Bolehkah melaporkan orang yang sudah meninggal dunia? Itu lah salah satu pertanyaan publik dalam suatu kasus besar yang hingga sekarang masih menjadi misteri dalam penegakan hukum di Indonesia di samping masih banyak pertanyaan lain yang sulit untuk dijawab.
Membuat laporan tentang suatu tindak pidana adalah hak setiap orang. Bahkan dalam hal tertentu menjadi kewajiban setiap orang yang mendengarkan, mengalami, menjadi korban atau melihat terjadinya tindak pidana termasuk untuk hal tertentu mengetahui adanya tindak pidana. Apalagi jika seseorang menjadi korban tindak pidana, maka ia berhak secara hukum untuk membuat laporan agar terang perkara ia ia alami sehingga dapat ditentukan siapa yang dapat dianggap sebagai pelakunya baik karena perbuatannya maupun keadaannya. Secara psikologis, membuat laporan bagi korban dapat meringankan beban yang tengah ia alami sehingga ada kepuasan bahwa negara telah bertindak atau merespon kejadian yang dia alami.
Di sisi lain, dalam suatu perkara pidana yang terdakwanya meninggal dunia, kewenangan negara untuk menuntut menjadi hapus. Kewenangan menuntut dalam hal ini dimaknai dengan termasuk pula kewenangan menyidik oleh kepolisian. Dasar filosofisnya adalah karena tidak mungkin membebankan kesalahan kepada orang yang sudah meninggal dunia. Kalaupun benar pelaku bersalah, kesalahan tersebut tidak bisa dialihkan kepada siapapun. Kesalahan dalam hukum pidana bersifat individual kecuali ada penyertaan di dalamnya. Prinsip pertanggungjawaban pidana adalah individual, tidak bisa diwariskan atau digantikan. Di samping itu, keadaan meninggal dunia dianggap sebagai puncak penderitaan yang dengan keadaan itu dianggap sudah cukup sebagai balasan bagi pelaku seandainya ia memang bersalah. Bukan kah pidana paling berat dalam sistem hukum pidana adalah pidana mati? Bahwa orang yang dianggap bersalah meninggal dunia dengan cara yang salah, itu adalah persoalan lain yang terpisah yang juga harus diselesaikan dengan berkas yang berbeda.
Dalam perspektif hak asasi manusia dan kepentingan praktis dalam hukum acara pidana, tidak lah logis meminta pertanggungjawaban kepada seorang yang sudah tiada dimana ia tidak lagi dapat membela dirinya. Dalam perspektif KUHAP berlaku asas praduga tak bersalah. Berlaku pula hak untuk membela diri, hak untuk didengarkan keterangannya dan hak untuk dihadirkan di muka persidangan. Bagaimana mungkin seseorang yang diduga sebagai pelaku yang sudah meninggal dunia dapat membela dirinya? Akan dianggap sebagai sebuah ketidakadilan jika peradilan diterapkan hanya dengan kehadiran salah satu pihak.
Dua paragraf di atas telah mencoba menjaga dua kepentingan antara pelaku dengan korban. Tetapi jangan lupa, masih ada satu kepentingan lain yang juga harus dipertimbangkan yaitu kepentingan masyarakat dan negara. Kepentingan itu adalah tentang terungkapnya suatu kebenaran materil dan kerugian negara dan masyarakat yang disebabkan oleh perbuatan pelaku. Publik berhak mendapat informasi yang lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan tentang desas-desus yang berkembang, demi suatu kepastian hukum.
Untuk kepentingan pencarian kebenaran materil, suatu perkara perlu diungkapkan seterang-terangnya tentang siapa yang menjadi korban, apa perbuatan yang dilakukan, bagaimana perbuatan dilakukan, siapa pelakunya, kapan dan dimana perbuatan dilakukan. Dilihat dari sisi ini saja, maka adalah penting untuk mengungkapkan suatu perkara oleh penyidik, meski terduga pelakunya sudah meninggal dunia.
Dalam tindak pidana tertentu seperti korupsi, hak negara untuk menghukum tetap berlanjut meski tanpa kehadiran terdakwa. Persidangan apalagi penyidikan tetap dapat dilanjutkan tanpa kehadiran tersangka atau terdakwa. Tetapi harus diingat bahwa dalam kasus tersebut, tersangka atau terdakwanya masih hidup, belum meninggal dunia. Adanya kewenangan untuk mengadakan peradilan in absentia, persidangan tanpa kehadiran terdakwa, dianggap adil karena terdakwa secara sengaja dengan iktikad buruk menghilangkan diri untuk tidak hadir di muka persidangan.
Adalah berbeda halnya jika seorang yang diduga sebagai pelaku ternyata sudah meninggal dunia. Keadaan meninggal dunia adalah peristiwa yang sangat berbeda dengan tersangka atau terdakwa melarikan diri atau sengaja tidak hadir di muka persidangan. Itu lah sebabnya, pandangan tentang gugurnya hak menuntut oleh negara kepada mereka yang sudah meninggal dunia adalah norma yang sudah diterima sejak lama dan berlaku dalam semua sistem hukum. Dalam hal ini perlu diingat bahwa penegakan hukum berbeda dengan pelaksanaan pidana.***
Tugas menegakkan hukum adalah menentukan apakah seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana bersalah atau tidak. Selanjutnya, orang yang dinyatakan bersalah secara hukum, belum tentu harus menjalani pidananya
Lalu bagaimana dengan kepentingan masyarakat dan negara tentang terangnya suatu perkara yang dituduhkan kepada orang yang meninggal dunia? Dalam hal ini perlu diingat bahwa penegakan hukum berbeda dengan pelaksanaan pidana. Tugas menegakkan hukum adalah menentukan apakah seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana bersalah atau tidak. Selanjutnya, orang yang dinyatakan bersalah secara hukum, belum tentu harus menjalani pidananya karena ada pengampunan. Grasi misalnya, adalah pengampunan yang diberikan Presiden kepada orang yang sesungguhnya terbukti bersalah. Apalagi dalam RUU KUHP dikenal pula lembaga rechtelijke pardon, yaitu pengampunan oleh hakim. Termasuk pula dalam hal ini jika terpidana meninggal dunia sebelum menjalani pidana, maka kewajiban menjalani pidana menjadi hapus tanpa harus digantikan oleh siapapun atau diganti dengan bentuk lain seperti kompensasi.
Dalam hal perkaranya belum sampai di pengadilan, maka tidak salah jika dilakukan penyidikan oleh kepolisian untuk membuat terangnya perkara yang dilaporkan. Setelah terang perkara tersebut berdasarkan bukti-bukti yang ada, penyidik membuat kesimpulan untuk menghentikan perkara karena salah satu alasannya adalah tersangka telah meninggal dunia. Tersangka meninggal dunia, adalah salah satu dari tiga alasan untuk menghentikan penyidikan demi hukum selain alasan lain yaitu ne bis in idem dan daluarsa.
Berdasarkan uraian-uraan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa membuat laporan tentang suatu peristiwa pidana dimana orang yang diduga sebagai pelakunya meninggal dunia, adalah sah-sah saja dilakukan walaupun tidak lazim, jika dipandang dari kepentingan untuk terangnya suatu perkara, apalagi jika perkara tersebut menyita perhatian publik. Proses penyidikan yang dilakukan tidak semata-mata bertujuan untuk menghukum pelaku, tetapi lebih pada kepentingan untuk membuat terang suatu perkara, apakah benar telah terjadi suatu tindak pidana sebagaimana yang dilaporkan pelapor. Bisa saja dalam suatu peristiwa yang menurut pelapor merupakan tindak pidana, akan tetapi dalam pandangan penyidik bukan lah suatu tindak pidana sehingga harus dihentikan mulai dari proses penyelidikan atau setelah proses penyidikan.
Erdianto Effendi, Pengamat Hukum