JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Gerakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang diprakarsai sejumlah tokoh nasional, menuai sorotan dari berbagai kalangan. Tak terkecuali pengamat politik.
Salah satunya adalah pengamat politik dari Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens. Ia memandang, lahirnya KAMI karena lemahnya oposisi parlemen terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Artinya sangat memungkinkan bangkitnya oposisi jalanan.
“Dalam demokrasi yang sehat, oposisi jalanan biasanya dimainkan oleh kekuatan civil society dan benar-benar mencerminkan aspirasi publik yang tak tersalurkan melalui mekanisme prosedural kekuasaan,” ujar Boni dalam keterangan tertulis yang diterima Jawapos.com, Selasa (18/8).
Namun, kata Boni, KAMI ini oposisi jalanan yang terpisah dari masyarakat. Para pengusungnya adalah para mantan elite, mulai dari mantan politikus, birokrat, agama, akademisi kampus, dan ada juga mantan aktivis yang sempat menikmati kekuasaan pada periode pemerintahan sebelumnya.
Menurut Boni, kehadiran broker politik dan pemburu rente. Di dalam demokrasi electoral sudah menjadi tradisi umum di negara yang demokrasinya belum begitu stabil. Karena itu, ia mengaku cemas, sebab jangan-jangan KAMI ini hanya kelompok yang ingin mencari untung sesaat.
“Alasannya jelas, para deklarator adalah orang-orang yang dikenal publik karena kebiasaan mereka mencibir pemerintah di media. Meski demikian, gerakan mereka tetap kita hargai sebagai bagian dari kebebasan demokrasi,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Boni juga menilai, KAMI yang dideklarasikan pada 18 Agustus 2020 tidak lebih dari sekedar oposisi jalanan. Pasalnya, isu yang diusung semuanya bukan hal yang baru, mereka juga tidak mempunyai basis dukungan massa yang memadai, dan legitimasi moral mereka lemah di mata masyarakat.
“Saya menduga, KAMI dibentuk hanya untuk membangun bargaining position yang strategis untuk target Pilpres 2024. Tentu ada salah satu dari tokoh-tokohnya yang berambisi menjadi capres atau cawapres,” ungkapnya.
“Kalaupun tidak ada, setidaknya mereka bisa menjadi kekuatan yang layak diperhitungkan oleh para kandidat. Artinya, target KAMI politik pragmatis. Saya skeptis dengan misi mereka menyelamatkan Indonesia,” tambahnya.
Boni mengatakan, sejauh ini, KAMI belum berpotensi menjadi ancaman bagi stabilitas politik dan keamanan negara. Namun, dalam perjalanan waktu ke depan, KAMI bisa menjadi ancaman. Ada beberapa alasan untuk itu.
Pertama, sebagian kelompok pendukung KAMI adalah kelompok ideologis yang pada periode Pemilu 2019, termasuk Pilkada DKI Jakarta 2017, memainkan politik identitas. Kalau KAMI ikut mengamplifikasi politik identitas, maka gerakan mereka berpotensi menjadi ancaman bagi ketahanan ideologi dan demokrasi Pancasila.
Kedua, lanjut Boni, KAMI muncul di tengah kesibukan pemerintah menangani wabah Covid-19. Gerekan mereka berpotensi menguras energi pemerintah dan berpotensi mengganggu jalannya pemerintahan.
“Ketiga, kalau KAMI ikut bermain dalam kampanye pilkada serentak Desember 2020 yang di depan mata, maka ada kemungkinan kehadiran KAMI menjadi masalah tersendiri. Propaganda antipemerintah akan terus menjadi narasi politik yang dominan baik di tingkat lokal maupun nasional,” ujarnya.
Keempat, masih kata Boni, kalau KAMI memang mempunyai motivasi dan intensi yang baik untuk merawat demokrasi, sebaiknya KAMI memberkan evaluasi dan kritik secara komprehensif dalam bentuk kajian yang akademik dan memadai tentang kelemahan dan kekuatan pemerintah dan kebijakannya.
Kelima, sejauh ini, ada kesan KAMI adalah barisan sakit hati yang sekedar ingin melawan pemerintah karena faktor dendam politik. Stigma itu tak mudah dihapus. Hanya KAMI sendiri yang bisa meluruskan persepsi macam itu.
“Itu sebabnya saya menilai penting sekali KAMI mengeluarkan evaluasi yang komprehensif tentang kinerja pemerintah dengan data yang kuat dan tetap mengikuti kaidah ilmiah. Tanpa itu, lagi-lagi, KAMI hanyalah laskar sakit hati yang memobilisasi gerakan oposisi jalanan,” ungkapnya.
Meski demikian, kehadiran KAMI harus tetap menjadi perhatian institusi penegak hukum dan apparat keamanan. Bagaimanapun, kelompok ini tentu membutuhkan dukungan finansial yang memadai selain konsolidasi nonmaterial yang barangkali sifatnya ideologis.
“Maka, perlu ada monitoring siapa yang mendanai. Selain itu, kehadiran KAMI juga perlu dikaji dari aspek analisis ancaman untuk mengukur potensi ancaman yang mungkin muncul dalam dinamika politik ke depan,” pungkasnya.
Sumber: Antara/Jawapos.com
Editor: Hary B Koriun