Sabtu, 23 November 2024
spot_img

BPJS Kesehatan Jamin Pengobatan Gangguan Jiwa

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Isu kesehatan jiwa menjadi trending seiring dengan pemutaran film “Joker” di Indonesia sejak Rabu (2/10). Mendadak banyak orang yang merasa ada masalah dengan kejiwaannya.

Perlu diketahui, jika merasa seperti itu, silakan segera berobat. Bagi yang sudah terdaftar di BPJS Kesehatan, keluhan tersebut sudah masuk dalam layanan manfaat.

Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fahmi Idris mengungkapkan, manfaat itu diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 52 Tahun 2016. Termasuk tarif di dalamnya.

Hal tersebut diamini Kepala Humas BPJS Kesehatan Muhammad Iqbal Anas Ma’ruf. ”Pelayanan kesehatan terkait gangguan jiwa masuk dalam coding tarif Ina-Cbgs (Indonesian Case Base Groups, Red), yang merupakan tarif bagi peserta JKN-KIS yang menjadi pasien di rumah sakit,” ujarnya kemarin (8/10).

Dalam kebijakan itu dijelaskan jenis pelayanan kesehatan yang di-cover. Di antaranya skizofrenia, depresi mayor, gangguan personalitas dan kontrol impuls, gangguan bipolar, fobia, ansietas dan neurosis lain, sampai gangguan organik lainnya. Termasuk keterbelakangan mental, baik kategori ringan, sedang, maupun berat.

Iqbal mengungkapkan, manfaat tersebut sudah banyak digunakan di seluruh Indonesia. Buktinya, dari pembiayaan tahun lalu, anggaran pelayanan kesehatan gangguan mental mencapai Rp1,253 triliun. ”Pasien yang ada di rumah sakit jiwa itu mayoritas menggunakan kartu JKN-KIS,” katanya.

Merujuk Riskesdas 2018, prevalensi rumah tangga dengan anggota rumah tangga gangguan jiwa skizofrenia atau psikosis sebesar 0,67 persen atau sekitar 282.654 rumah tangga. Sedangkan prevalensi gangguan mental emosional (GME) sebesar 9,8 persen dari total penduduk berusia di atas 15 tahun. Prevalensi itu menunjukkan peningkatan dari Riskesdas 2013 (hanya 6 persen). Tingginya angka tersebut mengakibatkan tingginya beban kesehatan dan rendahnya kualitas serta produktivitas SDM.

Baca Juga:  No Way Home Pecahkan Rekor

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Anung Sugihantono menuturkan, masalah gangguan jiwa harus ditangani sejak dini. Gejalanya harus dipahami sehingga tak memicu adanya upaya bunuh diri. ”Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, perilaku bunuh diri karena depresi telah mencapai angka kritis. Secara global, WHO menyebutkan, lebih dari 800 ribu orang meninggal setiap tahunnya karena bunuh diri,” paparnya.

Anung mengatakan, masyarakat bisa memanfaatkan layanan di puskesmas untuk pengobatan pertama kesehatan jiwa. Jika tidak dapat ditangani di tingkat pertama, baru pasien dirujuk ke rumah sakit.

Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengomentari rencana pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Dia menegaskan bahwa masyarakat miskin masih masuk bagian penerima bantuan iuran (PBI). Kalaupun ada kenaikan, iurannya tidak dibayar sendiri. Tapi ditanggung pemerintah.

Pria yang akrab disapa JK tersebut menjelaskan, selama ini yang menunggak pembayaran iuran BPJS Kesehatan itu bukan kategori orang miskin. Sebab, iuran mereka yang masuk kategori tersebut (orang miskin) dibayar pemerintah. ”Itu dulu dipegang dulu. (Sebanyak, Red) 120 juta orang dibayar negara. Kira-kira Rp 20 triliun dibayar pemerintah. Jadi, tidak perlu khawatir,” katanya di kantornya kemarin.

Pemerintah sudah mengumumkan rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diterapkan per 1 Januari 2020. Perinciannya adalah iuran kelompok PBI pusat dan daerah naik menjadi Rp 42.000 dari sebelumnya Rp 23.000 per bulan. Kemudian, iuran peserta umum kelas I naik menjadi Rp160.000 dari semula Rp80.000 per bulan. Lalu, kelas II naik menjadi Rp110.000 dari Rp51.000 per bulan. Terakhir, kelas III naik menjadi Rp42.000 dari Rp25.500 per bulan.

Baca Juga:  Perhelatan Festival Equator di Lokomotif Peninggalan Jepang

JK menjelaskan, setiap tahun BPJS Kesehatan selalu defisit. ”Artinya, pendapatan lebih kurang daripada pengeluaran,” ungkapnya. Kondisi itu dipicu beberapa hal. Misalnya tarif iuran yang rendah, aspek pelayanan, dan juga sistemnya.

Politikus senior Partai Golkar tersebut mengatakan, kenaikan tarif BPJS Kesehatan untuk kelas III sekitar Rp 20 ribu. ”Seharga satu bungkus rokok,” ucapnya. Jadi, dia mengingatkan, kenaikan itu jangan dianggap menyusahkan rakyat. Apalagi, untuk para pekerja, iuran BPJS Kesehatan juga ditanggung bersama perusahaan pemberi kerja. Dia juga menyinggung konsumsi pulsa untuk keperluan komunikasi dan internet yang jauh lebih besar.

Di sisi lain, rencana pemberian sanksi bagi peserta BPJS Kesehatan yang tidak membayar tagihan iuran terus digodok. Regulasi yang diatur dalam instruksi presiden (inpres) itu ditargetkan bisa diterbitkan akhir tahun ini. ”Tahun ini insya Allah,” kata Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta kemarin.

Mardiasmo juga menegaskan, kebijakan tersebut tidak akan merugikan masyarakat kalangan bawah. Sebab, secara prinsip, iuran bagi masyarakat miskin sudah dibiayai negara melalui skema PBI. Nah, untuk menghindari kekeliruan, pihaknya akan merapikan lagi data PBI.
”Kalau ada masyarakat yang miskin, nggak punya apa-apa, tapi nggak punya kartu, tidak punya kartu BPJS, ini negara harus hadir di sana,” tuturnya.

Editor : Deslina
Sumber: Jawapos.com

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Isu kesehatan jiwa menjadi trending seiring dengan pemutaran film “Joker” di Indonesia sejak Rabu (2/10). Mendadak banyak orang yang merasa ada masalah dengan kejiwaannya.

Perlu diketahui, jika merasa seperti itu, silakan segera berobat. Bagi yang sudah terdaftar di BPJS Kesehatan, keluhan tersebut sudah masuk dalam layanan manfaat.

Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fahmi Idris mengungkapkan, manfaat itu diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 52 Tahun 2016. Termasuk tarif di dalamnya.

- Advertisement -

Hal tersebut diamini Kepala Humas BPJS Kesehatan Muhammad Iqbal Anas Ma’ruf. ”Pelayanan kesehatan terkait gangguan jiwa masuk dalam coding tarif Ina-Cbgs (Indonesian Case Base Groups, Red), yang merupakan tarif bagi peserta JKN-KIS yang menjadi pasien di rumah sakit,” ujarnya kemarin (8/10).

Dalam kebijakan itu dijelaskan jenis pelayanan kesehatan yang di-cover. Di antaranya skizofrenia, depresi mayor, gangguan personalitas dan kontrol impuls, gangguan bipolar, fobia, ansietas dan neurosis lain, sampai gangguan organik lainnya. Termasuk keterbelakangan mental, baik kategori ringan, sedang, maupun berat.

- Advertisement -

Iqbal mengungkapkan, manfaat tersebut sudah banyak digunakan di seluruh Indonesia. Buktinya, dari pembiayaan tahun lalu, anggaran pelayanan kesehatan gangguan mental mencapai Rp1,253 triliun. ”Pasien yang ada di rumah sakit jiwa itu mayoritas menggunakan kartu JKN-KIS,” katanya.

Merujuk Riskesdas 2018, prevalensi rumah tangga dengan anggota rumah tangga gangguan jiwa skizofrenia atau psikosis sebesar 0,67 persen atau sekitar 282.654 rumah tangga. Sedangkan prevalensi gangguan mental emosional (GME) sebesar 9,8 persen dari total penduduk berusia di atas 15 tahun. Prevalensi itu menunjukkan peningkatan dari Riskesdas 2013 (hanya 6 persen). Tingginya angka tersebut mengakibatkan tingginya beban kesehatan dan rendahnya kualitas serta produktivitas SDM.

Baca Juga:  Yasonna Ungkap Alasan Bebaskan Puluhan Ribu Napi

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Anung Sugihantono menuturkan, masalah gangguan jiwa harus ditangani sejak dini. Gejalanya harus dipahami sehingga tak memicu adanya upaya bunuh diri. ”Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, perilaku bunuh diri karena depresi telah mencapai angka kritis. Secara global, WHO menyebutkan, lebih dari 800 ribu orang meninggal setiap tahunnya karena bunuh diri,” paparnya.

Anung mengatakan, masyarakat bisa memanfaatkan layanan di puskesmas untuk pengobatan pertama kesehatan jiwa. Jika tidak dapat ditangani di tingkat pertama, baru pasien dirujuk ke rumah sakit.

Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengomentari rencana pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Dia menegaskan bahwa masyarakat miskin masih masuk bagian penerima bantuan iuran (PBI). Kalaupun ada kenaikan, iurannya tidak dibayar sendiri. Tapi ditanggung pemerintah.

Pria yang akrab disapa JK tersebut menjelaskan, selama ini yang menunggak pembayaran iuran BPJS Kesehatan itu bukan kategori orang miskin. Sebab, iuran mereka yang masuk kategori tersebut (orang miskin) dibayar pemerintah. ”Itu dulu dipegang dulu. (Sebanyak, Red) 120 juta orang dibayar negara. Kira-kira Rp 20 triliun dibayar pemerintah. Jadi, tidak perlu khawatir,” katanya di kantornya kemarin.

Pemerintah sudah mengumumkan rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diterapkan per 1 Januari 2020. Perinciannya adalah iuran kelompok PBI pusat dan daerah naik menjadi Rp 42.000 dari sebelumnya Rp 23.000 per bulan. Kemudian, iuran peserta umum kelas I naik menjadi Rp160.000 dari semula Rp80.000 per bulan. Lalu, kelas II naik menjadi Rp110.000 dari Rp51.000 per bulan. Terakhir, kelas III naik menjadi Rp42.000 dari Rp25.500 per bulan.

Baca Juga:  KPAI: Tidak Mungkin PJJ Sampai Lulus

JK menjelaskan, setiap tahun BPJS Kesehatan selalu defisit. ”Artinya, pendapatan lebih kurang daripada pengeluaran,” ungkapnya. Kondisi itu dipicu beberapa hal. Misalnya tarif iuran yang rendah, aspek pelayanan, dan juga sistemnya.

Politikus senior Partai Golkar tersebut mengatakan, kenaikan tarif BPJS Kesehatan untuk kelas III sekitar Rp 20 ribu. ”Seharga satu bungkus rokok,” ucapnya. Jadi, dia mengingatkan, kenaikan itu jangan dianggap menyusahkan rakyat. Apalagi, untuk para pekerja, iuran BPJS Kesehatan juga ditanggung bersama perusahaan pemberi kerja. Dia juga menyinggung konsumsi pulsa untuk keperluan komunikasi dan internet yang jauh lebih besar.

Di sisi lain, rencana pemberian sanksi bagi peserta BPJS Kesehatan yang tidak membayar tagihan iuran terus digodok. Regulasi yang diatur dalam instruksi presiden (inpres) itu ditargetkan bisa diterbitkan akhir tahun ini. ”Tahun ini insya Allah,” kata Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta kemarin.

Mardiasmo juga menegaskan, kebijakan tersebut tidak akan merugikan masyarakat kalangan bawah. Sebab, secara prinsip, iuran bagi masyarakat miskin sudah dibiayai negara melalui skema PBI. Nah, untuk menghindari kekeliruan, pihaknya akan merapikan lagi data PBI.
”Kalau ada masyarakat yang miskin, nggak punya apa-apa, tapi nggak punya kartu, tidak punya kartu BPJS, ini negara harus hadir di sana,” tuturnya.

Editor : Deslina
Sumber: Jawapos.com

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari