Ajak Warga Terapkan Prokes dan Menanam Hortikultura

DURI (RIAUPOS.CO) — Desa Kesumbo Ampai yang berjarak kurang lebih 30 kilometer dari pusat Kota Duri. Jumlah penduduk Desa Kesumbo Ampai yang tercatat 1.300 kepala keluarga (KK) dengan luas wilayah 12.000 kilometer persegi. Di desa ini terdapat hutan adat Sakai yang secara turun temurun dijaga kelestariannya.

"Masyarakat yang tinggal di kawasan ini 95 persen suku asli Sakai. Sisanya suku-suku lain hasil perkawinan anak cucu Sakai," ujar Ketua Adat Sakai Muhammad Nasir kepada Riau Pos, kemarin.

- Advertisement -

Karena yang tinggal di kawasan itu suku Sakai tentu saja apa yang disampaikan tetua adat dilakukan apalagi berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang seluruh lapisan masyarakat wajib mematuhinya.

"Awalnya sangat berat mengajak masyarakat untuk menjalani protokol kesehatan dalam menghadapi wabah virus Covid-19. Bahkan tidak sedikit yang tidak percaya akan adanya wabah ini," katanya.

- Advertisement -

Namun sosialisasi dan edukasi yang diberikan secara massif membuat masyarakat Sakai menjadi taat dan lebih mengedepankan protokol kesehatan.

"Yang sulit bukan hanya mengajari warga untuk tetap melaksanakan 3M (mencuci tangan pakai sabun, menggunakan masker dan menjaga jarak) tetapi juga memprotek agar wabah tidak sampai menyebar di kawasan," sebutnya.

Demikian juga dengan Kepala Desa Kesumbo Ampai Rudi Zulhevis yang tidak bosan-bosannya mengajak warganya untuk mengedepankan 3M.

"Kalau tidak kita yang memulainya tentu warga juga tidak mau menerapkannya," ujar Rudi.

Karena itu Rudi bersama tokoh masyarakat Sakai dan aparat desa bersama-sama mempersiapkan tempat mencuci tangan di fasilitas umum dan pelayanan publik.

"Bahkan di kawasan hutan adat Sakai juga kita siapkan fasilitas itu. Dan orang luar yang ingin masuk ke kawasan wajib menggunakan masker," katanya.

Desa Kesumbo Ampai memiliki hutan adat Sakai lebih kurang seluas 200 hektare. Untuk bisa mencapai lokasi Desa Kesumbo Ampai ini perjalanan dengan kendaraan bermotor dari ibu kota provinsi yakni Kota Pekanbaru lebih kurang 3,5 jam (lewat jalan lintas utara) dan 1 jam (lewat tol). Sementara dari Kota Duri sebagai ibukota Kecamatan Mandau bisa ditempuh lebih kurang 35 menit. Dari pinggir jalan lintas Duri-Dumai, hutan adat Sakai yang berada di Desa Kesumbo Ampai ini berjarak sekitar 3 kilometer.

Demografi hutan ini terdiri dari lembah-lembah dan dataran rendah yang tidak sejajar sehingga jika dilihat dari pinggir jalan hutan ini seakan-akan lebat di pinggir namun kosong di dalam. Karena cahaya matahari terlihat jelas menembus sela-sela pepohonan. Hal ini dikarenakan kondisi demografi hutan yang berlembah-lembah. Sementara kalau ditelusuri hutan ini sangat padat ditumbuhi berbagai pepohonan alami.

Dalam melestarikan hutan dan sungai, masyarakat Sakai menerapkan sanksi yang diberikan kepada anak-kemenakan Sakai yang melakukan penebangan pohon. Di mana dalam membuka ladang dulu ada istilah darah ganti darah, nyawa diganti nyawa. Artinya jika menebang pohon ada tunggulnya maka harus diganti dengan pohon lain sehingga pohon tetap ada. Pohon ini berfungsi sebagai pengganti dan pelindung bagi tanaman lain.

Lahan-lahan yang sudah tidak ada hutannya ditanam kembali karena seluruh anak kemenakan warga Sakai sudah diminta melakukan pembibitan tanaman pohon. Ada pohon ditebang, maka di samping pohon itu ditanam pohon baru, fungsinya untuk melindungi tanaman yang ada di sekitarnya seperti kacang panjang, dan lain sebagainya.

Menurut Kades Kesumbo Ampai Rudi Zulhevis, sistem teknologi dan peralatan yang digunakan masyarakat suku Sakai dalam kesehariannya dapat terlihat pada aktivitas berburu dan berladangnya, dalam hal berburu. Peralatan yang digunakan oleh suku Sakai adalah parang, panah dan juga memakai jerat sentak serta konjouw. Konjouw adalah tombak yang terbuat dari besi yang dipanaskan, konjouw itu dibekali oleh mantra-mantra hewan. Tidak hanya berburu, orang Sakai sangat terkenal dengan mencari ikan dengan menggunakan perahu serta kail tradisional hasil buatan mereka sendiri dan suku Sakai juga senang menangkap udang dan kepiting dengan menggunakan perangkap yang berbentuk kerucut yang terbuat dari anyaman bambu atau rotan.

Kebudayaan Suku Sakai yang bercorak agraris juga ditandai dengan alat-alat yang berfungsi sebagai alat pertanian seperti gegalung galo. Alat yang terbuat dari bambu dan batang pepohonan ini berfungsi sebagai alat penjepit ubi manggalo untuk diambil sari patinya. Ubi menggalo merupakan makanan pokok warga Sakai sebagai pengganti nasi.

Tidak hanya diajari melaksanakan protokol kesehatan yang ketat, warga juga diajari bertanam hortikultura.

Menjadikan masyarakat Sakai berkebun hortikultura bukanlah perkara gampang. Perlu pelatihan berulang yang dilakukan. Apalagi sebelumnya beberapa warga Sakai menanam padi di lahan yang cukup luas, namun gagal panen akibat hama. Warga Sakai pun enggan berkebun apalagi menanam padi. Kebiasaan lama kembali yakni berladang berpindah. Selain bercocok tanam holtikultura, warga Sakai juga beternak sapi.

"Sangat sulit, apalagi warga kami masih rendah pendidikannya sehingga pemanfaatan lahan untuk hortikultura ini sangat luas, namun tidak sampai mengurangi hutan adat," ujar sesepuh adat Sakai M Yatim.

Menurut M Yatim, ada sanksi yang diberikan kepada anak-kemenakan Sakai yang melakukan penebangan pohon. Di mana dalam membuka ladang dulu ada istilah darah ganti darah, nyawa diganti nyawa. Artinya jika menebang pohon ada tunggulnya maka harus diganti dengan pohon lain sehingga pohon tetap ada. Pohon ini berfungsi sebagai pengganti dan pelindung bagi tanaman lain.

Dalam tradisi masyarakat Sakai terkandung nilai-nilai, yaitu: Pertama, nilai prokreasi. Artinya, lembaga perkawinan merupakan sarana yang paling tepat dan sah untuk melakukan aktivitas prokreasi bagi lahirnya generasi baru. Kedua, nilai kepatuhan. Artinya, untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga, maka syarat utama yang harus dipenuhi keduanya adalah kemampuan untuk saling mengenal dan memahami satu dengan yang lainnya.

Ketiga, nilai tanggung jawab. Artinya, sepasang kekasih yang menjalin hubungan serius dan mendalam dituntut mampu mengendalikan dirinya untuk tidak melakukan hubungan seks di luar nikah agar martabat dirinya dan keluarganya tetap terjaga. Dan setelah sah menjadi suami-istri juga memerankan tanggung jawab masing-masing: suami bertanggung jawab untuk menafkahi keluarga, sementara istri bertanggung jawab atas pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sehari-hari.

"Demikian juga dengan berladang ini, banyak aturan yang tidak boleh dilanggar. Walaupun sulit, tidak ada kata terlambat. Toh apa yang dilakukan hari ini akan dinikmati anak-cucu kami," katanya.

Dikatakan Yatim, kearifan lokal Sakai setempat diharapkan mampu mempertahankan secuil kawasan hutan yang masih tersisa itu. Dalam tradisi Sakai yang hidup bersebati dengan hutan, katanya, berlaku ketentuan adat bahwa setiap menebang satu batang pohon harus menanam satu bibit pohon baru di sampingnya.

Intinya adalah mereka anak-anak negeri yang hidup di sekitar sungai dan mencari penghidupan dari hasil kekayaan yang ada di sungai berupa ikan.

"Masyarakat Suku Sakai memiliki banyak bentuk mata pencaharian, hal ini dikarenakan sistem ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat suku Sakai dipengaruhi kondisi daerah yang mereka tempati atau yang mereka huni," ujar Camat Bathin Solapan Wahyuddin.

Oleh karena itu masyarakat suku Sakai mempunyai banyak bentuk mata pencarian demi menghidupi keluarganya.

Di hutan adat Sakai yang berada di Desa Kesumbo Ampai ini masih banyak binatang buas berkeliaran seperti harimau, beruang, gajah tiap tiga bulan sekali masuk. Yang paling ditakuti adalah harimau dan gajah.

Sementara sungai yang berada di areal hutan ulayat ini dimanfaatkan masyarakat Sakai untuk pemandian dan, sumber air minum. Masyarakat Sakai juga punya tradisi minum air hutan pakai labu. "Saya ingatnya begini, masalah vaksinasi, masyarakat Sakai vaksinasinya sudah berlebih-lebihan karena air di sungai itu ada taik (kotoran) badak, taik gajah, taik babi hutan dan segala macam taik binatang termasuk ada racunnya," terang Yatim. Jadi obat malaria itu sudah tersedia melalui air sungai. Makanya masyarakat Sakai sangat jarang sakit dan berobat ke dokter karena masyarakat sakai beranggapan obat-obat hasil racikan pabrik sudah tercampur zat kimia dan tidak alami lagi.(hen)

Pesan Redaksi:

Mari bersama-sama melawan Covid-19. Riaupos.co mengajak seluruh pembaca ikut mengampanyekan gerakan 3M Lawan Covid-19 dengan menerapkan protokol kesehatan dalam aktivitas sehari-hari. Ingat pesan Ibu, selalu Memakai masker, Mencuci tangan dan Menjaga jarak serta hindari kerumunan.

#satgascovid19
#ingatpesanibu
#ingatpesanibupakaimasker
#ingatpesanibujagajarak
#ingatpesanibucucitangan
#pakaimasker
#jagajarak
#jagajarakhindarikerumunan
#cucitangan

DURI (RIAUPOS.CO) — Desa Kesumbo Ampai yang berjarak kurang lebih 30 kilometer dari pusat Kota Duri. Jumlah penduduk Desa Kesumbo Ampai yang tercatat 1.300 kepala keluarga (KK) dengan luas wilayah 12.000 kilometer persegi. Di desa ini terdapat hutan adat Sakai yang secara turun temurun dijaga kelestariannya.

"Masyarakat yang tinggal di kawasan ini 95 persen suku asli Sakai. Sisanya suku-suku lain hasil perkawinan anak cucu Sakai," ujar Ketua Adat Sakai Muhammad Nasir kepada Riau Pos, kemarin.

Karena yang tinggal di kawasan itu suku Sakai tentu saja apa yang disampaikan tetua adat dilakukan apalagi berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang seluruh lapisan masyarakat wajib mematuhinya.

"Awalnya sangat berat mengajak masyarakat untuk menjalani protokol kesehatan dalam menghadapi wabah virus Covid-19. Bahkan tidak sedikit yang tidak percaya akan adanya wabah ini," katanya.

Namun sosialisasi dan edukasi yang diberikan secara massif membuat masyarakat Sakai menjadi taat dan lebih mengedepankan protokol kesehatan.

"Yang sulit bukan hanya mengajari warga untuk tetap melaksanakan 3M (mencuci tangan pakai sabun, menggunakan masker dan menjaga jarak) tetapi juga memprotek agar wabah tidak sampai menyebar di kawasan," sebutnya.

Demikian juga dengan Kepala Desa Kesumbo Ampai Rudi Zulhevis yang tidak bosan-bosannya mengajak warganya untuk mengedepankan 3M.

"Kalau tidak kita yang memulainya tentu warga juga tidak mau menerapkannya," ujar Rudi.

Karena itu Rudi bersama tokoh masyarakat Sakai dan aparat desa bersama-sama mempersiapkan tempat mencuci tangan di fasilitas umum dan pelayanan publik.

"Bahkan di kawasan hutan adat Sakai juga kita siapkan fasilitas itu. Dan orang luar yang ingin masuk ke kawasan wajib menggunakan masker," katanya.

Desa Kesumbo Ampai memiliki hutan adat Sakai lebih kurang seluas 200 hektare. Untuk bisa mencapai lokasi Desa Kesumbo Ampai ini perjalanan dengan kendaraan bermotor dari ibu kota provinsi yakni Kota Pekanbaru lebih kurang 3,5 jam (lewat jalan lintas utara) dan 1 jam (lewat tol). Sementara dari Kota Duri sebagai ibukota Kecamatan Mandau bisa ditempuh lebih kurang 35 menit. Dari pinggir jalan lintas Duri-Dumai, hutan adat Sakai yang berada di Desa Kesumbo Ampai ini berjarak sekitar 3 kilometer.

Demografi hutan ini terdiri dari lembah-lembah dan dataran rendah yang tidak sejajar sehingga jika dilihat dari pinggir jalan hutan ini seakan-akan lebat di pinggir namun kosong di dalam. Karena cahaya matahari terlihat jelas menembus sela-sela pepohonan. Hal ini dikarenakan kondisi demografi hutan yang berlembah-lembah. Sementara kalau ditelusuri hutan ini sangat padat ditumbuhi berbagai pepohonan alami.

Dalam melestarikan hutan dan sungai, masyarakat Sakai menerapkan sanksi yang diberikan kepada anak-kemenakan Sakai yang melakukan penebangan pohon. Di mana dalam membuka ladang dulu ada istilah darah ganti darah, nyawa diganti nyawa. Artinya jika menebang pohon ada tunggulnya maka harus diganti dengan pohon lain sehingga pohon tetap ada. Pohon ini berfungsi sebagai pengganti dan pelindung bagi tanaman lain.

Lahan-lahan yang sudah tidak ada hutannya ditanam kembali karena seluruh anak kemenakan warga Sakai sudah diminta melakukan pembibitan tanaman pohon. Ada pohon ditebang, maka di samping pohon itu ditanam pohon baru, fungsinya untuk melindungi tanaman yang ada di sekitarnya seperti kacang panjang, dan lain sebagainya.

Menurut Kades Kesumbo Ampai Rudi Zulhevis, sistem teknologi dan peralatan yang digunakan masyarakat suku Sakai dalam kesehariannya dapat terlihat pada aktivitas berburu dan berladangnya, dalam hal berburu. Peralatan yang digunakan oleh suku Sakai adalah parang, panah dan juga memakai jerat sentak serta konjouw. Konjouw adalah tombak yang terbuat dari besi yang dipanaskan, konjouw itu dibekali oleh mantra-mantra hewan. Tidak hanya berburu, orang Sakai sangat terkenal dengan mencari ikan dengan menggunakan perahu serta kail tradisional hasil buatan mereka sendiri dan suku Sakai juga senang menangkap udang dan kepiting dengan menggunakan perangkap yang berbentuk kerucut yang terbuat dari anyaman bambu atau rotan.

Kebudayaan Suku Sakai yang bercorak agraris juga ditandai dengan alat-alat yang berfungsi sebagai alat pertanian seperti gegalung galo. Alat yang terbuat dari bambu dan batang pepohonan ini berfungsi sebagai alat penjepit ubi manggalo untuk diambil sari patinya. Ubi menggalo merupakan makanan pokok warga Sakai sebagai pengganti nasi.

Tidak hanya diajari melaksanakan protokol kesehatan yang ketat, warga juga diajari bertanam hortikultura.

Menjadikan masyarakat Sakai berkebun hortikultura bukanlah perkara gampang. Perlu pelatihan berulang yang dilakukan. Apalagi sebelumnya beberapa warga Sakai menanam padi di lahan yang cukup luas, namun gagal panen akibat hama. Warga Sakai pun enggan berkebun apalagi menanam padi. Kebiasaan lama kembali yakni berladang berpindah. Selain bercocok tanam holtikultura, warga Sakai juga beternak sapi.

"Sangat sulit, apalagi warga kami masih rendah pendidikannya sehingga pemanfaatan lahan untuk hortikultura ini sangat luas, namun tidak sampai mengurangi hutan adat," ujar sesepuh adat Sakai M Yatim.

Menurut M Yatim, ada sanksi yang diberikan kepada anak-kemenakan Sakai yang melakukan penebangan pohon. Di mana dalam membuka ladang dulu ada istilah darah ganti darah, nyawa diganti nyawa. Artinya jika menebang pohon ada tunggulnya maka harus diganti dengan pohon lain sehingga pohon tetap ada. Pohon ini berfungsi sebagai pengganti dan pelindung bagi tanaman lain.

Dalam tradisi masyarakat Sakai terkandung nilai-nilai, yaitu: Pertama, nilai prokreasi. Artinya, lembaga perkawinan merupakan sarana yang paling tepat dan sah untuk melakukan aktivitas prokreasi bagi lahirnya generasi baru. Kedua, nilai kepatuhan. Artinya, untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga, maka syarat utama yang harus dipenuhi keduanya adalah kemampuan untuk saling mengenal dan memahami satu dengan yang lainnya.

Ketiga, nilai tanggung jawab. Artinya, sepasang kekasih yang menjalin hubungan serius dan mendalam dituntut mampu mengendalikan dirinya untuk tidak melakukan hubungan seks di luar nikah agar martabat dirinya dan keluarganya tetap terjaga. Dan setelah sah menjadi suami-istri juga memerankan tanggung jawab masing-masing: suami bertanggung jawab untuk menafkahi keluarga, sementara istri bertanggung jawab atas pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sehari-hari.

"Demikian juga dengan berladang ini, banyak aturan yang tidak boleh dilanggar. Walaupun sulit, tidak ada kata terlambat. Toh apa yang dilakukan hari ini akan dinikmati anak-cucu kami," katanya.

Dikatakan Yatim, kearifan lokal Sakai setempat diharapkan mampu mempertahankan secuil kawasan hutan yang masih tersisa itu. Dalam tradisi Sakai yang hidup bersebati dengan hutan, katanya, berlaku ketentuan adat bahwa setiap menebang satu batang pohon harus menanam satu bibit pohon baru di sampingnya.

Intinya adalah mereka anak-anak negeri yang hidup di sekitar sungai dan mencari penghidupan dari hasil kekayaan yang ada di sungai berupa ikan.

"Masyarakat Suku Sakai memiliki banyak bentuk mata pencaharian, hal ini dikarenakan sistem ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat suku Sakai dipengaruhi kondisi daerah yang mereka tempati atau yang mereka huni," ujar Camat Bathin Solapan Wahyuddin.

Oleh karena itu masyarakat suku Sakai mempunyai banyak bentuk mata pencarian demi menghidupi keluarganya.

Di hutan adat Sakai yang berada di Desa Kesumbo Ampai ini masih banyak binatang buas berkeliaran seperti harimau, beruang, gajah tiap tiga bulan sekali masuk. Yang paling ditakuti adalah harimau dan gajah.

Sementara sungai yang berada di areal hutan ulayat ini dimanfaatkan masyarakat Sakai untuk pemandian dan, sumber air minum. Masyarakat Sakai juga punya tradisi minum air hutan pakai labu. "Saya ingatnya begini, masalah vaksinasi, masyarakat Sakai vaksinasinya sudah berlebih-lebihan karena air di sungai itu ada taik (kotoran) badak, taik gajah, taik babi hutan dan segala macam taik binatang termasuk ada racunnya," terang Yatim. Jadi obat malaria itu sudah tersedia melalui air sungai. Makanya masyarakat Sakai sangat jarang sakit dan berobat ke dokter karena masyarakat sakai beranggapan obat-obat hasil racikan pabrik sudah tercampur zat kimia dan tidak alami lagi.(hen)

Pesan Redaksi:

Mari bersama-sama melawan Covid-19. Riaupos.co mengajak seluruh pembaca ikut mengampanyekan gerakan 3M Lawan Covid-19 dengan menerapkan protokol kesehatan dalam aktivitas sehari-hari. Ingat pesan Ibu, selalu Memakai masker, Mencuci tangan dan Menjaga jarak serta hindari kerumunan.

#satgascovid19
#ingatpesanibu
#ingatpesanibupakaimasker
#ingatpesanibujagajarak
#ingatpesanibucucitangan
#pakaimasker
#jagajarak
#jagajarakhindarikerumunan
#cucitangan

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya