KOTA (RIAUPOS.CO) — Beberapa pekan lalu tampak jalanan Pekanbaru dihiasi dengan adanya "Pak Ogah" yang mengatur lalu lintas (lalin). Namun demikian, adanya "Pak Ogah" malah membuat jalanan menjadi padat merayap dan memparah kemacetan. Artinya, kemacetan itu ditimbulkan adanya "Pak Ogah" yang memungut uang dari pengendara khususnya mobil.
Jika tidak memberi, "Pak Ogah" akan mengetok kaca mobil. Tindakannya yang meresahkan pengendara menjadikan aparat kepolisian turun tangan. Diberitakan sebelumnya, tujuh "Pak Ogah" pun diamankan Satlantas Polresta Pekanbaru sementara tiga lainnya diamankan Polsek Tampan.
Dalam kacamata kriminolog Syahrul Akmal, hadirnya "Pak Ogah" karena melihat jalanan yang begitu macet terhadap, akhirnya dianggap pengguna jalan membantu. "Karena untuk ketertiban pengamanan transportasi yang sebenarnya tidak boleh dilakukan dengan alasan ada di dalam peraturan lalu lintas di bawah kendali kepolisian," sebutnya.
Katanya, keberadaan "Pak Ogah" sama halnya dengan keberadaan OKP yang menjaga atau mengendalikan pungutan pasar (pedagang). Meski demikian satu sisi pemerinta tidak punya kekuatan untuk menertibkan dan satu sisi pemerintah perlu ketertiban.
"Dalam kondisi seperti ini seperti buah simalakama. Tapi ini tidak boleh menyalahkan "Pak Ogah". Sebenarnya keberadaan otomotif yang tidak terkendali yang membuat jalur macet tidak terurai. Hadirnya "Pak Ogah" pun malah semakin menambah kemacetan karena memungut uang," terangnya.
Tak hanya itu, keberadaan razia-razia di simpang-simpang maupun jalur-jalur padat. Menurutnya, setiap individu perlu waktu dan kenyamanan. Sementara otomotif belum terkendali.
"Kemudian jika saya melihat dalam aspek sosiplogisnya di satu sisi ‘Pak Ogah’ menjadi permasalahan yang tidak nyaman. Dia mengambil peran sebagai masyarakat sipil yang berdiri tanpa ada jaminan dan payung hukum. Di satu sisi negara harus mencari solusi terhadap bagaimana mengurai kemacetan itu," tegasnya.
Diamankannya oleh pihak yang berwajib seperti kepolisian itu karena adanya aduan dari masyarakat dan "Pak Ogah" melakukan tindakan terukur dengan meminta sesuai patokannya. "Keberadaan orang-orang seperti ini tidak enak dipandang terhadap mobilitas publik yang begitu ramai. Saya maunya "Pak Ogah" tidak ada. Namun, balik lagi, apa yang bisa diberikan pemerintah kepada mereka yang pengangguran dan butuh uang," ucapnya.
Sementara secara kriminologi itu berpotensi terhadap kerawanan untuk masalah sosial. Maka dari itu, tidak bisa memandang dari "Pak Ogah" saja namun harus dilihat dari otomotifnya juga.
Perihal polisi yang seharusnya mengatur lalu lintas dikatakannya, standar kepolisian internasional itu satu banding tiga ratus, sedangkan kita masih mengandalkan satu banding seribu.
"Tidak hanya bisa mengandalkan kepolisian, namun mental pengendara dan mental pengguna jalan harus diperbaiki. Semua orang butuh waktu cepat yang memiliki kepentingan berbeda dan dituntut jiwa besarnya yaitu jiwa besar tidak menggunakan kendaraan pribadi yang kedua jiwa besar terhadap negara harus menyiapkan fasilitas umum supaya tidak tua di jalan," tegasnya.(*3)