JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kasus pilkada Sabu Raijua mengungkap problem pencatatan kewarganegaraan. Ditjen Dukcapil Kemendagri mendorong adanya pembenahan sistem terkait agar kasus serupa tidak terulang.
Hal itu disampaikan Dirjen Dukcapil Zudan Arif Fakrulloh saat menghadiri simposium yang digelar Kementerian Hukum dan HAM kemarin (18/5). Zudan mengatakan, salah satu persoalan yang perlu dibenahi adalah pengintegrasian sistem kewarganegaraan dengan dukcapil. Menurut dia, data yang tidak terintegrasi terbukti menimbulkan persoalan.
Kasus Sabu Raijua di Pilkada 2020, misalnya. Pemenang pesta demokrasi itu justru diketahui berpaspor Amerika. Saat itu calon atas nama Orient P. Riwu Kore berhasil mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP) sebagai syarat mendaftar, akibat tidak adanya laporan kepemilikan paspor Amerika.
Karena sistem adminduk selama ini pasif berbasis laporan, dukcapil tidak mengetahuinya. Ke depan, Zudan berharap memiliki layanan notifikasi aktif. "Kalau ada yang melepas kewarganegaraan, terinformasi ke dukcapil," ujarnya. Sebaliknya, jika ada yang mendapat paspor Indonesia, notifikasi juga tersampaikan ke dukcapil untuk diproses datanya.
Hal lain yang perlu dibenahi adalah mekanisme kewarganegaraan bagi anak hasil kawin campur. Dalam ketentuan sekarang, anak hasil kawin campur diperbolehkan memilih kewarganegaraan pada usia 21 tahun.
Dalam praktiknya, aturan tersebut juga menjadi persoalan. Dalam berbagai kasus, banyak anak kawin campur yang memegang paspor negara lain sebelum berusia 21 tahun. Namun, dalam kerangka hukum Indonesia, pemilihan kewarganegaraan dilakukan pada usia 21 tahun.
Alhasil, muncul kasus anak kawin campur yang memiliki paspor asing, tapi juga punya KTP. Zudan menyebut kasus-kasus seperti itu rawan dijadikan isu politik pada 2024. "Punya paspor Amerika Serikat pada usia 20 tahun, tapi kok ikut mencoblos," ucapnya.
Karena itu, dia menyarankan untuk dilakukan pembenahan. Dalam kasus anak kawin campur, Zudan menyarankan agar Indonesia menerapkan konsep perlindungan optimal. Yakni, semuanya berstatus WNI selama yang bersangkutan tidak mendeklarasikan sebagai WNA. "Selama ini terbalik. Apabila tidak mendeklarasikan (sebagai WNI), ia menjadi WNA," tegasnya.(far/c18/bay/jpg)