Jumat, 22 November 2024

Urgensi Layanan Sosial Terpadu

- Advertisement -

Tujuan terbentuknya negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yakni memajukan kesejahteraan umum. Persoalan kesejahteraan sosial sebagaimana tercantum dalam pasal 34 UUD 1945 bahwasanya fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan sosial bagi penduduk miskin dan rentan miskin sebagai prioritas dalam penanggulangan kemiskinan. Prioritas tersebut dilaksanakan melalui percepatan penurunan tingkat kemiskinan dan pertumbuhan yang merata bagi 40 persen penduduk berpendapatan terendah, termasuk melalui program jaminan dan bantuan sosial.

- Advertisement -

Untuk mengukur kemiskinan, Badan Pusat Statistik menggunakan konsep kemampuan memenuhi keperluan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi keperluan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan.

Meski pemerintah pusat dan daerah telah menjalankan berbagai program bantuan sosial, hasilnya belum optimal, seperti terlihat dari masih tingginya angka kemiskinan, kerentanan, dan ketimpangan. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya keterpaduan penyelenggaraan layanan, belum optimalnya kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola program, serta rendahnya akurasi sasaran program.

Walaupun angka kemiskinan di Provinsi Riau secara keseluruhan masih di bawah nasional yakni persentase penduduk miskin di Riau Maret 2019 sebesar 7,08 persen, mengalami penurunan sebesar 0,31 poin jika dibandingkan dengan Maret 2018. Namun, masih ada daerah di Provinsi Riau yakni Kabupaten Kepulauan Meranti yang memiliki tingkat kemiskinan mencapai 28,99 persen dengan Belanja Kesejahteraan (APBD fungsi pendidikan, kesehatan, perumahan dan fasilitas umum serta APBD fungsi perlindungan sosial) yang masih relatif rendah dibanding daerah lain.

- Advertisement -

Secara nasional, Provinsi Riau memiliki derajat otonomi fiskal yang relatif tinggi yang berarti memiliki kemandirian fiskal yang tinggi. Dengan persentase Derajat Otonomi Fiskal diatas 40 persen, di atas rata-rata nasional. Ini menunjukkan ketergantungan pada transfer dana pusat, Provinsi Riau cenderung lebih rendah dibanding daerah lain.

Baca Juga:  Pemimpin Perubahan

Selain itu, Provinsi Riau memiliki ruang fiskal cukup tinggi (di atas 65 persen, jauh di atas rata-rata nasional) yang berarti diskresi untuk mendanai belanja prioritas (terutama jika dialokasikan untuk program penanganan kemiskinan) cenderung baik.

Untuk porsi belanja modal Provinsi Riau juga relatif tinggi dibanding daerah lain (33 persen, jauh di atas rata-rata nasional). Ini adalah jaminan akan keberlanjutan belanja penanganan kemiskinan. Dengan belanja pegawai sedikit di atas rata-rata nasional menjadi pembanding bagi keharusan untuk lebih memprioritaskan belanja penanganan persoalan kemiskinan.

Pencapaian target sasaran kemiskinan sebagaimana disebutkan sangat bergantung pada efektivitas pelaksanaan berbagai program yang dilaksanakan. Oleh karena itu mengintegrasikan strategi, kebijakan, program, dan kegiatan penanggulangan kemiskinan secara keseluruhan ke dalam dokumen perencanaan dan penganggaran dengan melakukan sinkronisasi dan sinergi antara “intervensi pusat” dan “intervensi daerah”, dan antara berbagai intervensi daerah dan SKPD ke dalam proses perencanaan pembangunan.

Dalam hal kondisi penanggulangan kemiskinan, penelitian dari Marvin Ravallion (Bank Dunia) Tahun 2016 menyebutkan fakta di tingkat global bahwa di negara-negara berkembang secara umum, mereka yang miskin dan yang menerima program perlindungan sosial bukan orang yang sama. Ini memberikan gambaran kepada kita bahwa persoalan yang kita hadapi dalam program penanggulangan kemiskinan adalah persoalan tidak tepat sasaran. Masih banyaknya inclusion and exclusion error data fakir miskin adalah menjadi salah satu sebab program perlindungan menjadi tidak tepat sasaran.

Hal lain yang membuat penurunan angka kemiskinan yang stagnan adalah tidak terintegrasinya program-program penanggulangan kemiskinan sehingga Keluarga Penerima Manfaat (KPM) tidak mendapatkan akses yang maksimal terhadap program penanggulangan kemiskinan yang dibutuhkan. Hasil simulasi dari Tim Kemiskinan Bank Dunia (2014) tentang dampak bantuan sosial saat ini dibandingkan dengan bantuan sosial yang terintegrasi terhadap penurunan persentase penduduk miskin cukup signifikan. Simulasi integrasi transfer tunai dua program jaminan sosial yakni program PKH dan BSM, rata-rata transfer integrasi PKH dan BSM yakni Rp216.000/RT/bulan atau sekitar 18 persen dari rata-rata pengeluaran RT 10 persen termiskin (Rp1,2 juta). Sementara hasil simulai integrasi transfer tunai 3 program jaminan sosial yakni program PKH, BSM dan Raskin, rata-rata transfer integrasi PKH-BSM-Raskin sebesar Rp285.000/RT/bulan atau sekitar 23 persen dari rata-rata pengeluaran RT 10 persen termiskin (Rp1,2 juta). Dari hasil simulai Tim Kemiskinan Bank Dunia tersebut diambil kesimpulan bahwa hasil integrasi program jaminan sosial selama satu tahun dengan dua program jaminan sosial menghasilkan penurunan persentase angka kemiskinan sebesar 1,27 persen. Sementara dengan integrasi tiga program jaminan sosial saja per-rumah tangga miskin dapat mengurai persentase angka kemiskinan sebesar 1,73 persen.

Baca Juga:  Tantangan Kesetaraan Gender

Maka diperlukan sebuah sistem yang dapat mengintegrasikan seluruh program perlindungan sosial baik yang ada di pemerintah maupun non-pemerintah, untuk memberikan akses bagi masyarakat miskin yang memerlukan program perlindungan sosial. Keberadaan layanan sosial yang terpadu sangat membantu masyarakat maupun pemerintah dalam menyusun program-program perlindungan sosial yang lebih tepat sasaran. Selain itu, pengembangan layanan sosial terpadu yang responsif di daerah juga dalam rangka mendukung akselerasi pengentasan kemiskinan serta ketepatan sasaran penerima manfaat.

Akselerasi penurunan tingkat kemiskinan harus difokuskan pada wilayah-wilayah kantong kemiskinan dengan mengoptimalkan updating pemanfaatan data. Perlu adanya inovasi daerah yang didukung dengan kerangka regulasi, penguatan kelembagaan, dan optimalisasi berbagai sumber pendanaan. Akan terselenggara jika didukung komitmen pimpinan daerah terhadap akselerasi program pengentasan kemiskinan.***

Tujuan terbentuknya negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yakni memajukan kesejahteraan umum. Persoalan kesejahteraan sosial sebagaimana tercantum dalam pasal 34 UUD 1945 bahwasanya fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan sosial bagi penduduk miskin dan rentan miskin sebagai prioritas dalam penanggulangan kemiskinan. Prioritas tersebut dilaksanakan melalui percepatan penurunan tingkat kemiskinan dan pertumbuhan yang merata bagi 40 persen penduduk berpendapatan terendah, termasuk melalui program jaminan dan bantuan sosial.

- Advertisement -

Untuk mengukur kemiskinan, Badan Pusat Statistik menggunakan konsep kemampuan memenuhi keperluan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi keperluan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan.

Meski pemerintah pusat dan daerah telah menjalankan berbagai program bantuan sosial, hasilnya belum optimal, seperti terlihat dari masih tingginya angka kemiskinan, kerentanan, dan ketimpangan. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya keterpaduan penyelenggaraan layanan, belum optimalnya kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola program, serta rendahnya akurasi sasaran program.

- Advertisement -

Walaupun angka kemiskinan di Provinsi Riau secara keseluruhan masih di bawah nasional yakni persentase penduduk miskin di Riau Maret 2019 sebesar 7,08 persen, mengalami penurunan sebesar 0,31 poin jika dibandingkan dengan Maret 2018. Namun, masih ada daerah di Provinsi Riau yakni Kabupaten Kepulauan Meranti yang memiliki tingkat kemiskinan mencapai 28,99 persen dengan Belanja Kesejahteraan (APBD fungsi pendidikan, kesehatan, perumahan dan fasilitas umum serta APBD fungsi perlindungan sosial) yang masih relatif rendah dibanding daerah lain.

Secara nasional, Provinsi Riau memiliki derajat otonomi fiskal yang relatif tinggi yang berarti memiliki kemandirian fiskal yang tinggi. Dengan persentase Derajat Otonomi Fiskal diatas 40 persen, di atas rata-rata nasional. Ini menunjukkan ketergantungan pada transfer dana pusat, Provinsi Riau cenderung lebih rendah dibanding daerah lain.

Baca Juga:  Kaleidoskop Hidup

Selain itu, Provinsi Riau memiliki ruang fiskal cukup tinggi (di atas 65 persen, jauh di atas rata-rata nasional) yang berarti diskresi untuk mendanai belanja prioritas (terutama jika dialokasikan untuk program penanganan kemiskinan) cenderung baik.

Untuk porsi belanja modal Provinsi Riau juga relatif tinggi dibanding daerah lain (33 persen, jauh di atas rata-rata nasional). Ini adalah jaminan akan keberlanjutan belanja penanganan kemiskinan. Dengan belanja pegawai sedikit di atas rata-rata nasional menjadi pembanding bagi keharusan untuk lebih memprioritaskan belanja penanganan persoalan kemiskinan.

Pencapaian target sasaran kemiskinan sebagaimana disebutkan sangat bergantung pada efektivitas pelaksanaan berbagai program yang dilaksanakan. Oleh karena itu mengintegrasikan strategi, kebijakan, program, dan kegiatan penanggulangan kemiskinan secara keseluruhan ke dalam dokumen perencanaan dan penganggaran dengan melakukan sinkronisasi dan sinergi antara “intervensi pusat” dan “intervensi daerah”, dan antara berbagai intervensi daerah dan SKPD ke dalam proses perencanaan pembangunan.

Dalam hal kondisi penanggulangan kemiskinan, penelitian dari Marvin Ravallion (Bank Dunia) Tahun 2016 menyebutkan fakta di tingkat global bahwa di negara-negara berkembang secara umum, mereka yang miskin dan yang menerima program perlindungan sosial bukan orang yang sama. Ini memberikan gambaran kepada kita bahwa persoalan yang kita hadapi dalam program penanggulangan kemiskinan adalah persoalan tidak tepat sasaran. Masih banyaknya inclusion and exclusion error data fakir miskin adalah menjadi salah satu sebab program perlindungan menjadi tidak tepat sasaran.

Hal lain yang membuat penurunan angka kemiskinan yang stagnan adalah tidak terintegrasinya program-program penanggulangan kemiskinan sehingga Keluarga Penerima Manfaat (KPM) tidak mendapatkan akses yang maksimal terhadap program penanggulangan kemiskinan yang dibutuhkan. Hasil simulasi dari Tim Kemiskinan Bank Dunia (2014) tentang dampak bantuan sosial saat ini dibandingkan dengan bantuan sosial yang terintegrasi terhadap penurunan persentase penduduk miskin cukup signifikan. Simulasi integrasi transfer tunai dua program jaminan sosial yakni program PKH dan BSM, rata-rata transfer integrasi PKH dan BSM yakni Rp216.000/RT/bulan atau sekitar 18 persen dari rata-rata pengeluaran RT 10 persen termiskin (Rp1,2 juta). Sementara hasil simulai integrasi transfer tunai 3 program jaminan sosial yakni program PKH, BSM dan Raskin, rata-rata transfer integrasi PKH-BSM-Raskin sebesar Rp285.000/RT/bulan atau sekitar 23 persen dari rata-rata pengeluaran RT 10 persen termiskin (Rp1,2 juta). Dari hasil simulai Tim Kemiskinan Bank Dunia tersebut diambil kesimpulan bahwa hasil integrasi program jaminan sosial selama satu tahun dengan dua program jaminan sosial menghasilkan penurunan persentase angka kemiskinan sebesar 1,27 persen. Sementara dengan integrasi tiga program jaminan sosial saja per-rumah tangga miskin dapat mengurai persentase angka kemiskinan sebesar 1,73 persen.

Baca Juga:  Perlu Kajian Khusus Penyerahan UPTLK Riau

Maka diperlukan sebuah sistem yang dapat mengintegrasikan seluruh program perlindungan sosial baik yang ada di pemerintah maupun non-pemerintah, untuk memberikan akses bagi masyarakat miskin yang memerlukan program perlindungan sosial. Keberadaan layanan sosial yang terpadu sangat membantu masyarakat maupun pemerintah dalam menyusun program-program perlindungan sosial yang lebih tepat sasaran. Selain itu, pengembangan layanan sosial terpadu yang responsif di daerah juga dalam rangka mendukung akselerasi pengentasan kemiskinan serta ketepatan sasaran penerima manfaat.

Akselerasi penurunan tingkat kemiskinan harus difokuskan pada wilayah-wilayah kantong kemiskinan dengan mengoptimalkan updating pemanfaatan data. Perlu adanya inovasi daerah yang didukung dengan kerangka regulasi, penguatan kelembagaan, dan optimalisasi berbagai sumber pendanaan. Akan terselenggara jika didukung komitmen pimpinan daerah terhadap akselerasi program pengentasan kemiskinan.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari