Selasa, 2 Juli 2024

Masyarakat Sipil Minta Penundaan Pilkada

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Keputusan DPR, Pemerintah dan KPU untuk melanjutkan pilkada sesuai rencana menuai kekecewaan dari masyarakat sipil. Kemarin, 14 organisasi masyarakat menyatakan sikap untuk menunda Pilkada. Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, pihaknya tidak meminta Pilkada ditunda hingga pandemi berakhir seperti narasi pemerintah. Sebab dirinya menyadari, tidak ada satu pihak pun yang mengetahui kapan pandemi usai.

Namun pihaknya meminta penundaan dilakukan guna menyiapkan regulasi yang sesuai dengan kondisi pandemi. Pasalnya, UU 10/2016 tentang Pilkada yang saat ini digunakan tidak cukup adaptif dengan kondisi pandemi. Sebagai contoh, metode kampanye dan teknis pemungutan suara masih memungkinkan pertemuan langsung.

- Advertisement -

Jika semua itu dihilangkan hanya melalui PKPU, maka berpotensi menjadi masalah ke depannya. "Tidak bisa diserahkan semua ke PKPU, ini situasi luar biasa," ujarnya.

Sebagai dasar hukum, PKPU tidak cukup kuat. Alhasil, saat pendaftaran lalu ada banyak pelanggaran dan sulit dijerat. Untuk itu, Ninis menyarankan agar pemerintah dan DPR menyusun peraturan baru selevel Undang-undang untuk mendesain pelaksanaan pilkada yang sesuai di masa pandemi. Dengan demikian, pelaksanaan pilkada jauh lebih aman dan berkualitas.

Baca Juga:  Aturan Baru Verifikasi Parpol Tuai Kritik

Peneliti Netgrit yang juga mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay menambahkan, sebaiknya Pilkada ditunda tiga sampai enam bulan untuk merevisi UU maupun menerbitkan Perppu. Dalam perppu nantinya, dia mengusulkan agar kegiatan yang bersifat tatap muka dikurangi atau bahkan dihapuskan.  "Jangan diteruskan seolah kita mampu orang nggak berkumpul. Modal sosial kita nggak cukup. Politisi juga senangnya mengumpulkan biar kelihatan hebat," ujarnya.

- Advertisement -

Selain itu, dalam Perppu nantinya ada sejumlah ketentuan baru yang bisa diatur ulang. Misalnya menyediakan pemungutan suara keliling, pemungutan suara via pos, hingga memperpanjang waktu pemungutan guna menghindari kerumunan.  "Itu semua nggak cukup melalui PKPU, harus Undang-undang," tuturnya.

Terpisah, Serikat Pengajar HAM (Sepaham) juga menyuarakan penolakan secara terbuka, kemarin (22/9). Serikat yang datang dari berbagai universitas di Indonesia itu menilai bahwa pemerintah sudah gagal menurunkan angka kasus, sehingga jaminan bahwa pilkada nanti akan minim kasus juga sangat diragukan.

Baca Juga:  Pasang Badan Usung Airlangga Hartarto Capres 2024, ARB: Kita Harus Solid

"Sampai saat ini kami sangat pesimis ya dengan ketentuan-ketentuan itu. Dari dulu pemerintah sudah memberi anjuran agar masyarakat mematuhi ini-itu, tapi tindakan riil untuk mengatasi atau mengurangi tidak ada," tegas Ketua Pusham Universitas Islam Indonesia (UII) Eko Riyadi.

Satgas yang akan dibentuk khusus untuk pilkada serentak pun dinilai percuma. Karena satgas yang sudah ada kemarin juga tidak berhasil memperkecil laju penularan. Eko menilai bahwa diteruskannya Pilkada hanya menunjukkan memobilisasi masyarakat demi legitimasi prosedular beberapa orang yang ingin kekuasaan politik saja.

Senada, Herlambang P Wiratama dari Pusham Fakultas Hukum Univesitas Airlangga (Unair) pun mempertanyakan basis saintifikasi satgas ini. "Seolah dengan satgas, masalah akan selesai. Tapi nggak ada evaluasi kenapa kasus meningkat terus, apa faktor gagalnya," ujar Herlambang.

Sepaham pun mendorong agar pemerintah menunda hingga bisa menunjukkan komitmen politik yang jelas untuk menurunkan angka kasus Covid-19. Tentu dengan cara yang baru, karena cara lama hingga kini terbukti tidak berhasil. Malah jumlah kasus tembus 4000 dalam sehari.(far/syn/deb/dee/jpg)

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Keputusan DPR, Pemerintah dan KPU untuk melanjutkan pilkada sesuai rencana menuai kekecewaan dari masyarakat sipil. Kemarin, 14 organisasi masyarakat menyatakan sikap untuk menunda Pilkada. Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, pihaknya tidak meminta Pilkada ditunda hingga pandemi berakhir seperti narasi pemerintah. Sebab dirinya menyadari, tidak ada satu pihak pun yang mengetahui kapan pandemi usai.

Namun pihaknya meminta penundaan dilakukan guna menyiapkan regulasi yang sesuai dengan kondisi pandemi. Pasalnya, UU 10/2016 tentang Pilkada yang saat ini digunakan tidak cukup adaptif dengan kondisi pandemi. Sebagai contoh, metode kampanye dan teknis pemungutan suara masih memungkinkan pertemuan langsung.

Jika semua itu dihilangkan hanya melalui PKPU, maka berpotensi menjadi masalah ke depannya. "Tidak bisa diserahkan semua ke PKPU, ini situasi luar biasa," ujarnya.

Sebagai dasar hukum, PKPU tidak cukup kuat. Alhasil, saat pendaftaran lalu ada banyak pelanggaran dan sulit dijerat. Untuk itu, Ninis menyarankan agar pemerintah dan DPR menyusun peraturan baru selevel Undang-undang untuk mendesain pelaksanaan pilkada yang sesuai di masa pandemi. Dengan demikian, pelaksanaan pilkada jauh lebih aman dan berkualitas.

Baca Juga:  Cagub Sumbar Mulyadi Jadi Tersangka Pidana Pemilu, Ini Kata Demokrat

Peneliti Netgrit yang juga mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay menambahkan, sebaiknya Pilkada ditunda tiga sampai enam bulan untuk merevisi UU maupun menerbitkan Perppu. Dalam perppu nantinya, dia mengusulkan agar kegiatan yang bersifat tatap muka dikurangi atau bahkan dihapuskan.  "Jangan diteruskan seolah kita mampu orang nggak berkumpul. Modal sosial kita nggak cukup. Politisi juga senangnya mengumpulkan biar kelihatan hebat," ujarnya.

Selain itu, dalam Perppu nantinya ada sejumlah ketentuan baru yang bisa diatur ulang. Misalnya menyediakan pemungutan suara keliling, pemungutan suara via pos, hingga memperpanjang waktu pemungutan guna menghindari kerumunan.  "Itu semua nggak cukup melalui PKPU, harus Undang-undang," tuturnya.

Terpisah, Serikat Pengajar HAM (Sepaham) juga menyuarakan penolakan secara terbuka, kemarin (22/9). Serikat yang datang dari berbagai universitas di Indonesia itu menilai bahwa pemerintah sudah gagal menurunkan angka kasus, sehingga jaminan bahwa pilkada nanti akan minim kasus juga sangat diragukan.

Baca Juga:  Kuasa Hukum KPU: MK Tidak Akan Diskualifikasi Jokowi – Ma’ruf

"Sampai saat ini kami sangat pesimis ya dengan ketentuan-ketentuan itu. Dari dulu pemerintah sudah memberi anjuran agar masyarakat mematuhi ini-itu, tapi tindakan riil untuk mengatasi atau mengurangi tidak ada," tegas Ketua Pusham Universitas Islam Indonesia (UII) Eko Riyadi.

Satgas yang akan dibentuk khusus untuk pilkada serentak pun dinilai percuma. Karena satgas yang sudah ada kemarin juga tidak berhasil memperkecil laju penularan. Eko menilai bahwa diteruskannya Pilkada hanya menunjukkan memobilisasi masyarakat demi legitimasi prosedular beberapa orang yang ingin kekuasaan politik saja.

Senada, Herlambang P Wiratama dari Pusham Fakultas Hukum Univesitas Airlangga (Unair) pun mempertanyakan basis saintifikasi satgas ini. "Seolah dengan satgas, masalah akan selesai. Tapi nggak ada evaluasi kenapa kasus meningkat terus, apa faktor gagalnya," ujar Herlambang.

Sepaham pun mendorong agar pemerintah menunda hingga bisa menunjukkan komitmen politik yang jelas untuk menurunkan angka kasus Covid-19. Tentu dengan cara yang baru, karena cara lama hingga kini terbukti tidak berhasil. Malah jumlah kasus tembus 4000 dalam sehari.(far/syn/deb/dee/jpg)

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari