Jumat, 22 November 2024

SH Wajib Lapor Dua Kali Sepekan

- Advertisement -

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Dekan FISIP Unri, SH telah menjalani pemeriksaan pertama sebagai tersangka kasus dugaan pencabulan terhadap seorang mahasiswi berinisial LM. Ada 10 jam lamanya SH menjalani pemeriksaan di Mapolda Riau pada Senin (22/11).

Saat itu ia dicecar sebanyak 70 pertanyaan oleh penyidik. Usai diperiksa, SH tidak langsung  ditahan meski ancaman hukum di atas 5 tahun penjara. Alasannya, SH dinilai cukup kooperatif dan dijamin oleh kuasa hukumnya. Hal itu sebagaimana diungkapkan Kabid Humas Polda Riau Kombes Pol Sunarto kepada wartawan, Selasa (23/11).

- Advertisement -

“Tidak dilakukan penahanan terhadap tersangka SH. Berdasarkan pertimbangan penyidik bahwa yang bersangkutan dianggap cukup kooperatif, tidak akan mempersulit penyidikan, dan ada jaminan dari kuasa hukumnya,” sebut Sunarto.

Meski begitu, SH tidak sepenuhnya bebas begitu saja. Polisi mengenakan wajib lapor terhadap dirinya sebanyak 2 kali sepekan. Yakni pada hari Senin dan Kamis hingga proses penyidikan rampung.”Tersangka SH dikenakan wajib lapor dua kali sepekan, Senin dan Kamis,” pungkas Sunarto.

Unri Nonaktifkan SH jika Sudah Ditahan Rektor Universitas Riau (Unri) Prof Dr Ir Aras Mulyadi DEA memberikan alasan kenapa belum menonaktifkan Dekan FISIP yang tersangkut dugaan kasus pelecehan seksual, SH. Kendati sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus pencabulan, rektor tetap belum bisa mengambil keputusan. Seperti disampaikan Wakil Rektor II Unri Prof Dr Sujianto, Rektor kembali beralasan soal pijakan legalitas yang tidak ada.

- Advertisement -

Sujianto menyebutkan, rektorat tetap berpatokan pada PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dan PP No 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Hal ini menurut Sujianto menghalangi rektorat untuk mengeksekusi penonaktifan SH sesuai mandat Permendikbud No 30 Tahun 2021.  

"Kami belum bisa nonaktifkan karena kami kalau melakukan tindakan harus sesuai prosedur kepegawaian, sesuai dengan PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dan PP No 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil. SH adalah ASN, jabatannya itu berkaitan dengan tugasnya sebagai ASN," ujar Sujianto pada jumpa pers, Selasa (23/11).

Sujianto juga memastikan, pihaknya baru akan menonaktifan SH apabila yang bersangkutan ditahan Polda Riau. Sebab, jika ditahan tentu sudah tidak dapat lagi menjalankan tugasnya sebagai dekan.

"Kalau ditahan, itu sudah berbeda. Karena dia tidak bisa lagi menjalankan tugas. Hingga baru bisa diberhentikan sementara. Aturannya begitu. Ya, kami tentu sesuai aturan," kata Sujianto.

Baca Juga:  Hotel Sri Indrayani Siapkan Ruangan Khusus

Namun Sujianto juga mengakui, keengganan Rektorat Unri menonaktifan SH dipengaruhi oleh belum adanya Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanggulangan Kasus Kekerasan Seksual di Unri. Pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) tidak untuk menggantikan Satgas yang diamanatkan dalam Permendikbud No 30 Tahun 2021 itu. Diharapkan, rekomendasi TPF berupa pembentukan Tim Investigasi Khusus dalam menggantikan peran penilaian dari Satgas.

"Sejak tanggal 12 November, TPF sudah menjumpai Dirjen, menyampaikan rekomendasi agar dibentuk Tim Investigasi Khusus dan memohon agar tim itu dibentuk. Kami mengharapkan tim dari Dirjen turun ke Riau, namun hingga hari ini (kemarin, red) rekomendasi itu masih dikaji oleh Dirjen hingga tim itu (Tim Investigasi Khusus, red) belum juga turun," kata Sujianto.

Pasalnya, kata Sujianto, selain Satgas, hanya Tim Investigasi Khususlah yang bisa mengeluarkan hasil penilaian pelanggaran yang dilakukan SH. Sesuai dengan Permendikbud tersebut, apakah nanti Tim Investigasi Khusus menemukan pelanggarannya kategori ringan, sedang, atau berat.

"Karena Tim Investigasi Khusus itu belum ada, maka kami tidak bisa serta-merta mengambil keputusan. Nanti kalau diberi sanksi berat, ternyata dia ringan, dikasi hukuman ringan ternyata berat, makanya kami menunggu hasil investigasi untuk mencari faktanya dahulu," kata Sujianto.

Pada Permendikbud Nomor 30 Tahun itu sendiri menegaskan soal penonaktifkan pelaku kekerasan ataupun pelecehan seksual di lingkungan kampus. Hal itu tertuang pada Pasal 14 yang mengatur rinci sanksi administratif bagi pelaku. Dalam pasal tersebut sanksi administratif bisa diterapkan dalam tiga tingkatan. Mulai sanksi administrasi ringan, sedang hingga berat.

Sanksi administratif ringan disebutkan berupa teguran tertulis, pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang harus dipublikasikan di internal dan di media massa. Lalu sanksi sedang berupa pemberhentian sementara dari jabatan tanpa mendapatkan hak jabatan, atau sanksi pengurangan hak bila berstatus mahasiswa. Adapun sanksi berat meliputi pemberhentian tetap dari jabatan sebagai civitas academika kampus, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Keputusan penjatuhan sanksi ditetapkan secara proporsional dan berkeadilan, berdasarkan rekomendasi dari satuan tugas (satgas) khusus pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Namun Sujianto memastikan, Satgas Pencegahan dan Penanggulangan Kasus Pelecehan Seksual di Unri sedang dirancang dan segera akan dibentuk. Bahkan untuk memastikan pembentukannya, Unri sudah mulai melakukan konsultasi dengan berbagai pihak.

"Unri akan membentuk Satgas dengan komponennya 50 persen mahasiswa. Sekarang Unri sudah mengundang sejumlah pakar dan juga dari kementerian untuk pembentukannya. Ini sebagai komitmen kampus untuk mencegah dan mengantisipasi masalah serupa terjadi pada masa mendatang," tuturnya.

Baca Juga:  Harga Sembako Tinggi, PSMTI Riau dan Mal Pekanbaru Gelar Tebus Murah

LBH: Harusnya SH  Ditahan
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru menilai tersangka kasus pencabulan mahasiswi FISIP Unri, SH, seharusnya ditahan kepolisian. LBH Pekanbaru yang menjadi penasihat hukum LM, korban pada kasus ini, mengacu pada Pasal 21 Ayat 4 KUHAP.

Kepala Operasional LBH Pekanbaru Rian Sibarani menyebutkan, memang penahanan tersangka pada dasarnya merupakan kewenangan subjektif penyidik. Namun bila bercermin pada Pasal 21 Ayat 4 KUHAP, penahanan dapat dilakukan pada tersangka dengan ancaman hukumannya 5 tahun atau lebih.

"Sementara SH ancaman hukumannya sampai 9 tahun, artinya lebih dari 5 tahun.  Bila berkaca pada Pasal 21 Ayat 4 KUHAP itu, dapat dilakukan penahanan terhadap SH oleh kepolisian. Ini juga untuk mempermudah pengusutan kasus ini," terangnya menanggapi tidak ditahannya SH hingga Selasa (23/11).

Rian menyebutkan, ada beberapa alasan kenapa SH harus ditahan. Pertama, tersangka masih dosen aktif yang mempunyai jabatan dan kuasa di kampus. Maka dengan jabatan dan kuasanya, karena tidak ditahan, dikhawatirkan tersangka dapat melakukan apa saja yang menguntungkan dirinya. SH menurutnya bisa saja menghambat proses hukum yang sedang berlangsung.

"Juga dikhawatiran dia akan melakukan manuver yang akan menyudutkan penyintas, seperti yang sering terjadi. Penyintas ketika bersuara maka akan rentan disudutkan, dikriminalisasi dan diintimidasi. Maka dia harus ditahan," kata Rian.

Terkait ketidaktegasan pengambilan keputusan baik dari kepolisian maupun Rektorat Unri, sejumlah poster dan spanduk terpampang di sejumlah lokasi di pusat Kota Pekanbaru. Poster menyuarakan tuntutan dan ungkapan ketidakpuasaan penanganan kasus pelecehan seksual yang kini sedang ditangani di Polda Riau tersebut. Di antara poster dan spanduk itu, ada juga undangan kepada Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim agar datang ke kampus Unri. Pada beberapa poster dan spanduk terdapat ungkapan kekecewaan terhadap ketidaktegasan pihak rektorat dalam menangani kasus ini. Ada juga spanduk berisi peringatan seperti 'Dear Rektor & Jaksa We Are Watching.'

Pantauan Riau Pos, spanduk dan poster ini tersebar di sejumlah tempat keramaian sejak Senin (22/11) petang. Mulai dari SPBU, pintu masuk pusat perbelanjaan, pedestarian dan fly over. Sejumlah spanduk juga masih terlihat terbentang di sejumlah jembatan penyeberangan orang. (end)

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Dekan FISIP Unri, SH telah menjalani pemeriksaan pertama sebagai tersangka kasus dugaan pencabulan terhadap seorang mahasiswi berinisial LM. Ada 10 jam lamanya SH menjalani pemeriksaan di Mapolda Riau pada Senin (22/11).

Saat itu ia dicecar sebanyak 70 pertanyaan oleh penyidik. Usai diperiksa, SH tidak langsung  ditahan meski ancaman hukum di atas 5 tahun penjara. Alasannya, SH dinilai cukup kooperatif dan dijamin oleh kuasa hukumnya. Hal itu sebagaimana diungkapkan Kabid Humas Polda Riau Kombes Pol Sunarto kepada wartawan, Selasa (23/11).

- Advertisement -

“Tidak dilakukan penahanan terhadap tersangka SH. Berdasarkan pertimbangan penyidik bahwa yang bersangkutan dianggap cukup kooperatif, tidak akan mempersulit penyidikan, dan ada jaminan dari kuasa hukumnya,” sebut Sunarto.

Meski begitu, SH tidak sepenuhnya bebas begitu saja. Polisi mengenakan wajib lapor terhadap dirinya sebanyak 2 kali sepekan. Yakni pada hari Senin dan Kamis hingga proses penyidikan rampung.”Tersangka SH dikenakan wajib lapor dua kali sepekan, Senin dan Kamis,” pungkas Sunarto.

- Advertisement -

Unri Nonaktifkan SH jika Sudah Ditahan Rektor Universitas Riau (Unri) Prof Dr Ir Aras Mulyadi DEA memberikan alasan kenapa belum menonaktifkan Dekan FISIP yang tersangkut dugaan kasus pelecehan seksual, SH. Kendati sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus pencabulan, rektor tetap belum bisa mengambil keputusan. Seperti disampaikan Wakil Rektor II Unri Prof Dr Sujianto, Rektor kembali beralasan soal pijakan legalitas yang tidak ada.

Sujianto menyebutkan, rektorat tetap berpatokan pada PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dan PP No 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Hal ini menurut Sujianto menghalangi rektorat untuk mengeksekusi penonaktifan SH sesuai mandat Permendikbud No 30 Tahun 2021.  

"Kami belum bisa nonaktifkan karena kami kalau melakukan tindakan harus sesuai prosedur kepegawaian, sesuai dengan PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dan PP No 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil. SH adalah ASN, jabatannya itu berkaitan dengan tugasnya sebagai ASN," ujar Sujianto pada jumpa pers, Selasa (23/11).

Sujianto juga memastikan, pihaknya baru akan menonaktifan SH apabila yang bersangkutan ditahan Polda Riau. Sebab, jika ditahan tentu sudah tidak dapat lagi menjalankan tugasnya sebagai dekan.

"Kalau ditahan, itu sudah berbeda. Karena dia tidak bisa lagi menjalankan tugas. Hingga baru bisa diberhentikan sementara. Aturannya begitu. Ya, kami tentu sesuai aturan," kata Sujianto.

Baca Juga:  Segera Bentuk Alat Kelengkapan Dewan

Namun Sujianto juga mengakui, keengganan Rektorat Unri menonaktifan SH dipengaruhi oleh belum adanya Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanggulangan Kasus Kekerasan Seksual di Unri. Pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) tidak untuk menggantikan Satgas yang diamanatkan dalam Permendikbud No 30 Tahun 2021 itu. Diharapkan, rekomendasi TPF berupa pembentukan Tim Investigasi Khusus dalam menggantikan peran penilaian dari Satgas.

"Sejak tanggal 12 November, TPF sudah menjumpai Dirjen, menyampaikan rekomendasi agar dibentuk Tim Investigasi Khusus dan memohon agar tim itu dibentuk. Kami mengharapkan tim dari Dirjen turun ke Riau, namun hingga hari ini (kemarin, red) rekomendasi itu masih dikaji oleh Dirjen hingga tim itu (Tim Investigasi Khusus, red) belum juga turun," kata Sujianto.

Pasalnya, kata Sujianto, selain Satgas, hanya Tim Investigasi Khususlah yang bisa mengeluarkan hasil penilaian pelanggaran yang dilakukan SH. Sesuai dengan Permendikbud tersebut, apakah nanti Tim Investigasi Khusus menemukan pelanggarannya kategori ringan, sedang, atau berat.

"Karena Tim Investigasi Khusus itu belum ada, maka kami tidak bisa serta-merta mengambil keputusan. Nanti kalau diberi sanksi berat, ternyata dia ringan, dikasi hukuman ringan ternyata berat, makanya kami menunggu hasil investigasi untuk mencari faktanya dahulu," kata Sujianto.

Pada Permendikbud Nomor 30 Tahun itu sendiri menegaskan soal penonaktifkan pelaku kekerasan ataupun pelecehan seksual di lingkungan kampus. Hal itu tertuang pada Pasal 14 yang mengatur rinci sanksi administratif bagi pelaku. Dalam pasal tersebut sanksi administratif bisa diterapkan dalam tiga tingkatan. Mulai sanksi administrasi ringan, sedang hingga berat.

Sanksi administratif ringan disebutkan berupa teguran tertulis, pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang harus dipublikasikan di internal dan di media massa. Lalu sanksi sedang berupa pemberhentian sementara dari jabatan tanpa mendapatkan hak jabatan, atau sanksi pengurangan hak bila berstatus mahasiswa. Adapun sanksi berat meliputi pemberhentian tetap dari jabatan sebagai civitas academika kampus, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Keputusan penjatuhan sanksi ditetapkan secara proporsional dan berkeadilan, berdasarkan rekomendasi dari satuan tugas (satgas) khusus pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Namun Sujianto memastikan, Satgas Pencegahan dan Penanggulangan Kasus Pelecehan Seksual di Unri sedang dirancang dan segera akan dibentuk. Bahkan untuk memastikan pembentukannya, Unri sudah mulai melakukan konsultasi dengan berbagai pihak.

"Unri akan membentuk Satgas dengan komponennya 50 persen mahasiswa. Sekarang Unri sudah mengundang sejumlah pakar dan juga dari kementerian untuk pembentukannya. Ini sebagai komitmen kampus untuk mencegah dan mengantisipasi masalah serupa terjadi pada masa mendatang," tuturnya.

Baca Juga:  Hari Ini, Gajah Liar Digiring ke Habitatnya

LBH: Harusnya SH  Ditahan
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru menilai tersangka kasus pencabulan mahasiswi FISIP Unri, SH, seharusnya ditahan kepolisian. LBH Pekanbaru yang menjadi penasihat hukum LM, korban pada kasus ini, mengacu pada Pasal 21 Ayat 4 KUHAP.

Kepala Operasional LBH Pekanbaru Rian Sibarani menyebutkan, memang penahanan tersangka pada dasarnya merupakan kewenangan subjektif penyidik. Namun bila bercermin pada Pasal 21 Ayat 4 KUHAP, penahanan dapat dilakukan pada tersangka dengan ancaman hukumannya 5 tahun atau lebih.

"Sementara SH ancaman hukumannya sampai 9 tahun, artinya lebih dari 5 tahun.  Bila berkaca pada Pasal 21 Ayat 4 KUHAP itu, dapat dilakukan penahanan terhadap SH oleh kepolisian. Ini juga untuk mempermudah pengusutan kasus ini," terangnya menanggapi tidak ditahannya SH hingga Selasa (23/11).

Rian menyebutkan, ada beberapa alasan kenapa SH harus ditahan. Pertama, tersangka masih dosen aktif yang mempunyai jabatan dan kuasa di kampus. Maka dengan jabatan dan kuasanya, karena tidak ditahan, dikhawatirkan tersangka dapat melakukan apa saja yang menguntungkan dirinya. SH menurutnya bisa saja menghambat proses hukum yang sedang berlangsung.

"Juga dikhawatiran dia akan melakukan manuver yang akan menyudutkan penyintas, seperti yang sering terjadi. Penyintas ketika bersuara maka akan rentan disudutkan, dikriminalisasi dan diintimidasi. Maka dia harus ditahan," kata Rian.

Terkait ketidaktegasan pengambilan keputusan baik dari kepolisian maupun Rektorat Unri, sejumlah poster dan spanduk terpampang di sejumlah lokasi di pusat Kota Pekanbaru. Poster menyuarakan tuntutan dan ungkapan ketidakpuasaan penanganan kasus pelecehan seksual yang kini sedang ditangani di Polda Riau tersebut. Di antara poster dan spanduk itu, ada juga undangan kepada Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim agar datang ke kampus Unri. Pada beberapa poster dan spanduk terdapat ungkapan kekecewaan terhadap ketidaktegasan pihak rektorat dalam menangani kasus ini. Ada juga spanduk berisi peringatan seperti 'Dear Rektor & Jaksa We Are Watching.'

Pantauan Riau Pos, spanduk dan poster ini tersebar di sejumlah tempat keramaian sejak Senin (22/11) petang. Mulai dari SPBU, pintu masuk pusat perbelanjaan, pedestarian dan fly over. Sejumlah spanduk juga masih terlihat terbentang di sejumlah jembatan penyeberangan orang. (end)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari