JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Serangan balasan Iran ke Israel memicu kekhawatiran melonjaknya harga minyak dunia. Jika itu terjadi, harga BBM di tanah air diperkirakan ikut terkerek. Meski begitu, hingga kemarin pemerintah memastikan harga BBM belum akan dinaikkan. Setidaknya sampai Juni tahun ini.
’’Ya, harga BBM masih seperti itu (tidak berubah sampai Juni, red). Kami berpikiran ini hanya faktor short term karena kecenderungan banyak pihak di dunia tidak menginginkan harga minyak yang terlalu tinggi,’’ ujar Dirjen Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji pada diskusi yang digelar Eisenhower Fellowships Indonesia Alumni Chapter di Jakarta, Senin (15/4).
Tutuka melanjutkan, secara historis, selama sekitar 100 tahun, harga minyak cenderung berada di level yang rendah. Jika pun ada lonjakan, itu lebih disebabkan faktor geopolitik seperti saat ini. Nanti lonjakan tersebut berangsur turun dan harga minyak kembali melandai selama beberapa periode.
Dia melanjutkan, usai serangan balasan Iran ke Israel, harga minyak mentah dunia diperkirakan bisa mencapai 100 dolar AS per barel. Jika terjadi eskalasi konflik, harga minyak diperkirakan mencapai level 120-130 dolar per barel.
Indonesia juga disebutnya tidak memiliki kerja sama impor migas dari Iran. ’’Walaupun kita menjalin kerja sama dengan Iran, implementasinya tidak mudah. Jadi, sampai saat ini tidak ada impor migas,’’ jelas dia.
Data Kementerian ESDM mencatat, sumber utama impor BBM Pertamina berasal dari Singapura, Malaysia, dan India. Sementara itu, sumber utama impor Elpiji berasal dari AS dan Timur Tengah. Sedangkan sumber utama impor crude dari Nigeria, Arab Saudi, Angola, dan Gabon.
Meski begitu, Tutuka mengakui bahwa konflik itu memiliki konsekuensi pada asumsi makro APBN. Terutama pada membengkaknya subsidi energi. ’’Untuk setiap kenaikan ICP sebesar 5 dolar AS per barel, subsidi BBM akan bertambah Rp0,19 triliun. Lalu (dengan kenaikan yang sama,red), kompensasi solar bertambah Rp6,42 triliun serta subsidi Elpiji bertambah Rp5,04 triliun,’’ jelas dia.
Pada kesempatan yang sama, ekonom Mari Elka Pangestu juga mengingatkan adanya risiko lonjakan harga minyak akibat konflik Iran-Israel. Gejolak harga minyak, inflasi, dan dinamika harga komoditas lainnya pasti akan berdampak pada Indonesia. ’’Dengan harga minyak di luar hal terkait dengan inflasi dan harga produksi naik, tentunya masalah kepada anggaran dan fiskal. Defisit anggaran dan fiskal karena kalau harga naik tentunya subsidi BBM juga akan naik ya, kecuali harga BBM-nya memang mau dinaikkan,’’ jelas mantan menteri perdagangan itu.
Terpisah, anggota Komisi VII DPR Mulyanto meminta pemerintah mengantisipasi potensi kenaikan harga minyak mentah dunia pasca serangan Iran ke Israel. Dia menilai, cepat atau lambat konflik Iran-Israel akan berdampak pada semakin naiknya harga minyak mentah dunia.
Menurut dia, hal tersebut diperparah dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang sudah menembus angka Rp 16 ribu. ”Mengamati pergerakan harga minyak dunia yang terus menanjak tajam sejak awal tahun 2024, apalagi pascakonflik Iran-Israel, pemerintah perlu segera memikirkan langkah-langkah antisipatif,’’ paparnya.
Politikus PKS itu mengatakan, kondisi itu semacam triple shock. Sebab, terjadi di tengah kebutuhan migas dalam negeri yang naik saat momen Ramadan dan Idulfitri serta naiknya dolar AS terhadap rupiah yang menembus angka Rp16.000 per dolar AS.
Mulyanto menegaskan, sebagai negara net importer migas, kenaikan harga migas dunia akan berdampak negatif bagi APBN. Apalagi kenaikan tersebut berbarengan dengan naiknya permintaan di dalam negeri serta melonjaknya kurs dolar terhadap rupiah.
Dia mengatakan, Senin (15/4) harga minyak WTI sebesar 85,6 dolar AS per barel. Harga itu mengalami kenaikan sejak awal tahun. Semula harganya 70 dolar AS per barel atau naik 22 persen. Angka yang lumayan besar dan jauh di atas asumsi makro APBN 2024 yang hanya 82 dolar AS per barel. ‘’Padahal, menteri ESDM baru saja menetapkan ICP Maret 2024 sebesar 83,8 dolar AS per barel (2 April 2024),’’ jelas Mulyanto.
Dia minta agar langkah antisipatif pemerintah tersebut tidak mengambil opsi kebijakan yang merugikan rakyat kecil, seperti kenaikan harga BBM atau gas elpiji bersubsidi. ”Langkah antisipasinya jangan malah mengorbankan rakyat dan meningkatkan inflasi,’’ tegas Mulyanto.(dee/lum/oni/esi)
Laporan JPG, Jakarta