hanya acara makan bersama warga sekampung. Dengan menu makanan tradisional seperti konji barayak, godok timbual, lopek jantan dan batino sakombuik godang, paniaran manso, lidah kambing. Beberapa kampung atau desa, ada juga yang menyediakan hadiah berupa marewa (bendera kain warna warni berbentuk segitiga) dengan renda di bagian tepinya. Itu diberikan pada peraih juara I sampai juara IV yang perbedaan pada ukuran kainnya.

Biasanya lomba pacu jalur diadakan pada acara-acara kebesaran Islam. Itu menandakan pacu jalur sudah ada sebelum masa penjajahan. Pada zaman penjajahan Belanda menduduki kota Telukkuantan, Rantau Kuantan 1905, memanfaatkan tradisi dan kebudayaan pacu jalur ini untuk merayakan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina setiap tanggal 31 Agustus.

Karena pacu jalur dilaksanakan hanya sekali dalam satu tahun, maka kedatangan festival ini dipandang masyarakat Rantau Kuantan sebagai datangnya tahun baru (tambaro) dan dilaksanakan di Telukkuantan. Mereka yang menang, juara I sampai IV diberi hadiah.

Usai penjajahan Belanda dan Jepang, tatkala ekonomi masyarakat Rantau Kuantan mulai membaik, harga karet dan komoditi pertanian lainnya membaik, tradisi dan budaya pacu jalur tidak lagi digelar untuk memeriahkan hari lahir Ratu Wilhelmina, tetapi untuk menyambut dan menyemarakkan hari ulang tahun kemerdekaan RI, dan biasanya dilaksanakan 23-26 Agustus setiap tahun.

Sebagai orang adat dan budaya, Emil Harda berharap kearifan lokal dalam pacu jalur tetap dijaga. Seperti mewajibkan setiap jalur yang diperlombakan ada si tukang tari, tukang timbo ruang, tukang onjai. Melibatkan orang-orang adat sehingga nilai-nilai dari tradisi pacu jalur tidak lari dari maknanya.

Libatkan Orang Adat

Emil Harda, tak memungkiri kalau tradisi pacu jalur memperlihatkan perpaduan antara aktivitas olahraga dengan unsur-unsur supranatural. Anak pacu dengan kekuatan ototnya melambangkan sebuah kegiatan olahraga. Sedangkan pawang jalur dengan kemampuan supranatural mewakili dunia lain atau kebatinan.

Sebagian besar masyarakat Kuansing mempercayai bahwa kemenangan baru akan diperoleh oleh jalur yang berpacu jika kedua unsur tersebut (fisik dan batin) memiliki kekuatan yang lebih. Petuah orang tua-tua Rantau Kuantan mengatakan bahwa ada tiga unsur yang menentukan kemenangan sebuah jalur dalam berpacu. Yakni, pawang jalur yang hebat, jalur yang laju, dan anak pacuan atau pemacu yang kuat.

Sebuah jalur yang tidak melibatkan pawang dan hanya mengandalkan kekuatan otot saja, dipercayai tidak akan memperoleh kemenangan. Keberadaan pawang jalur dalam prosesi pacu jalur tradisional diakui memang ada perdebatan. Diakui, salah satu faktor utama yang mendukung bertahannya sebuah budaya di suatu daerah adalah jika budaya tersebut sejalan dengan agama yang dianut oleh sebahagian besar masyarakatnya sebagai contoh Bali.

Sementara di Kuansing, awal mulanya dahulu agama masyarakat adalah Hindu atau animisme, dan secara berangsur-ansur dengan masuknya Islam sekitar abad ke-17, menjadi agama mayoritas masyarakat. Yang terjadi, banyak adat dan budaya yang ada secara berangsur-angsur terdegradasi oleh perkembangan zaman, terutama yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Menurutnya, keberadaan pawang jalur dan bertahannya ritual dalam kegiatan pacu jalur tradisonal berkaitan erat dengan tingkat pemahaman masyarakat terhadap agama yang dianutnya, yaitu Islam. Masyarakat mempercayai bahwa hal tersebut tidak berseberangan dengan ajaran Islam, karena mereka juga menggunakan ucapan-ucapan yang berbau Islam. Atas dasar inilah kegiatan ini bertahan dan tetap berlangsung sampai sekarang.

Masih segar dalam ingatannya, tatkala pada tahun 2018 pacu jalur tradisonal Kuansing hilang dari agenda pariwisata nasional. Timbul reaksi dari berbagai kalangan, terutama pemangku adat dan perangkat adat. Bahkan masyarakat adat Kenegerian Telukkuantan melalui panitia musyawarah besar (mubes). Mereka melakukan rapat dan menyurati kepala daerah sebagai bentuk keprihatinan orang adat pada 24 Oktober 2018.

Hasil dari pertemuan itu menyimpulkan, pelaksanaan pacu jalur tradisional semakin tahun semakin bias dari konsep dasarnya. Pacu jalur tradisional adalah budaya kearifan lokal yang bertumpu pada nilai-nilai tradisional, baik dalam pelaksanaan dalam pacu jalur tradisional itu sendiri maupun pada rangkaian kegiatan yang menyertainya.

Mulai dari 2019 dan seterusnya, pelaksanaan pacu jalur memperbesar keterlibatan masyarakat adat. Untuk tahap awal, masyarakat adat Kenegerian Telukkuantan dalam pelaksanaannya. Dan sangat diharapkan pula pada akhirnya nanti pacu jalur tradisional dapat dilaksanakan atau diserahkan pelaksanaannya kepada masyarakat adat Rantau Kuantan dan Rantau Singingi (Kabupaten Kuasing).

Pacu jalur tradisional harus mulai dikembalikan kepada nilai-nilai dan kaidah-kaidah adat dalam nuansa tradisional. Hal itulah yang membuat pacu jalur tradisional tersohor ke berbagai belahan bumi dan lestari sampai sekarang.

Berharap Jadi Tujuan Wisata Internasional

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kuantan Singingi (Kuansing) memberikan dukungan penuh terhadap pelestarian tradisi dan budaya pacu jalur Kuansing, baik dukungan moril maupun materil. Salah satunya melakukan pembenahan infrastruktur dan fasilitas penunjang dalam pelaksanaan pacu jalur di sepanjang Sungai Kuantan.

Pemkab sudah menuntaskan pembangunan tribun pacu jalur di semua kecamatan yang menjadi penyelenggara tradisi turun-temurun itu. Mulai dari Kecamatan Hulu Kuantan, Kuantan Mudik, Gunung Toar, Kuantan Tengah, Benai, Pangean, Kuantan Hilir, Inuman, dan Cerenti.

Semua itu dimaksudkan agar masyarakaat Kuansing di kampung halaman, perantauan, maupun wisatawan domestik dari kabupaten tetangga di Riau, provinsi tetangga, dan tamu-tamu penting dari kementerian maupun wisatawan mancanegara yang datang berkunjung merasa nyaman.

Pemkab Kuansing semenjak dimekarkan menjadi kabupaten pada 12 Oktober 1999 lalu sampai saat ini sudah berusia 24 tahun, gencar melakukan promosi wisata dalam berbagai kunjungan ke kabupaten dan provinsi tetangga. Tak ketinggalan ke Kementerian Pariwisata RI.

Bahkan dalaam pertemuan World Water Forum (WWF) yang diikuti ratusan kepala negara dari belahan dunia di Bali, belum lama ini, Kabupaten Kuansing diberi kesempatan menampilkan tradisi pacu jalur yang mendapat respon luar biasa dari peserta.

Upaya promosi yang gencar dilakukan Pemkab Kuansing itu mulai membuahkan hasil. Tradisi pacu jalur sudah menjadi kalender tetap pariwisata nasional. Bahkan sudah masuk dalam Top Ten Kharisma Event Nusantara (KEN) pada 2023. Yakni peringkat ketujuh.

Baca Juga:  SDN 57 Pekanbaru, Tetap Semangat walau Lima Murid Baru

”Gol akhir yang menjadi sasaran dan target kinerja ke depan, pada masanya nanti sesuai progres 5 atau 10 tahun ke depan, pacu jalur menjadi daya pikat dan magnet turis domestik dan mancanegara. Itu cita-cita kita,” kata Bupati Kuansing Suhardiman Amby.

Bila tradisi dan budaya pacu jalur ini sudah menjadi event wisata mancanegara, lanjut Suhardiman Amby Datuk Panglimo Dalam, maka wisatawan domestik dan mancanegara setiap tahun akan ramai datang ke Kabupaten Kuansing menyaksikan pacu jalur ini. Logikanya, semakin orang ramai datang ke Kuansing tentu akan memutar ekonomi masyarakat. Semakin ramai orang datang maka geliat UMKM akan semakin subur tumbuh dan berkembangnya.

Ekonomi menegah ke bawah akan tumbuh dan berkembang. Seperti kuliner, kerajinan khas Kuansing serta perputaran barang dan jasa. Homestay dan penginapan yang ada akan terisi. Ekonomi menengah ke atas juga akan maju. Dampak lainnya, tentu akan membuka peluang tumbuhnya hotel-hotel berbintang yang ujungnya adalah peningkatan pendapatan asli daaerah (PAD).

“Kalau PAD kita bertambah, tentu pagu APBD Kuansing akan naik pula. Artinya, ada multiplier effect untuk semua itu yang bisa dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur sosial dan ekonomi di Kuansing,” ujarnya.

Untuk mewujudkan cita-cita itu, Suhardiman mengakui banyak hal yang harus dibenahi. Banyak “PR” yang harus dikerjakan di tengah keterbatasan anggaran yang dimiliki Kabupaten Kuansing. Misalnya saja pembenahan sarana dan prasarana di kawasan Tepian Narosa Telukkuantan yang menjadi arena pacu jalur nasional. Seperti fasilitas tribun VIP di pancang stars dan finish. Tribun penonton yang ada di sepanjang Desa Koto Taluk-Desa Sawah dan Desa Seberang Taluk.

Semua itu membutuhkan dana yang tidak sedikit dan perlu “gotong-royong”, sharing bujet antara Pemkab Kuansing dengan Pemprov Riau. “Kami segera siapkan perencanaan sharing bujet dengan Pemprov untuk bagian darat. Sementara untuk daerah aliran sungai (DAS) sesuai kewenangan akan diusulkan melalui dana APBN,” papar Suhardiman.

Meski tujuan menjadi agenda wisatawan mancanegara merupakan sebuah cita-cita yang ingin dicapai, Suhardiman mengatakan, kelestarian dari tradisi, budaya, nilai-nilai kemuliaan yang terkandung di dalam pacu jalur harus tetap dijaga. Menjaga kelestarian hutan dan lingkungan agar hutan belantara yang ada di Kuansing terpelihara sehingga kayu jalur yang menjadi bahan baku dalam pembuatan jalur, tetap tersedia sampai kapan pun. Untuk menjaga ketersediaan kayu jalur itu, Pemkab Kuansing sudah menyiapkan Peraturan Daerah (Perda) Khusus yang diperkuat dengan Peraturan Bupati (Perbup) Kuansing tentang pengambilan kayu jalur.

Misalnya, kayu yang ditebang untuk pembuatan jalur benar-benar dipastikan cocok. Tidak asal tebang. Bila berada di kawasan hutan lindung, harus meminta persetujuan kepala daerah. Bila berada di kawasan ulayat, harus ada persetujuan datuk penghulu dari kawasan ulayat itu.

Dan bila masuk dalam HGU perusahaan, harus minta persetujuan perusahaan yang bersangkutan. Pemkab Kuansing akan mendukungnya, sepanjang itu benar-benar untuk pembuatan jalur dan pelestarian budaya Kuansing. “Ini kebijakkan Pemkab untuk menjaga agar hutan dan budaya tetap lestari. Karena perlu 100 tahun untuk sebuah kayu jalur,” kata Suhardiman.

Dia berharap, kebijakan itu bisa dipatuhi seluruh masyarakat Kuansing. Dengan begitu budaya pacu jalur tetap lestari, pariwisata maju, ekonomi masyarakat bisa bangkit, dan masyarakat Kuansing bisa sejahtera ke depan.

Hal ini juga diungkapkan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kuansing Drs Azhar MM. “Kita masyarakat Kuansing bisa sedikit berbangga hati. Kini pacu jalur sudah masuk dalaam Top Ten KEN Indonesia, yakni peringkat tujuh,” kata Azhar.

Namun misi ke depan tidak cukup sampai di situ. Pemkab Kuansing menargetkan pacu jalur Kuansing di tahun 2024 ini bisa masuk tiga besar KEN. Sementara cita-cita paling besar, tradisi warisan leluhur Kuansing ini bisa menembus mancanegara, menjadi tujuan wisatawan tidak hanya domestik tetapi juga internasional. Semua cita-cita itu bisa diwujudkan dengan dukungan semua komponen masyarakat Kuansing. Pemerintah, orang adat, masyarakat serta selalu menjaga keasrian tradisi pacu jalur itu sendiri.

Salah satu keasrian tradisi pacu jalur, sebuah jalur memiliki si tukang tari, timbo ruang dan tukang onjai. Makanya, di dalam event nasional, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kuansing mewajibkan, kalau setiap jalur yang menjadi peserta, harus ada si tukang tari atau anak coki, tukang timbo ruang dan tukang onjai. “Karena begitulah tradisi yang ditinggalkan dulu secara turun-temurun. Jika itu tidak terpenuhi, jalur akan didiskualifikasi,” papar Azhar.

Sementara ornamen atau ukiran jalur, tidak mutlak. Hanya pemanis dari jalur yang dibuat desa sehingga tampilan jalur semakin indah saat berpacu. Azhar tak menampik kalau di era milenial sekarang, di usia pacu jalur yang sudah 121 tahun, keunikan-keunikan dari tradisi pacu jalur masih terlihat di tengah masyarakat Kuantan Singingi. Misalnya saja, saat pencarian kayu jalur, penebangan, turun mandi jalur maupun saat perpacuan. Peran orang tua jalur atau pawang jalur masih terlihat.

Menurutnya hal itu bagian sebuah budaya yang diwariskan para leluhur. Namun terkadang menjadi perdebatan. ‘’Tapi yakinlah, kalau pawang jalurnya seorang muslim, yang dilakukannya tetap sesuai syariat Islam. Karena dalam tradisi dan budaya pacu jalur tetap berpegang pada adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Artinya berpedoman pada agama Islam. Biasanya memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa. Mayang pinang, beberapa bunga hanya penggiring tradisi,” ujarnya.

Di tahun 2023 lalu, media sosial pacu jalur Kuansing menembus 2,7 juta follower yang ditonton dari dalam dan luar negeri seperti yang dilansir dan diekspose Kementerian Pariwisata Ekonomi Kreatif (Parekraf) RI. Ini menandakan kalau tradisi pacu jalur sudah di kenal luas. “Tinggal kita bagaimana lebih gencar promosi dan melakukan pembenahan fasilitas serta dalam pelaksanaan event itu sendiri,” ujarnya.(bersambung)

Sejarah Rantau Kuantan tak lepas dari kegiatan tahunan pacu jalur. Sekarang, tradisi budaya ini sudah dikenal luas masyarakat. Bahkan berhasil menjadi kalender wisata nasional tanah air. Keberhasilan itu bukanlah pekerjaan yang mudah seperti membalikkan telapak tangan. Tetapi pacu jalur di Rantau Kuantan memiliki sejarah yang panjang negeri ini.

Laporan DESRIANDI CANDRA, Telukkuantan

- Advertisement -

EVENT nasional pacu jalur tradisional di Tepian Narosa Telukkuantan tahun ini kembali dihelat. Pemkab Kuantan Singingi (Kuansing) bersama panitia pacu jalur sudah menetapkan tradisi budaya dan pesta rakyat itu dimulai 21-25 Agustus 2024.

Tepian Narosa Telukkuantan kembali menjadi “saksi bisu” perjalanan panjang pacu jalur yang kini masuk dalam Top Ten Kharisma Event Nusantara (KEN) di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) RI. Bahkan Pemkab Kuansing berharap tahun ini pacu jalur bisa menembus tiga besar KEN.

- Advertisement -

Ini dilihat dari kesibukan aktivitas di sepanjang arena perpacuan jalur yang berada dipusat ibu kota Telukkuantan itu sejak akhir Juli 2024 lalu. Alur perpacuan terlihat dilakukan pengerukan oleh Dinas PUPR Kuansing dan pengecatan tribun tangga batu yang berada di sepanjang Tepian Narosa oleh semua OPD di lingkungan Pemkab Kuansing pekan lalu.

Lalu masyarakat secara swadaya tampak mulai membangun tribun penonton hingga anak pacu yang sibuk melakukan latihan di Tepian Narosa Telukkuantan setiap hari pada sorenya. Semuanya terlihat semangat menyambut helat akbar masyarakat Rantau Kuantan itu. Bersiap-siap menyaksikan jalur manakah yang pada tahun ini keluar sebagai juara, memboyong piala bergilir Menparekraf RI serta hadiah ratusan juta yang sudah disiapkan panitia.

Biasanya, yang menjadi rivalitas perebutan gelar juara terjadi antara jalur-jalur asal Kuansing dan Indragiri Hulu (Inhu). Meski arena perpacuan jalur Tepian Narosa, tetapi tidak mutlak pemenangnya adalah jalur Kuansing. Jalur-jalur dari Kabupaten Inhu tidak bisa dianggap lemah. Namun tentu saja, di tahun 2024 ini gelar juara dan piala itu bisa kembali ke Kuansing setelah di 2023 lalu berhasil diboyong Inhu.

Sorak sorai ratusan ribu penonton dari berbagai daerah di Kuansing, Inhu, kabupaten/kota di Riau, provinsi tetangga dan wisatawan lainnya, ikut berbaur memadati sepanjang arena, menjadi ciri khas setiap pacu jalur digelar. Begitulah pacu jalur dikenal orang sekarang ini.

Sebelum dia dikenal sebagai sebuah tradisi dan budaya yang dipertontonkan dalam rangkaian festival yang disiapkan semeriah mungkin, dalam sejarah Rantau Kuantan berawal sebagai sebuah sarana transportasi rakyat.

“Pacu jalur yang kita saksikan ini punya sejarah panjang, sudah 121 tahun. Dan awalnya sebuah alat transportasi utama bagi masyarakat atau desa di Rantau Kuantan,” papar Sekretaris Jenderal Limbago Adat Nogori (LAN) Kabupaten Kuantan Singingi Datuk Paduko Rajo Ir Emil Harda MM MBA kepada Riau Pos, Senin (12/8) lalu.

Menurut Emil Harda, dari rangkuman sejarah yang dihimpun LAN Kuansing dari berbagai sumber, budayawan Kuansing, maupun pelaku sejarah yang masih ada, pada abad ke 17 masehi, sarana transportasi darat belumlah berkembang seperti sekarang ini.

Maka perahu menjadi transportasi utama masyarakat banjar (desa) di Rantau Kuantan terutama bagi mereka yang tinggal di sepanjang Sungai Batang Kuantan. Mulai dari Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu sampai ke Cerenti di bagian hilirnya.

Ketika itu, perahu yang digunakan belumlah sepanjang jalur sekarang ini. Tapi perahu kenek (kecil) dengan panjang 2 meter sampai 2,5 meter dan lebar 60 cm dengan muatan satu orang. Perahu ini biasa digunakan orang untuk pergi ke ladang menyadap karet atau getah. Selain itu digunakan untuk memancing, menambai (menangkap ikan semacam jaring berukuran kecil) atau mengguntang ( alat penangkap ikan dengan pancing yang dikaitkan dengan apung-apung).

Dalam perkembangannya, masyarakat Rantau Kuantan membuat perahu yang lebih besar, yang dapat memuat empat orang. Jenis perahu ini bisa digunakan untuk menangkap ikan, mengangkut padi dan hasil tanaman lainnya. Kemudian dalam perkembangannya, dibuatlah perahu tambang untuk mengangkut orang yang dikenakan ongkos atau biaya sebagai alat transportasi umum yang bisa memuat delapan sampai 15 orang. Digunakan sebagai sarana transportasi dari desa satu ke desa lainnya yang letaknya saling berseberangan di tepi sungai.

Setelah itu, masyarakat Rantau Kuantan membuat perahu yang lebih besar yang panjangnya mencapai 15-20 meter dan lebar 1 meter sampai 1,5 meter. Perahu ini memiliki daya angkut sampai satu ton yang dipergunakan untuk mengangkut hasil bumi seperti karet, kelapa, tebu, padi, dan barang dagangan lainnya seperti beras, gula, dan tepung.

Perahu ini yang kemudian menjadi cikal bakal perahu yang lebih besar yang sekarang dikenal dengan nama jalur. Perahu yang memiliki panjang 25-30 meter dengan lebar 1 meter-1,5 meter. Jalur mulai populer di tengah masyarakat Rantau Kuantan sejak abad ke 19 masehi atau sekitar 1900-an. Dari segi bentuk dan ukuran, jalur ini lebih halus, ramping dan lebih panjang dari perahu godang (perahu besar) yang dibuat sebelumnya.

Perahu tradisional masyarakat Rantau Kuantan yang sekarang disebut jalur dilengkapi dengan haluan dan kemudi yang panjang serta selembayung yang berukir untuk memberi keindahan pada jalur. Selain sebagai mahkota pada jalur, selembayung berfungsi sebagai tempat pegangan bagi tukang onjai (pembuat irama untuk menggerakkan jalur).

Dalam perkembangan masa selanjutnya, menurut tokoh adat Kenegerian Telukkuantan Datuk Paduko Rajo Emil Harda, perahu besar atau jalur berinovasi. Muncul jalur-jalur yang diberi ukiran indah. Ada berupa kepala ular, harimau, siposan rimbo, singa, kalajengking, dan lainnya. Baik di bagian lambung maupun selembayung. Bahkan ada pula yang menambahkan dengan perlengkapan payung, tali temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri).

Perubahan itu, menandai fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat transportasi. Namun juga menunjukkan identitas sosial. “Karena hanya penguasa wilayah, bangsawan dan datuk-datuk yang bisa menaiki jalur berhias itu,” papar Emil Harda.

Kapan awal mula pacu jalur? Dijelaskan Emil, berangkat dari kemeriahan antar kampung, maka mulai diadakan lomba pacu jalur sekitar 1900-an. Di mana ketika itu, untuk para juara lomba tidak ada peres (hasil/hadiah) yang diperebutkan.

Baca Juga:  Tren Kurma Olahan untuk Berbuka Puasa

Tetapi yang ada hanya acara makan bersama warga sekampung. Dengan menu makanan tradisional seperti konji barayak, godok timbual, lopek jantan dan batino sakombuik godang, paniaran manso, lidah kambing. Beberapa kampung atau desa, ada juga yang menyediakan hadiah berupa marewa (bendera kain warna warni berbentuk segitiga) dengan renda di bagian tepinya. Itu diberikan pada peraih juara I sampai juara IV yang perbedaan pada ukuran kainnya.

Biasanya lomba pacu jalur diadakan pada acara-acara kebesaran Islam. Itu menandakan pacu jalur sudah ada sebelum masa penjajahan. Pada zaman penjajahan Belanda menduduki kota Telukkuantan, Rantau Kuantan 1905, memanfaatkan tradisi dan kebudayaan pacu jalur ini untuk merayakan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina setiap tanggal 31 Agustus.

Karena pacu jalur dilaksanakan hanya sekali dalam satu tahun, maka kedatangan festival ini dipandang masyarakat Rantau Kuantan sebagai datangnya tahun baru (tambaro) dan dilaksanakan di Telukkuantan. Mereka yang menang, juara I sampai IV diberi hadiah.

Usai penjajahan Belanda dan Jepang, tatkala ekonomi masyarakat Rantau Kuantan mulai membaik, harga karet dan komoditi pertanian lainnya membaik, tradisi dan budaya pacu jalur tidak lagi digelar untuk memeriahkan hari lahir Ratu Wilhelmina, tetapi untuk menyambut dan menyemarakkan hari ulang tahun kemerdekaan RI, dan biasanya dilaksanakan 23-26 Agustus setiap tahun.

Sebagai orang adat dan budaya, Emil Harda berharap kearifan lokal dalam pacu jalur tetap dijaga. Seperti mewajibkan setiap jalur yang diperlombakan ada si tukang tari, tukang timbo ruang, tukang onjai. Melibatkan orang-orang adat sehingga nilai-nilai dari tradisi pacu jalur tidak lari dari maknanya.

Libatkan Orang Adat

Emil Harda, tak memungkiri kalau tradisi pacu jalur memperlihatkan perpaduan antara aktivitas olahraga dengan unsur-unsur supranatural. Anak pacu dengan kekuatan ototnya melambangkan sebuah kegiatan olahraga. Sedangkan pawang jalur dengan kemampuan supranatural mewakili dunia lain atau kebatinan.

Sebagian besar masyarakat Kuansing mempercayai bahwa kemenangan baru akan diperoleh oleh jalur yang berpacu jika kedua unsur tersebut (fisik dan batin) memiliki kekuatan yang lebih. Petuah orang tua-tua Rantau Kuantan mengatakan bahwa ada tiga unsur yang menentukan kemenangan sebuah jalur dalam berpacu. Yakni, pawang jalur yang hebat, jalur yang laju, dan anak pacuan atau pemacu yang kuat.

Sebuah jalur yang tidak melibatkan pawang dan hanya mengandalkan kekuatan otot saja, dipercayai tidak akan memperoleh kemenangan. Keberadaan pawang jalur dalam prosesi pacu jalur tradisional diakui memang ada perdebatan. Diakui, salah satu faktor utama yang mendukung bertahannya sebuah budaya di suatu daerah adalah jika budaya tersebut sejalan dengan agama yang dianut oleh sebahagian besar masyarakatnya sebagai contoh Bali.

Sementara di Kuansing, awal mulanya dahulu agama masyarakat adalah Hindu atau animisme, dan secara berangsur-ansur dengan masuknya Islam sekitar abad ke-17, menjadi agama mayoritas masyarakat. Yang terjadi, banyak adat dan budaya yang ada secara berangsur-angsur terdegradasi oleh perkembangan zaman, terutama yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Menurutnya, keberadaan pawang jalur dan bertahannya ritual dalam kegiatan pacu jalur tradisonal berkaitan erat dengan tingkat pemahaman masyarakat terhadap agama yang dianutnya, yaitu Islam. Masyarakat mempercayai bahwa hal tersebut tidak berseberangan dengan ajaran Islam, karena mereka juga menggunakan ucapan-ucapan yang berbau Islam. Atas dasar inilah kegiatan ini bertahan dan tetap berlangsung sampai sekarang.

Masih segar dalam ingatannya, tatkala pada tahun 2018 pacu jalur tradisonal Kuansing hilang dari agenda pariwisata nasional. Timbul reaksi dari berbagai kalangan, terutama pemangku adat dan perangkat adat. Bahkan masyarakat adat Kenegerian Telukkuantan melalui panitia musyawarah besar (mubes). Mereka melakukan rapat dan menyurati kepala daerah sebagai bentuk keprihatinan orang adat pada 24 Oktober 2018.

Hasil dari pertemuan itu menyimpulkan, pelaksanaan pacu jalur tradisional semakin tahun semakin bias dari konsep dasarnya. Pacu jalur tradisional adalah budaya kearifan lokal yang bertumpu pada nilai-nilai tradisional, baik dalam pelaksanaan dalam pacu jalur tradisional itu sendiri maupun pada rangkaian kegiatan yang menyertainya.

Mulai dari 2019 dan seterusnya, pelaksanaan pacu jalur memperbesar keterlibatan masyarakat adat. Untuk tahap awal, masyarakat adat Kenegerian Telukkuantan dalam pelaksanaannya. Dan sangat diharapkan pula pada akhirnya nanti pacu jalur tradisional dapat dilaksanakan atau diserahkan pelaksanaannya kepada masyarakat adat Rantau Kuantan dan Rantau Singingi (Kabupaten Kuasing).

Pacu jalur tradisional harus mulai dikembalikan kepada nilai-nilai dan kaidah-kaidah adat dalam nuansa tradisional. Hal itulah yang membuat pacu jalur tradisional tersohor ke berbagai belahan bumi dan lestari sampai sekarang.

Berharap Jadi Tujuan Wisata Internasional

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kuantan Singingi (Kuansing) memberikan dukungan penuh terhadap pelestarian tradisi dan budaya pacu jalur Kuansing, baik dukungan moril maupun materil. Salah satunya melakukan pembenahan infrastruktur dan fasilitas penunjang dalam pelaksanaan pacu jalur di sepanjang Sungai Kuantan.

Pemkab sudah menuntaskan pembangunan tribun pacu jalur di semua kecamatan yang menjadi penyelenggara tradisi turun-temurun itu. Mulai dari Kecamatan Hulu Kuantan, Kuantan Mudik, Gunung Toar, Kuantan Tengah, Benai, Pangean, Kuantan Hilir, Inuman, dan Cerenti.

Semua itu dimaksudkan agar masyarakaat Kuansing di kampung halaman, perantauan, maupun wisatawan domestik dari kabupaten tetangga di Riau, provinsi tetangga, dan tamu-tamu penting dari kementerian maupun wisatawan mancanegara yang datang berkunjung merasa nyaman.

Pemkab Kuansing semenjak dimekarkan menjadi kabupaten pada 12 Oktober 1999 lalu sampai saat ini sudah berusia 24 tahun, gencar melakukan promosi wisata dalam berbagai kunjungan ke kabupaten dan provinsi tetangga. Tak ketinggalan ke Kementerian Pariwisata RI.

Bahkan dalaam pertemuan World Water Forum (WWF) yang diikuti ratusan kepala negara dari belahan dunia di Bali, belum lama ini, Kabupaten Kuansing diberi kesempatan menampilkan tradisi pacu jalur yang mendapat respon luar biasa dari peserta.

Upaya promosi yang gencar dilakukan Pemkab Kuansing itu mulai membuahkan hasil. Tradisi pacu jalur sudah menjadi kalender tetap pariwisata nasional. Bahkan sudah masuk dalam Top Ten Kharisma Event Nusantara (KEN) pada 2023. Yakni peringkat ketujuh.

Baca Juga:  Air Tak Mengalir Lancar dan Menjadi Genangan Banjir

”Gol akhir yang menjadi sasaran dan target kinerja ke depan, pada masanya nanti sesuai progres 5 atau 10 tahun ke depan, pacu jalur menjadi daya pikat dan magnet turis domestik dan mancanegara. Itu cita-cita kita,” kata Bupati Kuansing Suhardiman Amby.

Bila tradisi dan budaya pacu jalur ini sudah menjadi event wisata mancanegara, lanjut Suhardiman Amby Datuk Panglimo Dalam, maka wisatawan domestik dan mancanegara setiap tahun akan ramai datang ke Kabupaten Kuansing menyaksikan pacu jalur ini. Logikanya, semakin orang ramai datang ke Kuansing tentu akan memutar ekonomi masyarakat. Semakin ramai orang datang maka geliat UMKM akan semakin subur tumbuh dan berkembangnya.

Ekonomi menegah ke bawah akan tumbuh dan berkembang. Seperti kuliner, kerajinan khas Kuansing serta perputaran barang dan jasa. Homestay dan penginapan yang ada akan terisi. Ekonomi menengah ke atas juga akan maju. Dampak lainnya, tentu akan membuka peluang tumbuhnya hotel-hotel berbintang yang ujungnya adalah peningkatan pendapatan asli daaerah (PAD).

“Kalau PAD kita bertambah, tentu pagu APBD Kuansing akan naik pula. Artinya, ada multiplier effect untuk semua itu yang bisa dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur sosial dan ekonomi di Kuansing,” ujarnya.

Untuk mewujudkan cita-cita itu, Suhardiman mengakui banyak hal yang harus dibenahi. Banyak “PR” yang harus dikerjakan di tengah keterbatasan anggaran yang dimiliki Kabupaten Kuansing. Misalnya saja pembenahan sarana dan prasarana di kawasan Tepian Narosa Telukkuantan yang menjadi arena pacu jalur nasional. Seperti fasilitas tribun VIP di pancang stars dan finish. Tribun penonton yang ada di sepanjang Desa Koto Taluk-Desa Sawah dan Desa Seberang Taluk.

Semua itu membutuhkan dana yang tidak sedikit dan perlu “gotong-royong”, sharing bujet antara Pemkab Kuansing dengan Pemprov Riau. “Kami segera siapkan perencanaan sharing bujet dengan Pemprov untuk bagian darat. Sementara untuk daerah aliran sungai (DAS) sesuai kewenangan akan diusulkan melalui dana APBN,” papar Suhardiman.

Meski tujuan menjadi agenda wisatawan mancanegara merupakan sebuah cita-cita yang ingin dicapai, Suhardiman mengatakan, kelestarian dari tradisi, budaya, nilai-nilai kemuliaan yang terkandung di dalam pacu jalur harus tetap dijaga. Menjaga kelestarian hutan dan lingkungan agar hutan belantara yang ada di Kuansing terpelihara sehingga kayu jalur yang menjadi bahan baku dalam pembuatan jalur, tetap tersedia sampai kapan pun. Untuk menjaga ketersediaan kayu jalur itu, Pemkab Kuansing sudah menyiapkan Peraturan Daerah (Perda) Khusus yang diperkuat dengan Peraturan Bupati (Perbup) Kuansing tentang pengambilan kayu jalur.

Misalnya, kayu yang ditebang untuk pembuatan jalur benar-benar dipastikan cocok. Tidak asal tebang. Bila berada di kawasan hutan lindung, harus meminta persetujuan kepala daerah. Bila berada di kawasan ulayat, harus ada persetujuan datuk penghulu dari kawasan ulayat itu.

Dan bila masuk dalam HGU perusahaan, harus minta persetujuan perusahaan yang bersangkutan. Pemkab Kuansing akan mendukungnya, sepanjang itu benar-benar untuk pembuatan jalur dan pelestarian budaya Kuansing. “Ini kebijakkan Pemkab untuk menjaga agar hutan dan budaya tetap lestari. Karena perlu 100 tahun untuk sebuah kayu jalur,” kata Suhardiman.

Dia berharap, kebijakan itu bisa dipatuhi seluruh masyarakat Kuansing. Dengan begitu budaya pacu jalur tetap lestari, pariwisata maju, ekonomi masyarakat bisa bangkit, dan masyarakat Kuansing bisa sejahtera ke depan.

Hal ini juga diungkapkan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kuansing Drs Azhar MM. “Kita masyarakat Kuansing bisa sedikit berbangga hati. Kini pacu jalur sudah masuk dalaam Top Ten KEN Indonesia, yakni peringkat tujuh,” kata Azhar.

Namun misi ke depan tidak cukup sampai di situ. Pemkab Kuansing menargetkan pacu jalur Kuansing di tahun 2024 ini bisa masuk tiga besar KEN. Sementara cita-cita paling besar, tradisi warisan leluhur Kuansing ini bisa menembus mancanegara, menjadi tujuan wisatawan tidak hanya domestik tetapi juga internasional. Semua cita-cita itu bisa diwujudkan dengan dukungan semua komponen masyarakat Kuansing. Pemerintah, orang adat, masyarakat serta selalu menjaga keasrian tradisi pacu jalur itu sendiri.

Salah satu keasrian tradisi pacu jalur, sebuah jalur memiliki si tukang tari, timbo ruang dan tukang onjai. Makanya, di dalam event nasional, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kuansing mewajibkan, kalau setiap jalur yang menjadi peserta, harus ada si tukang tari atau anak coki, tukang timbo ruang dan tukang onjai. “Karena begitulah tradisi yang ditinggalkan dulu secara turun-temurun. Jika itu tidak terpenuhi, jalur akan didiskualifikasi,” papar Azhar.

Sementara ornamen atau ukiran jalur, tidak mutlak. Hanya pemanis dari jalur yang dibuat desa sehingga tampilan jalur semakin indah saat berpacu. Azhar tak menampik kalau di era milenial sekarang, di usia pacu jalur yang sudah 121 tahun, keunikan-keunikan dari tradisi pacu jalur masih terlihat di tengah masyarakat Kuantan Singingi. Misalnya saja, saat pencarian kayu jalur, penebangan, turun mandi jalur maupun saat perpacuan. Peran orang tua jalur atau pawang jalur masih terlihat.

Menurutnya hal itu bagian sebuah budaya yang diwariskan para leluhur. Namun terkadang menjadi perdebatan. ‘’Tapi yakinlah, kalau pawang jalurnya seorang muslim, yang dilakukannya tetap sesuai syariat Islam. Karena dalam tradisi dan budaya pacu jalur tetap berpegang pada adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Artinya berpedoman pada agama Islam. Biasanya memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa. Mayang pinang, beberapa bunga hanya penggiring tradisi,” ujarnya.

Di tahun 2023 lalu, media sosial pacu jalur Kuansing menembus 2,7 juta follower yang ditonton dari dalam dan luar negeri seperti yang dilansir dan diekspose Kementerian Pariwisata Ekonomi Kreatif (Parekraf) RI. Ini menandakan kalau tradisi pacu jalur sudah di kenal luas. “Tinggal kita bagaimana lebih gencar promosi dan melakukan pembenahan fasilitas serta dalam pelaksanaan event itu sendiri,” ujarnya.(bersambung)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari