Riau sangat kaya dengan jenis makanan tradisional. Sampai saat ini, warisan leluhur yang berusia ratusan tahun silam itu, masih terjaga dengan baik. Bahkan menjadi oleh-oleh tanah Melayu yang terus diburu.
(RIAUPOS.CO) – SETIDAKNYA ada sekitar 500 jenis makanan tradisional yang sudah tercatat di Provinsi Riau. Ikatan Ahli Boga (Ikaboga) Riau telah mencatatnya. Bahkan pernah dipamerkan dalam sebuah festival besar. Ratusan jenis makanan tradisional tersebut pernah ada dan tersebar di seluruh kabupaten/kota di Riau. Sudah pasti bermula dari kampung-kampung. Lalu, pernah hampir hilang karena tidak terjaga.
Intinya, jenis-jenis makanan tradisional itu merupakan potensi besar. Apabila dimunculkan kembali, dibangkitkan, dan diciptakan kembali. Hal ini membuat makanan tradisional Riau makin mewarnai makanan tradisional Indonesia. Makanan tradisional ini tidak hanya makanan siap saji, tapi juga kueh mueh yang bisa tahan lama, bisa dikemas dengan cantik, bisa dibawa pulang, dan pastinya bisa menjadi oleh-oleh bagi siapa saja yang datang ke Riau.
Di seluruh kabupaten/kota di Riau, jajanan atau oleh-oleh dari makanan ini juga ada, meski belum banyak dan kadang masih sulit ditemukan atau sulit menemukan lokasi penjualannya. Peningkatan berbagai hal ini yang perlu dilakukan agar makanan tradisional atau makanan khas Riau semakin terjaga keberadaannya. Saat ini, memang banyak makanan atau jajanan kekinian yang bermunculan. Mencarinya juga mudah. Tapi itu bukan makanan tradisional. Sementara, orang luar yang datang ke Riau, selalunya mencari yang khas dan yang spesial dari Riau. Baik makanan, pakaian atau jenis oleh-oleh lainnya. Sama seperti siapa saja datang ke daerah atau provinsi lain. Makanan khas selalu menjadi alternatif oleh-oleh bagi tamu yang datang ke suatu daerah.
Bolu kemojo merupakan oleh-oleh khas Riau. Semua orang sudah tahu. Banyak ditemukan di Pekanbaru. Toko-toko yang menjual bolu ini juga banyak ditemukan dibandingkan kabupaten/kota lainnya. Selain bolu kemojo, banyak yang lain lagi dan munculnya dari kabupaten/kota lain. Pasti ada sebab mengapa hal ini bisa terjadi.
Menurut catatan Ikaboga Riau, banyak kabupaten/kota yang belum maksimal menciptakan, menyediakan dan menjual oleh-oleh makanan khas tersebut. Misalnya Kabupaten Pelalawan, hanya ada satu oleh-oleh khas yakni pisang salai. Itu juga tidak bisa didapatkan dengan mudah. Begitu juga dengan Kabupaten Inhil yang hanya dikenal dengan amplang dan keripik pisang saja.
Disusul Rohul yakni bombon gula merah dan gula merah. Padahal, di kabupaten ini banyak destinasi wisata yang bisa dikunjungi. Wisatawan yang datang selalunya belanja yang spesial dari kota/kabupaten yang dituju. ‘’Kalau potensi makanan khas, Riau sangat banyak. Makanan ini bisa makanan siap saji, bisa juga jajanan,’’ ujar Ketua Ikaboga Riau, Dinawati.
‘’Tapi kadang mencarinya masih susah. Masyarakat tahu, bisa membuat, tapi semangatnya kurang. Ini perlu dipancing dan didorong terus. Tidak bisa hanya masyarakat sebagai pelaku usahanya saja, tapi juga perlu dukungan pemerintah setempat. Sekarang ini, persoalan wisata sedang ramai dibicarakan, harusnya juga diiringi dengan pendukung yang menyenangkan wisatawan itu, ya termasuk jajanan atau makanan khas sebagai oleh-oleh itu,’’ tambahnya.
Ikaboga tidak hanya di tingkat provinsi. Di tingkat kabupaten/kota juga ada. Selalu ada pembinaan semacam diskusi, berbagi pengalaman antara Ikaboga provinsi dengan kabupaten/kota tersebut. Tapi tidak hanya sampai di situ. Selanjutnya harus dilanjutkan dengan tindakan nyata. Membuat oleh-oleh itu secara nyata, dikemas, dirapikan dan dijual serta dipasarkan dengan jelas. Termasuk siapa-siapa pembelinya, ke mana saja dijual dan sebagainya.
Untuk mewujudkan ini, kata Dina, tidak bisa dilakukan Ikagoba sendiri dan pelaku usaha terkait. Harus ada kerja sama dengan instansi terkait termasuk dinas kebudayaan, pariwisata, tenaga kerja, UMKM dan sebagainya. ‘’Kalau bicara hal tradisi, ini bicara budaya. Mungkin tak banyak lagi yang minat dengan makanan-makanan tradisi karena zaman sudah maju, sudah kekinian,’’ ujar Dina.
‘’Tapi kalau tidak dijaga, kita akan kehilangan. Memelihara yang tradisi ini merupakan upaya pelestarian. Kalau instansinya bisa Dinas Kebudayaan. Kalau bicara pemasaran atau promosi, dinasnya bisa pariwisata. Soal pelaku usahanya bisa dinas tenaga kerja. Semuanya bisa ambil bagian melakukan pembinaan, pelatihan dan bimbingan,’’ tambahnya.
Kepala daerah di setiap kabupaten/kota, sambung Dina, belum menjadikan makanan khas atau oleh-oleh makanan khas ini sebagai target sumber perekonomian masyarakat. ‘’Kalau kita ke Rohul, benar orang bisa belanja yang lain. Tapi orang mau juga belanja makanan khas Rohul itu apa. Oke, bombon gula-gula merah, itu saja. Di Bagan juga ada. Bahkan mencarinya juga tidak mudah. Padahal, wisatawan yang datang ke Rohul itu banyak karena kekayaan alam dan Islamic Center yang luar biasa itu. Apalagi yang bisa dijual, harus diciptakan, harus dimunculkan. Banyak makanan khas di Rohul yang bisa dijadikan oleh-oleh, cuma belum dikelola dengan baik. Bimbingan dan pelatihan bagi pelaku usaha dari pemerintah belum maksimal,’’ sebutnya.