PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Meskipun jumlah penambahan pasien positif Covid-19 di Riau semakin hari terus menurun. Namun bukan berarti Riau sudah aman dari Covid-19, saat inilah masyarakat justru diminta lebih waspada lagi. Hal tersebut dikatakan Juru Bicara Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Riau dr Indra Yovi, saat penyampaian update kasus Covid-19 di Riau, Senin (13/7). Indra Yovi juga meminta masyarakat jangan terlena dengan angka-angka penurunan jumlah kasus positif Covid-19 di Riau.
"Jadi meskipun angka pasien positif Covid-19 di Riau terus menurun belum membuktikan bahwa di Riau ini benar-benar aman dari Covid-19. Apalagi sejak awal kita tidak memberlakukan lockdown atau karantina wilayah," kata Indra Yovi.
Dengan tidak adanya karantina wilayah tersebut, orang dari luar daerah masih bebas keluar masuk Riau. Termasuk melalui jalur udara yang saat ini sudah mulai ramai kembali. "Bisa kita lihat, beberapa pasien positif Covid-19 di Riau itu hampir semua berasal dari luar daerah, seperti Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan. Artinya kasus impor," sebutnya.
Hal lainnya yang membuktikan Riau belum benar-benar aman yakni masih ditemukannya pasien positif Covid-19 di Riau yang tanpa gejala. Dengan demikian, diduga masih ada orang yang sudah tertular Covid-19 di Riau ini, namun belum dirawat karena belum diketahui. "Karena orang yang positif Covid-19 namun tanpa gejala itu sulit sekali dideteksi. Karena secara fisik kondisinya baik-baik saja," ujarnya.
Untuk itu, Indra Yovi meyakini jumlah kasus pasien positif per harinya di Riau ini lebih dari tiga orang setiap harinya. Apalagi jika orang positif Covid-19 yang tanpa gejala itu bisa sewaktu-waktu menularkan kepada orang lain.
"Saya tidak yakin jumlah pasien positif Covid-19 di Riau per harinya hanya satu, dua atau tiga, pasti lebih. Karena logika di saat pandemi, satu pasien Covid 19 bisa menularkan keempat orang. Untuk itu, caranya agar tidak tertular Covid yakni dengan menggunakan masker, jaga jarak, dan sering cuci tangan," jelasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Indra Yovi juga mengumumkan adanya penambahan tiga pasien positif Covid-19 di Riau, kemarin (13/7). Tiga pasien itu berasal dari tiga daerah yang berbeda.
"Dengan adanya penambahan tiga pasien positif, total pasien positif Covid-19 di Riau saat ini menjadi 243 dari sebelumnya 240 pasien," katanya.
Untuk pasien ke-241, yakni R (35) warga Kampar, yang bersangkutan memiliki riwayat perjalanan dari Sumatera Barat dua pekan lalu. Pasien ke-242 yakni R (26) yang merupakan warga asal Sumatera Selatan yang bersangkutan datang ke Riau untuk bekerja.
"Perusahaan tempatnya bekerja mensyaratkan harus melakukan rapid test terlebih dahulu dan hasilnya reaktif. Kemudian dilanjutkan dengan swab dan positif Covid-19," sebutnya.
Sedangkan pasien positif ke-243 yakni F (80) yang merupakan warga Kabupaten Siak. Yang bersangkutan tidak memiliki riwayat perjalanan sehingga belum diketahui di mana yang bersangkutan tertular Covid-19. "Selain itu, juga terdapat tiga pasien positif Covid-19 yang dinyatakan sembuh. Ketiganya yakni Es yang merupakan warga Kabupaten Rokan Hulu yang selama ini dirawat di Jakarta, Sa warga Kuantan Singingi dan Mh yang merupakan warga Kota Pekanbaru," jelasnya.
Pelanggar Protokol Kesehatan Bakal Disanksi
Delapan provinsi menjadi atensi khusus pemerintah pusat dalam penanganan Covid-19. Dalam rapat terbatas (ratas) di Istana Merdeka kemarin (13/7), Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta ada penerapan sanksi bagi mereka yang abai terhadap protokol kesehatan. Sosialisasi tetap terus berjalan, tapi penerapan sanksi juga dilakukan.
Presiden mengingatkan bahwa laju penularan kasus harian Covid-19 di Indonesia masih tinggi. Bahkan, Kamis lalu (9/7) jumlahnya menembus angka 2.500 per hari dampak dari penularan di Secapa TNI-AD di Bandung. Karena itu, Jokowi meminta dilakukan beberapa hal demi menekan penularan.
Pertama, tentu saja tes virus, penelusuran kontak, dan perawatan bagi pasien konfirmasi positif. "Saya minta ini diberi prioritas khusus untuk yang testing, tracing, dan treatment di delapan provinsi," ujar Jokowi.
Yang dimaksud adalah Provinsi Jatim, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Sulsel, Kalsel, Sumut, dan Papua. Tes PCR harus terus diperbanyak dengan menambah lab di daerah. Didukung mobile laboratorium BSL-2 yang disediakan pemerintah pusat. Targetnya adalah 30 ribu tes per hari. RS-RS rujukan Covid-19 harus terus ditingkatkan fasilitasnya. Baik tempat tidur, APD, obat, ventilator, maupun ruang isolasi. Harus ada penambahan di delapan provinsi tersebut.
Selain itu, gerakan nasional disiplin protokol kesehatan harus semakin masif. Baik mengenai jaga jarak, pakai masker, maupun cuci tangan. Presiden mencontohkan laporan yang diterima saat kunjungan ke Jatim. Bahwa 70 persen warga tidak mengenakan masker. Khusus untuk kedisiplinan itu, pemerintah berencana menerapkan sanksi bagi para pelanggarnya. "Bagaimana legal standing-nya masih akan dibahas lebih lanjut oleh kementerian dan lembaga terkait," terang Menko PMK Muhadjir Effendy seusai ratas.
Masyarakat harus paham bahwa sanksi itu semata-mata bertujuan untuk mendisiplinkan. Sekaligus sebagai tanda bahwa risiko Covid-19 di Indonesia masih sangat tinggi. Saat berdiskusi dengan awak media kemarin, presiden menegaskan bahwa sanksi diperlukan dalam kondisi saat ini. Sebab, yang dihadapi sekarang adalah masyarakat yang tidak disiplin menjalankan protokol kesehatan. "Yang kita siapkan, regulasi untuk memberikan sanksi, baik dalam bentuk denda atau bentuk kerja sosial atau tipiring (tindak pidana ringan)," tutur Jokowi.
Bila melihat angka-angka saat ini, kata Presiden, Indonesia diprediksi baru akan mencapai puncak penularan Covid-19 pada Agustus atau September. "Tapi, kalau kita tidak melakukan sesuatu, ya bisa angkanya berbeda," tambahnya. Karena itu, presiden meminta kabinetnya bekerja lebih keras lagi.
Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (GTPPC) Doni Monardo seusai ratas menjelaskan, upaya testing, tracing, dan treatment tetap harus menjadi prioritas. Tidak hanya bagi orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP), tapi juga bagi orang tanpa gejala (OTG). Mereka harus disiplin mengarantina diri, baik secara mandiri maupun menggunakan fasilitas pemerintah.
Untuk tes, yang diutamakan adalah PCR. "Walaupun sudah ada ketentuan dari Menkes untuk dilakukan rapid test, tetap kita akan berupaya arahnya ke depan adalah untuk PCR test," terangnya. Sebab, akurasinya paling bagus. Namun, selama PCR belum terpenuhi, jalan tengahnya adalah rapid test.
GTPPC mencatat bahwa persentase daerah merah atau dengan potensi penularan tinggi terus menurun. Berdasar data yang ditampilkan kemarin, per 5 Juli 2020, persentase daerah merah adalah 10,7 persen dari total 514 kabupaten/kota yang terdampak. Per 31 Mei 2020, persentase zona merah berada pada 21,02 persen dengan total 108 kabupaten/kota dengan zona merah. Jumlah tersebut sempat sedikit meningkat pada 7 Juni ke angka 12,6 persen. Kemudian turun lagi ke angka 9,9 persen pada 14 Juni, 11,1 persen pada 21 Juni, dan 10,3 persen pada 28 Juni. Kemudian menjadi 10,7 persen pada 5 Juli 2020 dengan total 55 kabupaten/kota yang memiliki risiko tinggi.
Angka itu diimbangi dengan 180 daerah dengan risiko sedang atau zona oranye, 175 daerah dengan risiko rendah atau zona kuning, serta 104 kabupaten/kota yang tidak terdampak atau tidak mencatatkan pertambahan kasus atau zona hijau. "Zona hijau naik dari minggu sebelumnya, 20,2 persen masuk kategori hijau. Persentase zona lain adalah 34 persen di zona kuning, 35 persen sedang atau oranye, dan 10,7 persen zona risiko tinggi," papar Tim Komunikasi Publik GTPPC Reisa Broto Asmoro kemarin.
Meski demikian, kasus baru warga terinfeksi virus SARS-CoV-2 masih terjadi. Jubir Pemerintah untuk Covid-19 Achmad Yurianto menjelaskan, hal itu menunjukkan adanya penularan yang terjadi di tengah masyarakat. Kasus positif yang teridentifikasi dalam beberapa minggu terakhir adalah hasil pelacakan atau tracing yang dilakukan secara masif. Selain tracing, pihaknya melakukan upaya pemeriksaan laboratorium secara masif. "Sebagian besar kasus yang kita dapatkan adalah kasus-kasus yang tidak ada indikasi untuk dirawat di rumah sakit," ujarnya saat konferensi pers di Media Center GTPPC Nasional, Jakarta.(sol/byu/tau/wan/syn/c9/fal/jpg)