Minggu, 7 Juli 2024

Tradisi Proses Penobatan Raja Gunung Sahilan

Seiring kemerdekaan Indonesia, Kerajaan Gunung Sahilan mulai hilang gaungnya sejak 1941. Kerajaan yang muncul di awal abad 16 ini, kini dimunculkan kembali dengan menobatkan pewarisnya. Berbagai proses penobatan berlangsung. Diawali penyucian benda-benda pusaka kerajaan hingga Antau Baguluang atau Subayang Baguluang Hiligh.

 

- Advertisement -

(RIAUPOS.CO) – SEKILAS, hanya rumah biasa. Bangunan kayu, panggung dengan dua pintu besar di ruang tengahnya itu, ternyata bukan rumah biasa, melainkan istana kerajaan Gunung Sahilan. Letaknya di Desa Gunung Sahilan, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Di sinilah 11 raja dinobatkan. Kerajaan yang berdiri di awal abad 16 ini merupakan salah satu kerajaan tertua di Riau selain kerajaan Indragiri (1658-1833), Kerajaan Pelalawan (1530-1879), Kerajaan Siak Sri Indrapura (1723-1858) dan Kerajaan Riau Lingga (1824-1913).  

Wilayah kekuasaan Raja Gunung Sahilan terbagi menjadi dua bagian; Rantau Daulat dan Rantau Andiko. Rantau Daulat adalah wilayah kekuasaan  yang berada di pusat kerajaan seperti Mentulik, Sijawijawi, Simalinyang, Sungai Pagar, Lubuk Cimpur dan wilayah sekitarnya. Sedangkan kawasan Rantau Andiko adalah kawasan yang berada di sekitar kedudukan empat khalifah, yakni Kuntu, Ujung Bukit (Tanjung Belit), Batu Sanggan dan Ludai. Wilayah ini merupakan wilayah lama yang hingga saat ini masih tetap ada meski telah mengalami perubahan dan pemekaran.

 

- Advertisement -

Raja tidak akan pernah ada, tidak akan pernah ditabalkan, tidak akan pernah bertahta tanpa persetujuan, rapat, musyawah dan kata mufakat empat khalifah. Begitu juga penentuan pewaris syahnya. Khalifah yang menentukan proses penobatan pewaris kerajaan dan menentukan siapa yang akan dinobatkan, tentunya tanpa mengubah ketentuan hakiki dalam kerajaan yakni tetap memakai jalur sedarah atau keturunan.

Sekitar tiga tahun lalu, seperti kembali ke masa lalu, seluruh ninik mamak Rantau Kampar Kiri berkumpul di Desa Kuntu Darussalam. Mereka bermufakat membicarakan proses, pantang larang, apa yang patut dan tidak patut dibuat dalam penobatan pewaris kerajaan yang akan mereka lakukan ketika itu. ‘’Setelah 87 tahun, sebelum tiga tahun lalu, kami tidak pernah melakukan ini, tepatnya sejak 1930, atau jauh sebelum penobatan raja ke-11, T Gazaly Putra Mahkota yang dinobatkan tahun 1941,’’ ujar khalifah Kuntu, Buyung Erizal, bergelar Datok Bendaro.

Baca Juga:  Penerima Bantuan Sembako dan Subsidi Migor Harus Sudah Divaksinasi

Penobatan pewaris tersebut  bukanlah penobatan biasa. Perlu waktu, perlu proses, pesta besar, harus ada kata mufakat dari empat khalifah, harus dikabarkan kepada khalayak ramai, harus diketahui seluruh masyarakat Rantau Kampar Kiri layaknya penobatan seorang raja.  Proses penobatan pewaris kerajaan dengan segala syarat dan ketentuan adalah proses adat yang harus dijalankan. Karena itulah rapat awal penobatan tersebut dilaksanakan di Desa Kuntu sebagai wilayah kekholifahan adat yang dipimpin Kholifah Datuk Bendaro. Wilayah yang termasuk dalam kekholifahan Kuntu Darussalam yakni Padang Sawah dan Kuntu sendiri, dipimpin kholifah dan 16 datok. Mereka semua hadir dalam rapat tersebut.

Begitu juga dengan Khalifah Batu Sanggan bergelar Datuk Godang yang bertanggungjawab terhadap persoalan hukum dan perundang-undangan di wilayah Rantau Kampar Kiri. Batu songgan adalah negeri enam kotak atau dijuluki Tanah Ompek Ibu. Desa yang masuk dalam wilayah ini yakni Desa Pangkalan Serai, Tarusan, Aur Kuning, Gajah Batalut, dan Miring (Tanjung Beringin). Saat ini, wilayah kekholifahan telah berkembang lebih banyak. Ada 28 datuk dan satu kholifah yang berkumpul di wilayah Batu Sanggan dan sekitarnya. Mereka juga datang hadir dalam proses tersebut waktu itu.

Kekhalifahan Koto Ludai merupakan kekholifahan ketiga yang dipimpin Datuk bergelar Kholifah Datuk Marajo Basa. Inilah kholifah yang bertanggungjawab dengan berbagai persoalan keamanan wilayah Rantau Kampar Kiri. Bersama datuk di wilayahnya yakni, Pangkalan Kapas, Koto Lamo dan Ludai (desa lama) dan kini sudah berkembang banyak, Datuk Marajo Basa juga hadir. Begitu juga dengan Kholifah Ujung Bukit yang kini dikenal dengan Desa Tanjung Belit dipimpin Datuk bergelar Datuk Bendaharo, ia juga hadir dengan seluruh datuk dan ninik mamak di wilayah ini. Datuk Bendahara adalah orang yang dipercaya dan diberi tanggungjawab terhadap hal-hal yang berkaitan dengan agama.

Baca Juga:  Seorang Warga Desa Lipatkain Ditangkap karena Simpan Sabu dalam Rokok

Penobatan pewaris kerajaan  Rantau Kampar Kiri disambut gembira seluruh masyarakat Rantau Kampar Kiri. Pada proses Antau Baguluang atau yang disebut dengan Subayang Baguluang Hiligh, seluruh datuk, ninik, mamak, dubalang kekholifahan dan masyarakat bersama-sama menegakkan tongu (bendera) lambang kebesaran kholifah dan perannya dalam penobatan pewaris raja tersebut. Di atas piau (perahu mesin) berhias dengan warna sesuai amanah masing-masing khalifah, mereka menyusuri Sungai Subayang, melewati muara Sungai Singingi,  muara Sungai Setingkai, muara Sungai Taolang, muara Sungai Paku menuju menuju Sungai Kampar Kiri dan sampailah ke tepian kawasan Kerajaan Rantau  Kampar Kiri Gunung Sahilan. Persis di persimpangan dua sungai, yakni Sungai Singingi dan Subayang, rombongan disambut Datuk Singa Lipatkain yang turut serta dalam perjalanan tersebut.

Datuk Besar Gunung Sahilan bersama seluruh datuk, ninik mamak, dubalang kerajaan, menyambut ketibaan piau kehalifahan. Diawali dengan  penyambutan di tepi sungai, silat hingga akhirnya berarak menuju istana Kerajaan Rantau Kampar Kiri Gunung Sahilan. Di sini, mereka beristirahat, saling berbagi kisah sejarah dan menyaksikan hiburan asli Rantau Kampar Kiri hingga malam.(ose)

 

Laporan KUNNI MASROHANTI, Kampar

 

Seiring kemerdekaan Indonesia, Kerajaan Gunung Sahilan mulai hilang gaungnya sejak 1941. Kerajaan yang muncul di awal abad 16 ini, kini dimunculkan kembali dengan menobatkan pewarisnya. Berbagai proses penobatan berlangsung. Diawali penyucian benda-benda pusaka kerajaan hingga Antau Baguluang atau Subayang Baguluang Hiligh.

 

(RIAUPOS.CO) – SEKILAS, hanya rumah biasa. Bangunan kayu, panggung dengan dua pintu besar di ruang tengahnya itu, ternyata bukan rumah biasa, melainkan istana kerajaan Gunung Sahilan. Letaknya di Desa Gunung Sahilan, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Di sinilah 11 raja dinobatkan. Kerajaan yang berdiri di awal abad 16 ini merupakan salah satu kerajaan tertua di Riau selain kerajaan Indragiri (1658-1833), Kerajaan Pelalawan (1530-1879), Kerajaan Siak Sri Indrapura (1723-1858) dan Kerajaan Riau Lingga (1824-1913).  

Wilayah kekuasaan Raja Gunung Sahilan terbagi menjadi dua bagian; Rantau Daulat dan Rantau Andiko. Rantau Daulat adalah wilayah kekuasaan  yang berada di pusat kerajaan seperti Mentulik, Sijawijawi, Simalinyang, Sungai Pagar, Lubuk Cimpur dan wilayah sekitarnya. Sedangkan kawasan Rantau Andiko adalah kawasan yang berada di sekitar kedudukan empat khalifah, yakni Kuntu, Ujung Bukit (Tanjung Belit), Batu Sanggan dan Ludai. Wilayah ini merupakan wilayah lama yang hingga saat ini masih tetap ada meski telah mengalami perubahan dan pemekaran.

 

Raja tidak akan pernah ada, tidak akan pernah ditabalkan, tidak akan pernah bertahta tanpa persetujuan, rapat, musyawah dan kata mufakat empat khalifah. Begitu juga penentuan pewaris syahnya. Khalifah yang menentukan proses penobatan pewaris kerajaan dan menentukan siapa yang akan dinobatkan, tentunya tanpa mengubah ketentuan hakiki dalam kerajaan yakni tetap memakai jalur sedarah atau keturunan.

Sekitar tiga tahun lalu, seperti kembali ke masa lalu, seluruh ninik mamak Rantau Kampar Kiri berkumpul di Desa Kuntu Darussalam. Mereka bermufakat membicarakan proses, pantang larang, apa yang patut dan tidak patut dibuat dalam penobatan pewaris kerajaan yang akan mereka lakukan ketika itu. ‘’Setelah 87 tahun, sebelum tiga tahun lalu, kami tidak pernah melakukan ini, tepatnya sejak 1930, atau jauh sebelum penobatan raja ke-11, T Gazaly Putra Mahkota yang dinobatkan tahun 1941,’’ ujar khalifah Kuntu, Buyung Erizal, bergelar Datok Bendaro.

Baca Juga:  Catur Doakan Datuk Bandaro Alam Kapolda Riau Berpangkat hingga Bintang 4

Penobatan pewaris tersebut  bukanlah penobatan biasa. Perlu waktu, perlu proses, pesta besar, harus ada kata mufakat dari empat khalifah, harus dikabarkan kepada khalayak ramai, harus diketahui seluruh masyarakat Rantau Kampar Kiri layaknya penobatan seorang raja.  Proses penobatan pewaris kerajaan dengan segala syarat dan ketentuan adalah proses adat yang harus dijalankan. Karena itulah rapat awal penobatan tersebut dilaksanakan di Desa Kuntu sebagai wilayah kekholifahan adat yang dipimpin Kholifah Datuk Bendaro. Wilayah yang termasuk dalam kekholifahan Kuntu Darussalam yakni Padang Sawah dan Kuntu sendiri, dipimpin kholifah dan 16 datok. Mereka semua hadir dalam rapat tersebut.

Begitu juga dengan Khalifah Batu Sanggan bergelar Datuk Godang yang bertanggungjawab terhadap persoalan hukum dan perundang-undangan di wilayah Rantau Kampar Kiri. Batu songgan adalah negeri enam kotak atau dijuluki Tanah Ompek Ibu. Desa yang masuk dalam wilayah ini yakni Desa Pangkalan Serai, Tarusan, Aur Kuning, Gajah Batalut, dan Miring (Tanjung Beringin). Saat ini, wilayah kekholifahan telah berkembang lebih banyak. Ada 28 datuk dan satu kholifah yang berkumpul di wilayah Batu Sanggan dan sekitarnya. Mereka juga datang hadir dalam proses tersebut waktu itu.

Kekhalifahan Koto Ludai merupakan kekholifahan ketiga yang dipimpin Datuk bergelar Kholifah Datuk Marajo Basa. Inilah kholifah yang bertanggungjawab dengan berbagai persoalan keamanan wilayah Rantau Kampar Kiri. Bersama datuk di wilayahnya yakni, Pangkalan Kapas, Koto Lamo dan Ludai (desa lama) dan kini sudah berkembang banyak, Datuk Marajo Basa juga hadir. Begitu juga dengan Kholifah Ujung Bukit yang kini dikenal dengan Desa Tanjung Belit dipimpin Datuk bergelar Datuk Bendaharo, ia juga hadir dengan seluruh datuk dan ninik mamak di wilayah ini. Datuk Bendahara adalah orang yang dipercaya dan diberi tanggungjawab terhadap hal-hal yang berkaitan dengan agama.

Baca Juga:  Bupati Kampar Serahkan Bantuan ke Panti Asuhan di Kuok dan Tapung

Penobatan pewaris kerajaan  Rantau Kampar Kiri disambut gembira seluruh masyarakat Rantau Kampar Kiri. Pada proses Antau Baguluang atau yang disebut dengan Subayang Baguluang Hiligh, seluruh datuk, ninik, mamak, dubalang kekholifahan dan masyarakat bersama-sama menegakkan tongu (bendera) lambang kebesaran kholifah dan perannya dalam penobatan pewaris raja tersebut. Di atas piau (perahu mesin) berhias dengan warna sesuai amanah masing-masing khalifah, mereka menyusuri Sungai Subayang, melewati muara Sungai Singingi,  muara Sungai Setingkai, muara Sungai Taolang, muara Sungai Paku menuju menuju Sungai Kampar Kiri dan sampailah ke tepian kawasan Kerajaan Rantau  Kampar Kiri Gunung Sahilan. Persis di persimpangan dua sungai, yakni Sungai Singingi dan Subayang, rombongan disambut Datuk Singa Lipatkain yang turut serta dalam perjalanan tersebut.

Datuk Besar Gunung Sahilan bersama seluruh datuk, ninik mamak, dubalang kerajaan, menyambut ketibaan piau kehalifahan. Diawali dengan  penyambutan di tepi sungai, silat hingga akhirnya berarak menuju istana Kerajaan Rantau Kampar Kiri Gunung Sahilan. Di sini, mereka beristirahat, saling berbagi kisah sejarah dan menyaksikan hiburan asli Rantau Kampar Kiri hingga malam.(ose)

 

Laporan KUNNI MASROHANTI, Kampar

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari