JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan terkait pencalonan mantan narapidana korupsi untuk maju dalam gelaran Pilkada. Dalam putusan MK, koruptor diberi jeda lima tahun untuk bisa mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah.
Perwakilan empat partai politik itu berkomitmen untuk tidak mencalonkan mantan narapidana korupsi dalam Pilkada 2020. Hal ini diutarakan ketika mereka berkunjung ke Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu (11/12).
Bendahara Umum PKS Mahfudz Abdurrahman menyatakan, partainya berkomitmen untuk tidak mencalonkan atau memberikan dukungan kepada calon kepala daerah yang terlibat kejahatan korupsi.
Hal senada juga dikatakan oleh Wakil Bendahara Umum bidang internal PDIP Rudianto Tjen. Menurutnya, PDIP tegas dan konsisgen tjdak akan mencalonkan mantan koruptor untuk menjabat di legislatif maupun eksekutif.
"Tegas itu. Saya pikir kita sudah lakukan seleksi dan akan kita umumkan semuanya," kata Rudianto Tjen.
Sementara itu, Sekjen Partai Golkar Lodewijk Paulus menyambut baik keputusan MK. Apalagi, Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto memiliki gerakan Golkar Bersih.
"Kami menghormati keputusan dari MK. Kedua kita juga harus menghormati hak asasi setiap warga negara. Ketiga tentunya kita juga harus menghormati kebijakan Partai Golkar, yaitu gerakan Golkar Bersih," ungkap Lodewijk.
Pernyataan senada pun dilontarkan, sekjen PKB Hasanuddin Wahid. Dia mengklaim, partainya tidak mengajukan mantan koruptor pada Pileg 2019. Kebijakan ini akan dilanjutkan pada Pilkada 2020.
“Cek saja tahun 2019 kemarin itu partai mana yang mencalonkan mantan eks koruptor? Sekali lagi disitu tidak ada PKB. Kalau di Pileg saja tidak ada apalagi di Pilkada,” tegasnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Pandjaitan yang menegaskan bahawa tidak akan mengusung bekas narapidana kasus korupsi.
"Nah oleh karena itu jika ada calon-calon yang dari diusung atau muncul yang berkaitan dengan korupsi tentu kami akan mempunyai pikiran kuat untuk tolak itu," ujar Hinca di JCC, Jakarta, Rabu (11/12).
Hinca menegaskan, alasan menolak karena Partai Demokrat mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia. Bahkan kader partai yang melakukan korupsi juga mendapatkan sanksi tegas.
"Artinya sejak awal Demokrat ini lakukan upaya maksimal pemberantasan korupsi," katanya.
Hinca juga menuturkan, Demokrat menginginkan calon kepala daerah yang diusungnya tidak memiliki cacat hukum. Misalnya pernah menjadi narapidana kasus korupsi.
"Kita ingin pastikan bahwa yang kami usung calon-calon pemimpin ini adalah yang bersih, yang tidak kotor dengan korupsi," ungkapnya.
Sekadar informasi, KPU menerbitkan PKPU Nomor 18/2019 yang tidak melarang mantan narapidana kasus korupsi untuk menjadi kepala daerah.
PKPU itu tercatat dengan Nomor 18 tahun 2019 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Dan/Atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. PKPU ditetapkan pada 2 Desember 2019.
Ketentuan soal eks koruptor bisa dilihat pada Pasal 4 tentang ‘Persyaratan Calon’. Pada huruf h, hanya dua mantan narapidana yang dilarang ikut Pilkada, yaitu bandar narkoba dan kejahatan seksual pada anak.
"Bukan mantan terpidana bandar narkoba dan bukan mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak,” bunyi PKPU tersebut.
Meski mantan narapidana kasus korupsi bisa maju, KPU menambahkan satu pasal dalam Peraturan KPU ini dengan mengimbau partai politik untuk tidak mencalonkan eks napi korupsi dalam Pilkada. Tepatnya dalam Pasal 3A angka 4, sebagai berikut:
Bakal calon perseorangan yang dapat mendaftar sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota diutamakan bukan mantan terpidana korupsi.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal