Jokowi Diminta Tak Ragu Terbitkan Perppu KPK

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Desakan elemen masyarakat agar Presiden Joko Widodo (Jokowi)
menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK
semakin gencar. Namun, sejak partai koalisi pendukung Jokowi dalam
Pilpres 2019 menolak, hingga kini belum jelas apakah Perppu jadi
diterbitkan atau tidak.

Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti
menyatakan, dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor
138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 disebutkan, Perppu bisa
diterbitkan salah satunya terkait adanya kebutuhan mendesak untuk
menyelesaikan permasalahan. Hal ini pun telah nampak jika Presiden ingin
menerbitkan Perppu KPK.

“Perppu juga bukan anomali, banyak
Presiden pernah menggunakan hak ini. Pada empat periode pemerintahan
Presiden Soekarno ada 144 Perppu ditetapkan. Pada masa pemerintahan
Presiden Soeharto sebanyak 8 Perppu, Presiden B.J. Habibie sebanyak 3
Perppu, Presiden Abdurrahman Wahid 3 Perppu, Presiden Megawati 4 Perppu,
Presiden SBY 20 Perppu dan Presiden Jokowi 2 Perppu,” kata Bivitri saat
dikonfirmasi, Kamis (3/10).

- Advertisement -

Bivitri menjelaskan, selama lima
tahun terakhir masa pemerintahan Jokowi-JK, Presiden Jokowi pernah
mengerluarkan Perppu kebiri dan Perppu Ormas. Menurutnya, yang paling
fenomenal terkait Perppu Ormas untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI).

“Ini hanya contoh untuk menunjukkan bahwa ini memang lazim dan sudah digunakan,” tegas Bivitri.

- Advertisement -

Pendiri
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) ini menyebut, tak lazim jika
Perppu KPK melanggar konstitusi. Pasalnya beberapa Perppu telah
dikeluarkan pada masa Pemerintahan Jokowi-JK, bahkan itu tidak disertai
tiga unsur yang diatur dalam putusan MK.

Bivitri memandang, adanya
dukungan penolakan penerbitan Perppu KPK disinyalir karena menyentuh
hajat hidup para elite politik. Jadi bukan hal baru jika Presiden harus
menerbitkan Perppu.

“Mungkin ‘perasaan’ ini muncul karena kalau
soal KPK memang banyak menyentuh hajat hidup para elite politik. Kalau
Perppu lain dianggap enggak masalah, begitu soalnya KPK langsung
kebakaran jenggot,” ucap Bivitri.

Kendati penerbitan Perppu KPK
merupakan pertimbangan subjektif presiden. Namun ini juga perlu
pertimbangan dari DPR agar pertimbangan diterbitkannya Perppu KPK
menjadi objektif.

“Karena Perppu kemudian harus dibahas oleh DPR
untuk diterima atau tidak diterima sebagai UU segera setelah DPR bisa
bersidang. Kok begitu? karena materi muatannya adalah materi muatan UU,
logikanya, harus ada persetujuan wakil rakyat untuk itu,” jelas Bivitri.

Sementara
itu, pakar hukum tata negara Refly Harun memandang, penerbitan Perppu
KPK merupakan hak subyektif Presiden Jokowi. Menurutnya, unsur
kegentingan yang tercantum dalam putusan MK untuk menerbitkan Perppu
sudah terpenuhi.

“Ini sampai ada korban jiwa segala. Tetapi sekali
lagi saya katakan untuk menilai itu genting apa enggak biar DPR nanti
menilainya. Kalau saya melihat genting subyektif. Karena KPK mau
dilumpuhkan dengan UU ini,” terang Refly.

Refly menuturkan, Perppu
yang selama ini telah dikeluarkan oleh Presiden tidak melihat pada
unsur kegentingan. Namun, apa yang terjadi sekarang, dinilai unsur
kegentingan itu telah terpenuhi.

Dia pun mencontohkan, terbitnya
Perppu Ormas tidak ada unsur kegentingan. Menurutnya, itu terbit karena
tingginya eskalasi politik.

“Misalnya ada Perppu ormas dulu.
Enggak ada korban jiwa, apa kegentingannya? Yang ada hanya persoalan
politik pasca Pilkada DKI. Jelas itu persoalan politik, Perppu Ormas,”
ucap Refly.

Oleh karenanya, Refly memandang unsur pelemahan
terhadap kinerja KPK dan jatuhnya korban jiwa merupakan faktor
kegentingan agar Presiden Jokowi dapat menerbitkan Perppu KPK. Dia pun
enggan kinerja KPK dilemahkan dengan berlakunya UU KPK hasil revisi.
“Karena KPK mau dilumpuhkan dengan UU ini,” tukas Refly.

Editor: Deslina
Sumber: jawapos.com

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Desakan elemen masyarakat agar Presiden Joko Widodo (Jokowi)
menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK
semakin gencar. Namun, sejak partai koalisi pendukung Jokowi dalam
Pilpres 2019 menolak, hingga kini belum jelas apakah Perppu jadi
diterbitkan atau tidak.

Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti
menyatakan, dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor
138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 disebutkan, Perppu bisa
diterbitkan salah satunya terkait adanya kebutuhan mendesak untuk
menyelesaikan permasalahan. Hal ini pun telah nampak jika Presiden ingin
menerbitkan Perppu KPK.

“Perppu juga bukan anomali, banyak
Presiden pernah menggunakan hak ini. Pada empat periode pemerintahan
Presiden Soekarno ada 144 Perppu ditetapkan. Pada masa pemerintahan
Presiden Soeharto sebanyak 8 Perppu, Presiden B.J. Habibie sebanyak 3
Perppu, Presiden Abdurrahman Wahid 3 Perppu, Presiden Megawati 4 Perppu,
Presiden SBY 20 Perppu dan Presiden Jokowi 2 Perppu,” kata Bivitri saat
dikonfirmasi, Kamis (3/10).

Bivitri menjelaskan, selama lima
tahun terakhir masa pemerintahan Jokowi-JK, Presiden Jokowi pernah
mengerluarkan Perppu kebiri dan Perppu Ormas. Menurutnya, yang paling
fenomenal terkait Perppu Ormas untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI).

“Ini hanya contoh untuk menunjukkan bahwa ini memang lazim dan sudah digunakan,” tegas Bivitri.

Pendiri
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) ini menyebut, tak lazim jika
Perppu KPK melanggar konstitusi. Pasalnya beberapa Perppu telah
dikeluarkan pada masa Pemerintahan Jokowi-JK, bahkan itu tidak disertai
tiga unsur yang diatur dalam putusan MK.

Bivitri memandang, adanya
dukungan penolakan penerbitan Perppu KPK disinyalir karena menyentuh
hajat hidup para elite politik. Jadi bukan hal baru jika Presiden harus
menerbitkan Perppu.

“Mungkin ‘perasaan’ ini muncul karena kalau
soal KPK memang banyak menyentuh hajat hidup para elite politik. Kalau
Perppu lain dianggap enggak masalah, begitu soalnya KPK langsung
kebakaran jenggot,” ucap Bivitri.

Kendati penerbitan Perppu KPK
merupakan pertimbangan subjektif presiden. Namun ini juga perlu
pertimbangan dari DPR agar pertimbangan diterbitkannya Perppu KPK
menjadi objektif.

“Karena Perppu kemudian harus dibahas oleh DPR
untuk diterima atau tidak diterima sebagai UU segera setelah DPR bisa
bersidang. Kok begitu? karena materi muatannya adalah materi muatan UU,
logikanya, harus ada persetujuan wakil rakyat untuk itu,” jelas Bivitri.

Sementara
itu, pakar hukum tata negara Refly Harun memandang, penerbitan Perppu
KPK merupakan hak subyektif Presiden Jokowi. Menurutnya, unsur
kegentingan yang tercantum dalam putusan MK untuk menerbitkan Perppu
sudah terpenuhi.

“Ini sampai ada korban jiwa segala. Tetapi sekali
lagi saya katakan untuk menilai itu genting apa enggak biar DPR nanti
menilainya. Kalau saya melihat genting subyektif. Karena KPK mau
dilumpuhkan dengan UU ini,” terang Refly.

Refly menuturkan, Perppu
yang selama ini telah dikeluarkan oleh Presiden tidak melihat pada
unsur kegentingan. Namun, apa yang terjadi sekarang, dinilai unsur
kegentingan itu telah terpenuhi.

Dia pun mencontohkan, terbitnya
Perppu Ormas tidak ada unsur kegentingan. Menurutnya, itu terbit karena
tingginya eskalasi politik.

“Misalnya ada Perppu ormas dulu.
Enggak ada korban jiwa, apa kegentingannya? Yang ada hanya persoalan
politik pasca Pilkada DKI. Jelas itu persoalan politik, Perppu Ormas,”
ucap Refly.

Oleh karenanya, Refly memandang unsur pelemahan
terhadap kinerja KPK dan jatuhnya korban jiwa merupakan faktor
kegentingan agar Presiden Jokowi dapat menerbitkan Perppu KPK. Dia pun
enggan kinerja KPK dilemahkan dengan berlakunya UU KPK hasil revisi.
“Karena KPK mau dilumpuhkan dengan UU ini,” tukas Refly.

Editor: Deslina
Sumber: jawapos.com

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya