Ibu Hamil “Penguras” Dana BPJS?

Mengejutkan sekali data yang dilansir Asisten Deputi Bidang Riset Jaminan Kesehatan Nasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Riau Pos, Sabtu (19/10) halaman 2, yang memaparkan data bahwa persalinan jadi salah satu jenis layanan kesehatan yang paling banyak menyerap biaya dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hanya saja penuh dengan trik perilaku yang sangat merugikan dan terkesan kurang etis. Ternyata para ibu hamil baru masuk sebagai anggota pada saat mengetahui dirinya sedang hamil atau ada yang masuk menjadi anggota sebulan sebelum melahirkan. Sayangnya, sebulan pasca melahirkan iuran langsung tak dibayar.

Sebanyak 219.446 ibu hamil sebagai Peserta Bukan Penerima Upah (PBUP) yang dijadikan sampel 64,7 persen menjadi peserta JKN dan, sedihnya, 68 persen di antara mereka memberhentikan pembayaran iuran sebulan usai mereka melahirkan. Dari sampel ini selama periode kajian diperkirakan dana iuran yang bisa diperoleh sepatutnya dapat mencapai Rp286,39 miliar namun dengan perilaku tersebut iuran yang terealisir hanya sebesar Rp102,62 miliar. Biaya yang harus diemban oleh BPJS Kesehatan untuk melayani para ibu hamil ini mencapai Rp309,45 miliar. Jadi, kebocoran soal BPJS ini muncul di mana-mana dan modusnya beragam. Termasuk tingkah para ibu hamil ini.

- Advertisement -

Kalau dulu, seorang ibu hamil sangat memegang teguh pantang dan larang. Dalam kearifan lokal berbagai daerah di tanah air mereka bahkan dilarang meludah secara serampangan, dilarang duduk di sembarang tempat. Tidak boleh berkata lancang kepada sesiapa yang ditemuinya. Ini dilakukan untuk menjaga agar bayi yang dilahirkan nanti tidak seperti apa-apa yang buruk yang dilihat dan diperlakukannya. Jika hasil kajian BPJS tersebut dapat dipertanggungjawabkan maka sudah saatnya Indonesia menjadi waspada total untuk mendapatkan bayi yang lahir sebagai calon-calon penipu nantinya. Sejak dalam kandungan ibunya sudah melatihnya untuk melakukan siasat penuh intrik dalam memperoleh manfaat yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya mereka dapatkan.

Pada kenyataannya tidak hanya ibu-ibu hamil yang melakukan hal buruk dalam pengelolaan negara ini. Indonesia sudah jamak menelan kepedihan akibat pengelola negara yang berbuat tidak terpuji. Mereka melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) hanya untuk memikirkan kepentingan diri dan keluarga mereka sendiri. Perilaku itu menular kepada rakyat untuk mencari celah-celah masuk guna melakukan penipuan dan keculasan. Dalam bahasa ketatanegaraan hal seperti inilah yang disebut memiliki kompetensi kewarganegaraan (civic competence) yang tidak memadai. Padahal, dalam suatu negara, guna menciptakan tatanan kemasyarakatan (civil society) yang baik dan saling membahagiakan syarat mutlaknya adalah adanya masyarakat yang di dalamnya terdapat anggota-anggota yang memiliki civic competence yang tinggi.

- Advertisement -

Bagaimana mungkin melahirkan masyarakat madani bila tingkat pemahaman anak bangsa akan kewarganegaraan atau pemahamannya terhadap keberadaan dirinya sebagai warga negara sangat rendah, tidak memiliki kecakapan akan pelaksanaan fungsi-fungsinya menjadi warga negara, tidak mampu bersikap yang sepatutnya sebagai anggota warga bangsa, dan tidak memiliki nilai-nilai yang wajib dipegang teguh dalam kedudukannya sebagai warga negara. Sehingga tidak jarang kita menemukan tindakan-tindakan warga negara yang tidak mampu menunjukkan watak warga negara yang baik. Karena itu lah saat ini masih umum kita lihat kaum bapak merokok di sembarang tempat meskipun itu mengganggu kenyamanan orang lain. Senantiasa kita saksikan di jalanan kenderaan yang saling dahulu-mendahului tanpa menyadari perlunya antrean. Selalu ditemukan adanya tetangga membakar sampah di samping rumahnya yang asapnya masuk ke rumah tetangganya tanpa merasa bersalah. Ibu-ibu hamil pun tidak perduli lagi soal resapan amoral yang dapat masuk ke jabang bayinya sehingga tak lagi merasa sungkan untuk mengkali-kuna iuran BPJS-nya.

Tidak gampang menumbuhkan dan membangun civic competence rakyat dalam suatu negara bangsa untuk mewujudkan masyarakat madani yang sesungguhnya. Indonesia yang demikian lama dijajah bangsa asing yang tidak mengajarkan dan menciptakan rakyatnya memiliki sikap dan perilaku kewarganegaraan dan menikmati kemerdekaan sejak 74 tahun lalu yang bergelimang politik patron-client tak beraturan tentunya akan semakin rumit untuk menumbuhkan dan mengembangkan civic competence dimaksud. Era mileniel dan dalam fase industry revolution 4.0 ini Indonesia semakin dihadapkan pada tantangan eksternal yang tidak kecil. Perkembangan teknologi informasi yang pesat, secara internal masih berkutat dengan demokratisasi yang kebablasan dan minim aturan, reformasi dan otonomi yang tak memiliki target kinerja yang terukur, serta pemerintah dan penegak hukum yang kurang bermoral maka memperoleh masyarakat yang memiliki civic competence yang tinggi sebagai prasyarat mutlak menciptakan civil society yang baik akan menjadi mimpi kosong belaka.  

Jangan cuma menyalahkan ibu-ibu hamil yang “mencurangi” BPJS Kesehatan dan bapak-bapak yang tega merokok di samping ibu-ibu hamil. Jangan menyesal jika Indonesia nantinya dipenuhi oleh bayi-bayi yang bakal menjadi pecundang yang kecanduan rokok serta gampang dipengaruhi oleh terpaan gelombang buruk asing. Sebelum mereka lahir sikap, perilaku dan watak mereka sudah dibentuk untuk jadi warga negara seperti itu. Kompetensi kewarganegaraan mereka akan menjadi minim dan menumbuh-kembangkannya menjadi baik semakin sulit. Kewarganegaraan itu sendiri mengandung elemen identitas, partisipasi, hak, kewajiban, dan penerimaan terhadap nilai-nilai sosial bersama. Aristoteles sebagai seorang filosof Yunani menggariskan kewarganegaraan sebagai bentuk partisipasi warga negara dalam kehidupan publik. Sedangkan Freddy K (2017) menyatakan  kewarganegaraan bukan sekadar bertalian dengan relasi negara dan warganya tetapi ia mengacu kepada suatu status yang mengekspresikan bahwa warga negara diharapkan mempunyai kemampuan atau kompetensi untuk berpartisipasi sebagai anggota negara bangsa yang modern dan beradab.

Guna menghindarkan berkembang biaknya bayi-bayi yang bakal kian merusak bangsa dan masyarakat yang semakin terpolarisasi pada kepentingan masing-masing serta berpotensi menghancurkan keberlangsungan hidup bangsa maka civic competence rakyat sebagai warga bangsa harus ditumbuhkan dengan lebih kuat dan tegas. Pertama, penegakan hukum yang tegas dan istiqomah. Sepanjang hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas maka tidak mungkin lahir rakyat yang mampu memahami bangsa nya sebagai sebuah entitas bersama dan harus dipelihara dengan baik. Kedua, transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan negara untuk membangun kepercayaan masyarakat. Jika ibu-ibu hamil tak boleh mempecundangi maka penyelenggara BPJS Kesehatan juga harus bersih dari praktik-praktik tak terpuji yang bernuansa korupsi.

Ketiga, reformasi kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang lebih banyak diarahkan pada pembentukan karakter anak bangsa yang disiplin, partisipatif, menjunjung tinggi nilai-nilai, memiliki tanggung jawab moral, peduli akan sesama sebagai warga bangsa. Keempat, redistribusi aset ekonomi sebagai bentuk pemerataan dan keadilan sehingga basis pemberdayaan dan pembentukan civic competence rakyat dapat berjalan lancar. Tanpa logistik yang memadai sulit bagi rakyat untuk berfikir logis dalam berpartisipasi. Perlu disadari oleh kaum kaya bahwa tidak ada tempat untuk lari di muka bumi ini dengan harta yang berlimpah bila rakyat miskin sudah muak dan kian memuncak frustasinya. Kelima, awalilah semua yang dilakukan dan dipresentasikan dalam kehidupan dengan berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai penguasa alam semesta. Hidup adalah impian yang silih berganti dan bila tak terkendali ia akan menjadi sunyi dan tak berarti. Ontahlah?***

Mengejutkan sekali data yang dilansir Asisten Deputi Bidang Riset Jaminan Kesehatan Nasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Riau Pos, Sabtu (19/10) halaman 2, yang memaparkan data bahwa persalinan jadi salah satu jenis layanan kesehatan yang paling banyak menyerap biaya dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hanya saja penuh dengan trik perilaku yang sangat merugikan dan terkesan kurang etis. Ternyata para ibu hamil baru masuk sebagai anggota pada saat mengetahui dirinya sedang hamil atau ada yang masuk menjadi anggota sebulan sebelum melahirkan. Sayangnya, sebulan pasca melahirkan iuran langsung tak dibayar.

Sebanyak 219.446 ibu hamil sebagai Peserta Bukan Penerima Upah (PBUP) yang dijadikan sampel 64,7 persen menjadi peserta JKN dan, sedihnya, 68 persen di antara mereka memberhentikan pembayaran iuran sebulan usai mereka melahirkan. Dari sampel ini selama periode kajian diperkirakan dana iuran yang bisa diperoleh sepatutnya dapat mencapai Rp286,39 miliar namun dengan perilaku tersebut iuran yang terealisir hanya sebesar Rp102,62 miliar. Biaya yang harus diemban oleh BPJS Kesehatan untuk melayani para ibu hamil ini mencapai Rp309,45 miliar. Jadi, kebocoran soal BPJS ini muncul di mana-mana dan modusnya beragam. Termasuk tingkah para ibu hamil ini.

Kalau dulu, seorang ibu hamil sangat memegang teguh pantang dan larang. Dalam kearifan lokal berbagai daerah di tanah air mereka bahkan dilarang meludah secara serampangan, dilarang duduk di sembarang tempat. Tidak boleh berkata lancang kepada sesiapa yang ditemuinya. Ini dilakukan untuk menjaga agar bayi yang dilahirkan nanti tidak seperti apa-apa yang buruk yang dilihat dan diperlakukannya. Jika hasil kajian BPJS tersebut dapat dipertanggungjawabkan maka sudah saatnya Indonesia menjadi waspada total untuk mendapatkan bayi yang lahir sebagai calon-calon penipu nantinya. Sejak dalam kandungan ibunya sudah melatihnya untuk melakukan siasat penuh intrik dalam memperoleh manfaat yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya mereka dapatkan.

Pada kenyataannya tidak hanya ibu-ibu hamil yang melakukan hal buruk dalam pengelolaan negara ini. Indonesia sudah jamak menelan kepedihan akibat pengelola negara yang berbuat tidak terpuji. Mereka melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) hanya untuk memikirkan kepentingan diri dan keluarga mereka sendiri. Perilaku itu menular kepada rakyat untuk mencari celah-celah masuk guna melakukan penipuan dan keculasan. Dalam bahasa ketatanegaraan hal seperti inilah yang disebut memiliki kompetensi kewarganegaraan (civic competence) yang tidak memadai. Padahal, dalam suatu negara, guna menciptakan tatanan kemasyarakatan (civil society) yang baik dan saling membahagiakan syarat mutlaknya adalah adanya masyarakat yang di dalamnya terdapat anggota-anggota yang memiliki civic competence yang tinggi.

Bagaimana mungkin melahirkan masyarakat madani bila tingkat pemahaman anak bangsa akan kewarganegaraan atau pemahamannya terhadap keberadaan dirinya sebagai warga negara sangat rendah, tidak memiliki kecakapan akan pelaksanaan fungsi-fungsinya menjadi warga negara, tidak mampu bersikap yang sepatutnya sebagai anggota warga bangsa, dan tidak memiliki nilai-nilai yang wajib dipegang teguh dalam kedudukannya sebagai warga negara. Sehingga tidak jarang kita menemukan tindakan-tindakan warga negara yang tidak mampu menunjukkan watak warga negara yang baik. Karena itu lah saat ini masih umum kita lihat kaum bapak merokok di sembarang tempat meskipun itu mengganggu kenyamanan orang lain. Senantiasa kita saksikan di jalanan kenderaan yang saling dahulu-mendahului tanpa menyadari perlunya antrean. Selalu ditemukan adanya tetangga membakar sampah di samping rumahnya yang asapnya masuk ke rumah tetangganya tanpa merasa bersalah. Ibu-ibu hamil pun tidak perduli lagi soal resapan amoral yang dapat masuk ke jabang bayinya sehingga tak lagi merasa sungkan untuk mengkali-kuna iuran BPJS-nya.

Tidak gampang menumbuhkan dan membangun civic competence rakyat dalam suatu negara bangsa untuk mewujudkan masyarakat madani yang sesungguhnya. Indonesia yang demikian lama dijajah bangsa asing yang tidak mengajarkan dan menciptakan rakyatnya memiliki sikap dan perilaku kewarganegaraan dan menikmati kemerdekaan sejak 74 tahun lalu yang bergelimang politik patron-client tak beraturan tentunya akan semakin rumit untuk menumbuhkan dan mengembangkan civic competence dimaksud. Era mileniel dan dalam fase industry revolution 4.0 ini Indonesia semakin dihadapkan pada tantangan eksternal yang tidak kecil. Perkembangan teknologi informasi yang pesat, secara internal masih berkutat dengan demokratisasi yang kebablasan dan minim aturan, reformasi dan otonomi yang tak memiliki target kinerja yang terukur, serta pemerintah dan penegak hukum yang kurang bermoral maka memperoleh masyarakat yang memiliki civic competence yang tinggi sebagai prasyarat mutlak menciptakan civil society yang baik akan menjadi mimpi kosong belaka.  

Jangan cuma menyalahkan ibu-ibu hamil yang “mencurangi” BPJS Kesehatan dan bapak-bapak yang tega merokok di samping ibu-ibu hamil. Jangan menyesal jika Indonesia nantinya dipenuhi oleh bayi-bayi yang bakal menjadi pecundang yang kecanduan rokok serta gampang dipengaruhi oleh terpaan gelombang buruk asing. Sebelum mereka lahir sikap, perilaku dan watak mereka sudah dibentuk untuk jadi warga negara seperti itu. Kompetensi kewarganegaraan mereka akan menjadi minim dan menumbuh-kembangkannya menjadi baik semakin sulit. Kewarganegaraan itu sendiri mengandung elemen identitas, partisipasi, hak, kewajiban, dan penerimaan terhadap nilai-nilai sosial bersama. Aristoteles sebagai seorang filosof Yunani menggariskan kewarganegaraan sebagai bentuk partisipasi warga negara dalam kehidupan publik. Sedangkan Freddy K (2017) menyatakan  kewarganegaraan bukan sekadar bertalian dengan relasi negara dan warganya tetapi ia mengacu kepada suatu status yang mengekspresikan bahwa warga negara diharapkan mempunyai kemampuan atau kompetensi untuk berpartisipasi sebagai anggota negara bangsa yang modern dan beradab.

Guna menghindarkan berkembang biaknya bayi-bayi yang bakal kian merusak bangsa dan masyarakat yang semakin terpolarisasi pada kepentingan masing-masing serta berpotensi menghancurkan keberlangsungan hidup bangsa maka civic competence rakyat sebagai warga bangsa harus ditumbuhkan dengan lebih kuat dan tegas. Pertama, penegakan hukum yang tegas dan istiqomah. Sepanjang hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas maka tidak mungkin lahir rakyat yang mampu memahami bangsa nya sebagai sebuah entitas bersama dan harus dipelihara dengan baik. Kedua, transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan negara untuk membangun kepercayaan masyarakat. Jika ibu-ibu hamil tak boleh mempecundangi maka penyelenggara BPJS Kesehatan juga harus bersih dari praktik-praktik tak terpuji yang bernuansa korupsi.

Ketiga, reformasi kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang lebih banyak diarahkan pada pembentukan karakter anak bangsa yang disiplin, partisipatif, menjunjung tinggi nilai-nilai, memiliki tanggung jawab moral, peduli akan sesama sebagai warga bangsa. Keempat, redistribusi aset ekonomi sebagai bentuk pemerataan dan keadilan sehingga basis pemberdayaan dan pembentukan civic competence rakyat dapat berjalan lancar. Tanpa logistik yang memadai sulit bagi rakyat untuk berfikir logis dalam berpartisipasi. Perlu disadari oleh kaum kaya bahwa tidak ada tempat untuk lari di muka bumi ini dengan harta yang berlimpah bila rakyat miskin sudah muak dan kian memuncak frustasinya. Kelima, awalilah semua yang dilakukan dan dipresentasikan dalam kehidupan dengan berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai penguasa alam semesta. Hidup adalah impian yang silih berganti dan bila tak terkendali ia akan menjadi sunyi dan tak berarti. Ontahlah?***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya