PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Republik Indonesia Dr Chatarina Muliana SE SH MH melakukan pertemuan dengan korban kasus pencabulan di FISIP Universitas Riau. Pertemuan dilakukan Selasa (14/12) malam. Setelah itu, pejabat Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek melanjutkan pertemuan dengan Rektor Unri Prof Dr Aras Mulyadi DEA dan jajarannya.
Usai pertemuan itu, di hadapan para mahasiswa yang telah menunggunya di depan halaman Gedung Rektorat Unri, Chatarina memastikan Dekan FISIP Unri yang menjadi tersangka kasus pencabulan, SH, akan segera dinonaktifkan. Hal itu seiring akan dibentuknya Satuan Tugas (Satgas) Adhoc Penanggulangan Kekerasan Seksual per kasus ini dalam pekan ini.
"Penonaktifan itu bagian dari mekanisme pembentukan Satgas Adhoc, dinonaktifkan dalam rangka pemeriksaan. Oleh karena itu, pintu utama (penonaktifan) adalah pembentukan Satgas Adhoc. Kami minta tidak lebih dari satu pekan," sebut Chatarina di hadapan para mahasiswa yang mencegatnya di pintu keluar gedung tersebut.
Kehadiran Tim Inspektorat Jenderal yang langsung dipimpin Inspektur di Unri ini untuk memastikan proses penyelesaian kasus dugaa pelecehan seksual Dekan FISIP Unri, SH, terhadap mahasiswi LM. Chatarina yang lebih dulu menemui LM di luar lingkungan kampus Unri, bermaksud untuk memastikan penanganan kasus tersebut berjalan sesuai aturan yang berlaku.
Pembentukan Satgas Pecegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual, sesuai dengan Permendikbudristek No 30 Tahun 2021, akan memerlukan waktu yang lama. Maka Inspektur juga memastikan langkah diskresi harus diambil agar penanganan kasus ini bisa selesai lebih cepat. Sebagai tindak lanjut, Chatarina menyebutkan, Rektor Unri sudah dipersilakan membuat Peraturan Rektor untuk menggesa penanganan kasus yang sudah berjalan lebih dari satu bulan tersebut.
Unri sendiri telah membentuk panitia seleksi (pansel) Satgas yang langsung ditandatangani rektor. Lewat Peraturan Rektor yang sudah mendapat lampu hijau dari Inspektorat Jenderal Kemendikbud-Ristek itu, maka dengan sendirinya menjadi jaminan kasus ini bisa ditangani dengan cepat. Karena rektorat, sesuai arahan Irjen, bisa melakukan diskresi.
Kehadiran Irjen Mendikbud-Ristek dalam penyelesaian permasalahan kasus dugaan pelecehan seksual di FISIP Universitas Riau (Unri) dinilai sebagai sebuah keharusan. Karena bila tidak, perasalahan ini akan terus berlarut-larut. Hal ini disampaikan Kepala Operasional Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru Rian Sibarani pada Rabu (15/12).
"Kalau ukurannya sudah satu bulan tapi tidak ada tindakan tegas Rektorat Unri terhadap tersangka SH. Inikan sebuah ketidakmampuan. Maka kami mengapresiasi, walaupun terlambat, Irjen hadir untuk mempercepat penanganan kasus ini ke Unri dengan langsung menemui rektor dan juga korban. Apalagi Unri merupakan instansi di bawah naungannya, maka kami pikir Kemendikbud-Ristek harus turut bertanggung jawab menyelesaikan apa yang teradi," kata Rian.
Dirinya berharap, dengan telah turunnya pejabat sekelas Irjen, maka Unri segera dapat menyelesaikan tugas yang sudah menjadi tanggungjawabnya. Terlebih Irjen menyebutkan, sebuah tindakan nyata akan diambil Satgas Adhoc dalam sepekan ke depan.
Sementara itu terkait pembentukan Satgas, Kuasa Hukum SH, Dody Fernando menyebutkan, pihaknya sangat mendukung rektor untuk membentuknya demi penyelesaian masalah ini. Bahkan pihaknya sudah berkirim surat kepada rektor yang diteruskan ke Ispektur Jenderal Kemendikbud soal itu. Dody menyebutkan, pihaknya sebagai kuasa hukum SH mendukung dan mempersilakan Unri untuk membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual tersebut.
Namun pembentukan satgas harus sesuai dengan yang diatur dalam Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tersebut. Dirinya juga mengingat bahwa hal itu harus diawali dengan pembentukan panitia seleksi dan seterusnya secara bertahap sesuai aturan. Pihaknya juga mengingatkan soal diskresi yang dimaksud, agar tidak salah langkah pada kemudian hari.
"Kami sangat mendukung langkah yang akan dilakukan oleh pihak Unri yang akan membentuk Satgas. Karena kami juga menginginkan masalah yang dituduhkan kepada klien kami agar jelas dan terang benderang, supaya nantinya jelas benar atau tidaknya peristiwa yang dituduhkan kepada klien kami," ungkapnya.
Dody menyebutkan, pihaknya juga sudah menuliskan surat terkait dukungan pembentukan satgas dan sejumlah catatan yang harus dipahami terkait pembentukannya nanti. Pihaknya juga siap membuktikan bahwa tuduhan yang dituduhkan kepada kliennya tidaklah benar.
"Apabila nanti klien kami tidak terbukti bersalah, maka sesuai dengan Pasal 45 ayat 2 Permendukbud itu, maka satgas harus bisa mengeluarkan rekomendasi untuk pemulihan nama baik Pak SH, dan apabila klien kami terbukti bersalah, maka klien kami siap menerima sanksi yang akan diberikan kepada dirinya," tegasnya.
Sementara itu Juru Bicara Rektor untuk permasalahan ini, Prof Dr Sujianto, sebelumnya sudah menekankan bahwa setiap keputusan yang diambil Rektor Unri harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Pihaknya tidak ingin untuk menyelesaikan sebuah masalah, malah akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari. Maka Rektor Unri, menurut Sujianto, tidak ingin keputusan yang dibuat kampus bertentangan dengan aturan lainnya.
"Draf peraturan rektor terkait pembentukan Satgas Adhoc kan sudah disetujui oleh Irjen. Maka dalam hal ini bisa dilakukan diskresi tentang salah satu bab yang ada di Permendikbud No 30 Tahun 2021 ini. Rektor dalam pengambilan setiap kebijakan akan tetap berpegang pada prosedur-prosedur dan aturan yang berlaku, hingga tidak bermasalah di kemudian hari," tegas Sujianto.(end)