HIDUP dalam pertikaian mengatasnamakan sektarian, bukanlah hal yang mudah. Identitas yang memunculkan agama sebagai bahan yang digunakan untuk bertikai karena masing-masing tak mau menerima perbedaan, membuat ketakutan dan kehancuran. Apalagi jika politik ikut bermain di sana.
Itu yang dialami oleh Danny Flynn. Di usia 19 tahun, saat dia sedang giat berlatih tinju di Sasana Holy Family, dia harus menerima kenyataan bahwa masa depannya akan suram karena berada dalam pusaran konflik agama. Hampir setiap saat bom meledak di Belfast, ibu kota Irlandia Utara, yang sudah dibagi dua. Timur untuk minoritas Katolik, dan barat untuk mayoritas Protestan. Dalam usia yang sangat muda itu, dia dipaksa masuk ke dalam Irish Republican Army (IRA), organisasi paramiliter bentukan kelompok Katolik yang anti-Inggris, meski statusnya “relawan”.
Dalam sebuah peristiwa kekerasan yang melibatkan anak-anak muda relawan IRA –yang juga banyak dari mereka yang berlatih tinju— dengan polisi, Danny terlibat. Beberapa temannya tewas dan dia harus menjalani hukuman selama 14 tahun di penjara. Ada unsur jebakan dalam peristiwa itu, yang membuatnya harus meninggalkan cinta masa remajanya, Maggie, tanpa memintanya untuk menunggu. Selama menjalani hukuman itu, hanya wajah Maggie yang membuat dia bertahan. Di sana, di dalam kesepian dan dinginnya tembok penjara, dia juga merenung: untuk apa perang yang tak berkesudahan hanya karena relasi politik dan agama yang berbeda ini?
Saat dia keluar dari penjara dan kembali ke rumahnya, perang antara gerilyawan IRA yang dipimpin Joe Hamill, ayah Maggie, dengan pihak Protestan yang didukung Inggris, belum selesai. Bom masih terus meledak dan senjata masih saja menyalak. Polisi menjadi salah satu musuh utama mereka karena dianggap berada di pihak seberang. Tentara Inggris yang datang sebagai penjaga perdamaian –dengan tank dan helikopter yang selalu terbang di atas Belfast— juga dianggap musuh. Upaya damai kedua belah pihak, yang meskipun terus dilakukan, mengalami jalan buntu. Namun pelan-pelan Joe mulai “mengalah”, namun itu dianggap lemah oleh salah seorang kolonel terdekatnya di IRA, Harry. Suami adik Joe ini sangat keras, buas, haus darah, dan tak ingin ada negosiasi damai. Alasan dia, ribuan gerilawan IRA sudah tewas dalam pertikaian itu, termasuk yang berada dalam penjara. Dia juga juga berdalih, Katolik adalah pemilik tanah, sedang Protestan pendatang. Dialah dalang dari semua bom dan penyerangan, yang tak bisa dicegah oleh Joe, yang menjadi penghalang perjanjian ke arah perdamaian.
Danny tahu, Harry-lah yang menjebak dia dan teman-temannya 14 tahun lalu, namun dia tak ingin menyimpan dendam. Danny ingin antara Katolik-Protestan kembali damai seperti dulu sebelum pertikaian terjadi. Dia menghidupkan kembali Sasana Holy Family bersama pelatihnya sebelum masuk penjara, Ike Neir. Sasana itu dibangun kembali dengan label “non-sektarian”. Agama apa pun boleh masuk sasana, termasuk Katolik-Protestan yang bertikai. Di mata Harry, apa yang dilakukan Danny dan Ike ini sebagai bentuk perlawanan terhadap dirinya dan Joe. Danny membangun sasana tinju karena ingin damai, Harry tidak. Bagi Harry, perang harus terus terjadi demi cita-cita Irlandia Utara yang terbebas dari cengkeraman Inggris yang bersatu dalam Britania Raya. Danny dianggapnya sebagai pahlawan kesiangan dengan apa yang dilakukannya.
Harry semakin marah setelah tahu Danny kembali berhubungan dengan Maggie yang telah menikah dengan Thomas –salah satu teman Danny– yang kini masih berada dalam penjara. Harry melihat hubungan Danny dan Maggie sebagai cara untuk merongrong otoritas Joe, yang dianggapnya juga mulai melunak. Ada peraturan jelas yang tak boleh dibantah: para istri harus tetap setia kepada suaminya yang berada dalam penjara atas perjuangannya sebagai gerilyawan IRA. Harry menganggap Danny membuat Maggie berkhianat. Namun, kepada ayahnya, Maggie menjelaskan: “Pernikahan kami bahkan sudah berakhir sebelum Liam lahir!”. Maggie menganggap mereka menikah karena kesepakatan politik.
Kepada Maggie, Danny mengakui, salah satu alasan mengapa dia kembali ke Belfast setelah keluar dari penajra adalah karena sang kekasih masa remajanya itu. “Seluruh perasaanku masih utuh, untuk dirimu. Tapi jika kamu menginginkan aku pergi demi kebaikan Belfast, aku akan pergi,” kata Danny ketika mereka bertemu secara diam-diam dan rahasia.
Pada situasi yang sulit, Maggie akhirnya meminta Danny pergi meninggalkan Belfast karena sang ayah –yang tahu anaknya tetap mencintai Danny— tak bisa melindungi Danny dari Harry dan orang kepercayaannya. Maggie melakukan itu setelah dia tahu anaknya, Liam, yang membakar sasana saat terjadi kerusuhan. Liam marah karena menyangka Danny akan membawa ibunya lari keluar dari Belfast dan meninggalkannya.
“Seluruh hidupku sudah diambil oleh Harry! Aku tak akan pergi jika itu karena dia. Aku akan menghadapinya!” kata Danny.
Dan, peristiwa tragis itu akhirnya terjadi.
The Boxer adalah sebuah film yang disutradarai Jim Sheridan dan naskahnya ditulis bersama Terry George pada tahun 1997. Dibintangi oleh Daniel Day-Lewis (Danny), Emily Watson (Maggie), Brian Cox (Joe Hamill), dan Gerard McSorley (Harry) dengan latar belakang pertikaian agama yang terjadi di Irlandia Utara pada pertengahan 1980-an. Selain The Boxer, banyak film dengan latar belakang perlawanan IRA di Irlandia Utara, seperti The Devil Own (sutradara Alan J Pakula dengan bintang Bradd Pitt dan Horisson Ford, 1997), atau yang terbaru, Belfast (disutradarai Kenneth Branagh dan dibintangi Caitríona Balfe, Judi Dench, dan Jamie Dornan, 2021).
The Boxer adalah bagian kecil dari yang digambarkan dalam pertikaian panjang ini. Seperti ditulis banyak sumber, konflik Irlandia Utara –yang dalam bahasa Inggris dijuluki The Troubles dan Na Trioblóidí dalam bahasa Irlandia, arti harfiah “Masalah”– adalah sebuah konflik etno-nasionalis di Irlandia Utara selama akhir abad ke-20. Konflik ini dimulai pada akhir tahun 1960-an dan secara luas dianggap telah berakhir melalui Perjanjian Jumat Agung pada tahun 1998. Meskipun pada umumnya konflik ini terjadi di Irlandia Utara, kekerasan juga meluas ke beberapa bagian di Republik Irlandia, Inggris, dan daratan Eropa karena para gerilyawan IRA menyusup dan membangun kekuatan di banyak negara.
Konflik ini awalnya bersifat politis dan nasionalistik, dan didorong oleh peristiwa sejarah. Konflik ini juga memiliki dimensi etnis dan sektarian, meski banyak yang mengatakan bukan konflik antaragama. Agama dianggap hanya “terbawa” karena dua kelompok yang bertikai memang memeluk dua agama besar di Eropa tersebut. Salah satu isu utama adalah status konstitusional Irlandia Utara. Pihak Unionis/loyalis Inggris, yang mayoritas Protestan dan memiliki kewarganegaraan Britania ingin Irlandia Utara tetap berada di bawah Britania Raya. Di pihak lain, kaum Nasionalis Irlandia/Republiken, yang kebanyakan orang Katolik, ingin Irlandia Utara meninggalkan Britania Raya dan bergabung dengan Irlandia Bersatu (Republik Irlandia).
Pihak-pihak utama yang terlibat dalam konflik ini adalah organisasi paramiliter IRA dan Tentara Pembebasan Nasional Irlandia (INLA); paramiliter loyalis seperti Pasukan Sukrelawan Ulster (UVF) dan Asosiasi Pertahanan Ulster (UDA); pasukan keamanan negara Britania Raya —termasuk Angkatan Darat Britania dan Royal Ulster Constabulary (RUC); dan aktivis politik maupun politisi. Pasukan keamanan Republik Irlandia memainkan peran yang lebih kecil. Lebih dari 3.500 orang tewas dalam konflik ini.
Lalu sebuah pertanyaan muncul: tidakkah agama diturunkan agar manusia lebih baik dalam banyak hal, dan bukan digunakan sebagai alasan untuk menghancurkan manusia (agama) lain hanya karena merasa yang paling benar?***