Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Dengan Memilih Kita Bisa Menentukan Nasib Bangsa

Rangga Respati Alias Abu Kanza (35) pada pemilu 2019 tak peduli dengan pemilu. Selain merasa bukan warga NKRI, ia juga menilai nyoblos di pemilu adalah sebuah kekufuran. Saat itu, ia masih terpapar paham radikalisme, dan tergabung dalam salah satu kelompok militan, Jaringan Ansharut Daulah (JAD).

Laporan Eka G Putra, Pekanbaru

Pertengahan 2017, Abu Kanza kerap berpindah tempat. Pekanbaru dan Dumai, menjadi rutenya beraktifitas kala itu. Hingga akhir tahun, saat mengantar sang istri, tepatnya Desember 2017, Abu Kanza alias Rangga Respati sudah punya firasat bakal ditangkap sebagai terduga teroris.

Sebab, sebulan sebelumnya, atau November, ia mengetahui kabar lima rekannya ditangkap terlebih dahulu. Saat itu ia langsung sembunyi ke Dumai, dan saat kembali ke Pekanbaru bertemu keluarga, Rangga bercerita ia langsung ditangkap.

“Saat beberapa kawan ditangkap, saya sembunyi ke Dumai, kemudian balek ke Pekanbaru sebulan kemudian dan beraktifitas seperti biasa. Bulan 12 saya di jemput (Tim Densus 88) saat mengantar istri, sudah ada firasat kalau akan ditangkap memang saat itu,” cerita Rangga yang sudah melupakan nama Abu Kanza saat diwawancara Riau Pos, Selasa (13/2) melalui sambungan selular di Pekanbaru.

Rangga adalah salah seorang warga Kota Pekanbaru yang diamankan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri pada Tahun 2017 lalu. Rangga menjalani hukuman selama tiga tahun dimulai dari tahun 2017 hingga tahun 2020.

Rangga ditangkap di Kota Pekanbaru tepatnya di Jalan Darma Bakti, dan diamankan karena terlibat di Jaringan Ansharut Daulah (JAD). Dijelaskannya, saat ia mengikuti jaringan tersebut, untuk aksi-aksi teror saat itu baru tahap perencanaan, dan mengikuti jaringan yang lain untuk melakukan aksi.

Baca Juga:  Terjebak Lumpur, Nyaris Bermalam di “Sarang” Harimau

“Saat itu kami masih jaringan terputus dan belum ada aksi langsung ke amir-nya, dimana amir kami saat itu memiliki anggota 30 orang lebih,” cerita Rangga. Rangga bercerita, bagaimana ia melewati tahap demi tahap di hidupnya. Dimana pada tahun 2019 lalu ia tidak bisa mengikuti pemilu akibat terpapar paham radikalime. “Sebelum terpapar saya masih ikut Pemilu,” ujarnya.

Namun setelah terpapar, dan masuk ke paham radikalis, memang tidak dibolehkan ikut pemilu. “Serasa tidak bernegara, dan sejak saat itu, tidak ikut milih lagi,” sambung Rangga.

Ditambahkannya, pada saat ia terpapar paham radikalisme, ia memahami orang yang memilih dan mengikuti sistem pemilu itu ialah sistem kekufuran atau kekafiran, dan orang-orang yang nyoblos adalah kekufuran.

Saat terpapar, ia menganggap tengah menumpang di negara ini, selain merasa tidak bernegara, semua sistem yang ada, baik itu sistem keamanan dan aturan, pemerintahan dan lainnya, seakan sudah dilepaskan dari diri.

“Memang sudah melepas diri dari sistem negara yang dibuat oleh negara, baik kepada polisi, TNI ataupun camat, karena lepas dari sistem tersebut, KTP pun tidak punya saat itu,” terangnya.

Rangga menceritakan kisahnya saat melewati masa tahanan dimana juga disebut masa sterilisasi bagi para tahanan napiter. Pada Saat sterilisasi, para napiter tidak diikutkan dalam agenda-agenda seperti napi lain. Diantaranya 17 Agustus dan pemilu. Para napiter, katanya hanya bisa melihat dari kejauhan.

“Kita berbeda dari napi yang lain, seperti pada 17 Agustus ada perlombaan, kita hanya melihat dari jauh saja, karena pada saat masa tahanan kita masih dalam tahap sterilisasi,” sambungnya.

Setelah menjalani hukuman hampir tiga tahun, Rangga bebas dan kembali ke keluarga. Ia juga tetap didampingi tim dari Densus 88. Karenanya, pada momen 14 Februari 2024 ini, Rangga yang dulunya ikut memilih dalam pesta demokrasi lalu sempat ada masa tidak memerpedulikan adanya sistem negara dan saat ini setelah menjadi eks napiter, Rangga dengan suka riang mengikuti pemilu dan memaknai Pilkada 2024 ini sebagai sebuah hal yang harus terlibat sebagai WNI.

Baca Juga:  Sempat Bagi-Bagi Mesin Air, Menghilang setelah Lihat Penghitungan Suara

Rangga mengajak kepada masyrakat Indonesia untuk menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2024. “Karena dengan kita memilih, kita bisa menentukan nasib kita ke depannya,” ujarnya.

Kepada para eks napiter yang lain juga, Rangga juga mengajak untuk memilih. Walaupun dari para paslon ada kekurangan, dari semua program-program yang mereka gagas pasti akan membuat Indonesia lebih baik. Menurutnya, para napiter yang masih dalam proses sterilisasi, yang menganggap sistem negara ini sistem kekufuran dan masih ingin mengugurkan sistem negara ini, setidaknya harus memandang hal yang yang lebih baik.***

“Mari kita dukung sistem negara ini, mari kembali ke NKRI, kembali menjalani hidup dengan baik,” ajak Rangga Respati.

Rangga tampak sangat mengikuti dinamika yang terjadi di tengah hiruk pikuk politik di Indonesia. “Walapun saya tidak paham politik, namun saya mengikuti dengan memahami calon-calon pemimpin yang ingin menahkodai negara ini,” ulasnya.

Jika mengingat lagi, katanya saat di penjara ketika itu, ia mengaku merasakan penyesalan karena memilih jalan yang salah dan ia akan mejadikan kisah yang ia lewati menjadi pelajaran hidup yang sangat berharga.

“Penyesalan itu ada, bagi saya ini pelajaran dan ujian hidup yang mesti dilalui,” ucapnya.***






Reporter: Redaksi Riau Pos Riau Pos

Rangga Respati Alias Abu Kanza (35) pada pemilu 2019 tak peduli dengan pemilu. Selain merasa bukan warga NKRI, ia juga menilai nyoblos di pemilu adalah sebuah kekufuran. Saat itu, ia masih terpapar paham radikalisme, dan tergabung dalam salah satu kelompok militan, Jaringan Ansharut Daulah (JAD).

Laporan Eka G Putra, Pekanbaru

- Advertisement -

Pertengahan 2017, Abu Kanza kerap berpindah tempat. Pekanbaru dan Dumai, menjadi rutenya beraktifitas kala itu. Hingga akhir tahun, saat mengantar sang istri, tepatnya Desember 2017, Abu Kanza alias Rangga Respati sudah punya firasat bakal ditangkap sebagai terduga teroris.

Sebab, sebulan sebelumnya, atau November, ia mengetahui kabar lima rekannya ditangkap terlebih dahulu. Saat itu ia langsung sembunyi ke Dumai, dan saat kembali ke Pekanbaru bertemu keluarga, Rangga bercerita ia langsung ditangkap.

- Advertisement -

“Saat beberapa kawan ditangkap, saya sembunyi ke Dumai, kemudian balek ke Pekanbaru sebulan kemudian dan beraktifitas seperti biasa. Bulan 12 saya di jemput (Tim Densus 88) saat mengantar istri, sudah ada firasat kalau akan ditangkap memang saat itu,” cerita Rangga yang sudah melupakan nama Abu Kanza saat diwawancara Riau Pos, Selasa (13/2) melalui sambungan selular di Pekanbaru.

Rangga adalah salah seorang warga Kota Pekanbaru yang diamankan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri pada Tahun 2017 lalu. Rangga menjalani hukuman selama tiga tahun dimulai dari tahun 2017 hingga tahun 2020.

Rangga ditangkap di Kota Pekanbaru tepatnya di Jalan Darma Bakti, dan diamankan karena terlibat di Jaringan Ansharut Daulah (JAD). Dijelaskannya, saat ia mengikuti jaringan tersebut, untuk aksi-aksi teror saat itu baru tahap perencanaan, dan mengikuti jaringan yang lain untuk melakukan aksi.

Baca Juga:  Dikenal sebagai Pekerja Keras dan Pantang Menyerah

“Saat itu kami masih jaringan terputus dan belum ada aksi langsung ke amir-nya, dimana amir kami saat itu memiliki anggota 30 orang lebih,” cerita Rangga. Rangga bercerita, bagaimana ia melewati tahap demi tahap di hidupnya. Dimana pada tahun 2019 lalu ia tidak bisa mengikuti pemilu akibat terpapar paham radikalime. “Sebelum terpapar saya masih ikut Pemilu,” ujarnya.

Namun setelah terpapar, dan masuk ke paham radikalis, memang tidak dibolehkan ikut pemilu. “Serasa tidak bernegara, dan sejak saat itu, tidak ikut milih lagi,” sambung Rangga.

Ditambahkannya, pada saat ia terpapar paham radikalisme, ia memahami orang yang memilih dan mengikuti sistem pemilu itu ialah sistem kekufuran atau kekafiran, dan orang-orang yang nyoblos adalah kekufuran.

Saat terpapar, ia menganggap tengah menumpang di negara ini, selain merasa tidak bernegara, semua sistem yang ada, baik itu sistem keamanan dan aturan, pemerintahan dan lainnya, seakan sudah dilepaskan dari diri.

“Memang sudah melepas diri dari sistem negara yang dibuat oleh negara, baik kepada polisi, TNI ataupun camat, karena lepas dari sistem tersebut, KTP pun tidak punya saat itu,” terangnya.

Rangga menceritakan kisahnya saat melewati masa tahanan dimana juga disebut masa sterilisasi bagi para tahanan napiter. Pada Saat sterilisasi, para napiter tidak diikutkan dalam agenda-agenda seperti napi lain. Diantaranya 17 Agustus dan pemilu. Para napiter, katanya hanya bisa melihat dari kejauhan.

“Kita berbeda dari napi yang lain, seperti pada 17 Agustus ada perlombaan, kita hanya melihat dari jauh saja, karena pada saat masa tahanan kita masih dalam tahap sterilisasi,” sambungnya.

Setelah menjalani hukuman hampir tiga tahun, Rangga bebas dan kembali ke keluarga. Ia juga tetap didampingi tim dari Densus 88. Karenanya, pada momen 14 Februari 2024 ini, Rangga yang dulunya ikut memilih dalam pesta demokrasi lalu sempat ada masa tidak memerpedulikan adanya sistem negara dan saat ini setelah menjadi eks napiter, Rangga dengan suka riang mengikuti pemilu dan memaknai Pilkada 2024 ini sebagai sebuah hal yang harus terlibat sebagai WNI.

Baca Juga:  Siak Satu dari Tujuh Titik Pelayaran KRI Dewaruci

Rangga mengajak kepada masyrakat Indonesia untuk menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2024. “Karena dengan kita memilih, kita bisa menentukan nasib kita ke depannya,” ujarnya.

Kepada para eks napiter yang lain juga, Rangga juga mengajak untuk memilih. Walaupun dari para paslon ada kekurangan, dari semua program-program yang mereka gagas pasti akan membuat Indonesia lebih baik. Menurutnya, para napiter yang masih dalam proses sterilisasi, yang menganggap sistem negara ini sistem kekufuran dan masih ingin mengugurkan sistem negara ini, setidaknya harus memandang hal yang yang lebih baik.***

“Mari kita dukung sistem negara ini, mari kembali ke NKRI, kembali menjalani hidup dengan baik,” ajak Rangga Respati.

Rangga tampak sangat mengikuti dinamika yang terjadi di tengah hiruk pikuk politik di Indonesia. “Walapun saya tidak paham politik, namun saya mengikuti dengan memahami calon-calon pemimpin yang ingin menahkodai negara ini,” ulasnya.

Jika mengingat lagi, katanya saat di penjara ketika itu, ia mengaku merasakan penyesalan karena memilih jalan yang salah dan ia akan mejadikan kisah yang ia lewati menjadi pelajaran hidup yang sangat berharga.

“Penyesalan itu ada, bagi saya ini pelajaran dan ujian hidup yang mesti dilalui,” ucapnya.***






Reporter: Redaksi Riau Pos Riau Pos
Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari