Di zaman old, tak bisa dipungkiri peran Bappenas dan Bappeda sangat sentral dalam perencanaan pembangunan. Bahkan konon dulu sebelum gubernur melantik kepala Bappeda di daerah, haruslah mendapat rekomendasi terlebih dahulu dari Kepala Bappenas. Dokumen GBHN, Repelita dan Repelitada adalah buku suci yang dipedomani dalam pelaksanaan pembangunan, dan itu konsisten. Keberadaan blue book adalah bukti peninggalan sejarah betapa digdayanya Bappenas saat itu.
Tahun 1998, ketika bergulir reformasi, paradigma perencanaan pun berubah. Bappenas dan barangkali juga Bappeda sudah kurang kesaktiannya. Orde Baru dianggap tidak menyediakan panggung untuk rakyat dalam Pesta Perencanaan. Amandemen UUD 1945 telah mengeliminir GBHN sebagai haluan perencanaan pembangunan. Peran GBHN digantikan oleh Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Repelita berubah menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Repeta/da berubah menjadi RKP/D. Ada proses musyawarah pembangunan, mulai dari desa sampai ke Jakarta untuk setiap pembahasan Dokumen Perencanaan. Peran rakyat dioptimalkan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Partisipasi rakyat adalah roh dalam menampung usulan-usulan pembangunan. Namun, setelah berjalan hampir 20 tahun, bisa dikatakan sangat minim usulan rakyat tersebut yang terealisasi dengan berbagai dalih: Budget constrain, kewenangan tingkatan Pemerintah, belum/tidak prioritas dan lain sebagainya.
Pemilihan kepala daerah secara langsung, di satu sisi telah berhasil untuk memberikan panggung bagi masyarakat dalam pesta demokrasi. Namun di sisi lain, dalam penyusunan (RPJM), pesta perencanaan didominasi oleh tim sukses dan ideologi partai pendukung, yang hampir mewarnai seluruh proses penyusunan rencana pembangunan jangka menengah dan jangka pendek (proses politik), disamping kajian teknokratik. Hal inilah yang menyebabkan animo masyarakat desa/kelurahan untuk mengikuti musrenbang semakin tahun semakin menurun, mengingat bahwa musrenbang hanya merupakan alat untuk melegitimasi.
Mengembalikan Peran Rakyat
Setiap awal tahun (n), proses perencanaan pembangunan telah dimulai untuk tahun berikutnya (n+1). Pemerintah kabupaten/kota saat ini tengah sibuk menyelenggarakan musrenbang desa/kelurahan. Paralel dengan itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga sedang mempersiapkan Rancangan Awal Rencana Kerja Pembangunan untuk Tahun berikutnya (2021). Oleh sebab itu, untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam Musrenbang desa/kelurahan, karena memang ini satu-satunya saluran untuk menyampaikan usulan perencanaan pembangunan, maka ada beberapa hal yang menurut penulis harus dilakukan, yaitu antara lain:
(1) Mengeluarkan Peraturan Bupati/Walikota tentang persentase program/kegiatan dan pagu dana yang wajib ditampung dalam APBD kabupaten/kota, berdasarkan proses musrenbang desa/kelurahan, sepanjang usulan kegiatan tersebut merupakan daftar kebutuhan untuk menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat.
(2) Menyinergikan RKPD kabupaten/kota dan usulan Program/Kegiatan Pokir hasil reses Anggota DPRD Kabupaten/Kota untuk dapil masing-masing kecamatan, dengan usulan yang disampaikan rakyat pada saat pelaksanaan musrenbang desa/kelurahan.
(3) Di sisi lain, peran pemerintah provinsi melalui bantuan dana desa dan DPRD Provinsi melalui Pokir untuk masing-masing DAPIL kabupaten/kota, juga harus dibahas dan disinergikan dengan usulan rakyat pada saat pelaksanaan musrenbang desa/kelurahan, yang difasilitasi oleh pemerintah kabupaten/kota.
Dengan cara tersebut, usulan rakyat yang disampaikan pada saat pelaksanaan musrenbang desa/kelurahan tentunya akan ada jaminan untuk ditampung dengan porsi yang lebih besar. Kepercayaan rakyat desa/kelurahan terhadap pemerintah daerah akan muncul kembali.***