Bak petir di siang bolong, publik sungguh tersentak atas berita OTT oleh KPK atas beberapa pejabat di lingkungan Kementerian Sosial beserta rekanan dalam pengadaan Bantuan Sosial Sembako dalam rangka penanggulangan dampak Pandemi Covid pada Sabtu (05/12) lalu. Belum habis keterkejutan publik, muncul berita Menteri Sosial Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Juliari P Batubara menyerahkan diri ke KPK pada Minggu (06/12) dini hari setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang sama. Dalam konferensi pers, Ketua KPK, Firli Bahuri, menduga Juliari Peter Batubara (JPB) menerima Rp17 miliar berupa fee dari rekanan pengadaan bansos sembako Wilayah Jabodetabek Tahin 2020 yang ditujukan untuk keluarga miskin yang terdampak akibat wabah virus corona.
Kasus korupsi bansos rupanya bukan hanya kali ini saja terjadi di Kementerian Sosial hingga menyeret orang nomor satu di Kementerian tersebut. Tercatat dua orang menteri sosial di era sebelumnya yaitu Idrus Marham dan Bachtiar Chamsyah juga tersandung kasus korupsi bansos dan masing-masing telah divonis oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi masing-masing 3 tahun dan 1,8 tahun penjara.
Sungguh memprihatinkan bahwa korupsi dana Bansos masih saja terjadi dan bahkan ancaman hukuman mati rupanya tidak membuat para pelaku menjadi takut untuk melakukan perbuatan tak terpuji yang menyakiti hati rakyat tersebut. Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi: "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan." Ketua KPK Firli Bahuri pernah menuturkan, kondisi pandemi Covid-19 masuk atau memenuhi unsur 'dalam keadaan tertentu' sesuai ayat 2 pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kasus korupsi bansos ini ibarat ujaran anak muda sekarang “sakit tapi tak berdarah”. Masyarakat miskin harus menerima Bansos sembako dengan kualitas buruk sementara para pejabat yang bertanggungjawab atas pemberian bansos tersebut bergelimang harta dari fee yang diberikan rekanan, fee yang tidak akan dapat diberikan tanpa menyunat kualitas spesifikasi sembako.
Terlepas dari proses penegakan hukum yang sedang berlangsung, permasalahan yang harus kita jawab sekarang adalah , “Mungkinkah kita melakukan pencegahan atas kasus korupsi bansos dari sisi tata kelola keuanga negara? Apakah kita bisa menutup celah korupsi Bansos melalui penyempurnaan aturan Tata Kelola Bantuan Sosial?
Dari sisi keuangan Negara, aturan yang saat ini ada untuk mengatur tata kelola pencairan bansos adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.05/2015 tentang Belanja Bantuan Sosial Pada Kementerian Negara/Lembaga. Aturan ini merupakan penyempurnaan atas PMK 81/PMK.05/2012 tentang Belanja Bantuan Sosial Pada Kementerian Negara/Lembaga. Ruang lingkup PMK 254/2015 mencakup pengalokasian, pencairan, penyaluran, dan pertanggungjawaban Belanja Bantuan Sosial pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersumber dari APBN. Di dalam PMK 254/2015 telah diberikan batasan yang sangat ketat tentang kriteria penerima bansos yaitu harus masyarakat miskin dan rentan secara sosial, serta tata kelola bansos dalam bentuk tunai yang harus dilaksanakan dalam bentuk transfer langsung ke rekening penerima bantuan. Sementara untuk bantuan sosial dalam bentuk barang hanya boleh dilaksanakan untuk barang dengan nilai per penerima maksimal Rp 50 juta dan pembayarannya dilakukan oleh Kuasa Bendahara Umum Negara, dalam hal ini Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) melalui transfer langsung kepada penyedia barang dan jasa berdasarkan Surat Perintah Membayar Langsung (SPM-LS) dari Kuasa Pengguna Anggaran Kementerian/Lembaga yang melaksanakan Bansos.
Dapat kita lihat bahwa Peraturan Menteri Keuangan memberikan pengaturan terhadap Belanja Bansos dari mulai alokasi DIPA, proses pencairan dana sampai dengan pertanggungjawaban, sementara ranah pengadaan yang justru menjadi titik rawan korupsi diatur oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Terdapat proses pengadaan paket sembako dengan nilai tertentu yang telah dilaksanakan secara ketentuan pembayaran secara benar sesuai PMK 254/2015 namun di lapangan masyarakat menerima bansos sembako dengan kualitas barang yang buruk dan tidak sesuai dengan harga per paket dalam kontrak, harga per paket Rp 300.000,- namun kualitas barang dapat dinilai secara kasat mata bernilai tak lebih dari Rp 150.000,- (beras berkutu atau menghitam, mie instan dan sarden dengan merk yang tidak pernah dijual di toko manapun, dst).
Secara instingtif dapat kita katakan bahwa Bansos dalam bentuk tunai lebih aman dari korupsi karena nilai bantuan langsung ditransfer ke rekening masyarakat penerima dalam bentuk Tabungan berkarakteristik Basic Saving Account (Pasal 12 ayat (1) PMK 254/2015). Tabungan berkarakteristik Basic Saving Account (BSA) adalah tabungan yang tidak memiliki batas minimal saldo dan setor tunai, tidak ada biaya administrasi, namun ada batas maksimal saldo dan transaksi debit. Namun demikian, dalam kondisi tertentu terkadang masih dibutuhkan bantuan non tunai/dalam bentuk natura untuk menjamin ketepatan penggunaan sesuai tujuan bantuan (tidak disalahgunakan untuk membeli kebutuhan yang tidak urgen). Kebutuhan untuk tetap melaksanakan Bansos dalam bentuk natura tentunya harus diimbangi dengan jaminan bahwa penerima bansos terhindar dari kualitas bantuan yang buruk akibat dikorupsi oleh pejabat pengelola negara. Untuk ini dibutuhkan penyempurnaan terhadap Tata Kelola Bansos Non Tunai seperti sembako baik dari sisi pengadaan maupun pendistribusannya.
Beberapa alternatif yang mungkin dapat dilakukan adalah melakukan beberapa penyempurnaan dalam
Tata Kelola Pengadaan
Penetapan Standar Spesifikasi Bantuan
Dengan penetapan standar spesifikasi bantuan maka bansos yang diberikan diharuskan untuk memenuhi spesifikasi kualitas tertentu di kelasnya. Misal: Beras, standar adalah Beras kualitas medium sejenis merk Rojolele, Mie Instan standar sejenis merk Indomie, Sarden standar sejenis merk Botan, Gula Pasir standar sejenis merk Gulaku, Minyak Goreng standar sejenis merk Bimoli dan seterusnya. Penetapan standar akan menghindarkan bantuan sosial diberikan dalam kualitas yang buruk. Dalam rezim pengadaan yg sekarang, kita boleh menentukan spesifikasi dan merk yg kita butuhkan, dan hal tersebut dituangkan dalam HPS yg dibuat oleh pejabat pengadaan
Transparansi pengadaan.
Transparansi pengadaan dapat berupa pengumuman mengenai harga paket dan jumlah paket, serta nilai dan rincian barang di dalam kontrak pada saat aanwijzing yang disaksikan oleh seluruh peserta tender dan dapat diperluas untuk disaksikan oleh media massa. Dengan transparansi ini diharapkan semakin banyak pihak yang dapat mengawasi kualitas spesifikasi barang dan nilai harga per paket sembako.
Tata Kelola Distribusi
Distribusi Bantuan Sosial dapat disiasati sehingga tidak diperlukan pengadaan sembako yang rawan kick back, fee dan aneka penyimpangan lainnya. Sistem Bank Makanan seperti di USA dengan menggunakan kupon cukup menarik untuk bisa kita laksanakan. Setiap warga yang berhak atas bansos diberikan kupon atau voucher belanja yang hanya dapat ditukarkan dengan barang-barang kebutuhan pokok dengan kombinasi sesuai kebutuhan masing-masing namun tidak melebihi nilai yang tercantum dalam kupon. Sistem semacam ini sudah dilaksanakan di beberapa daerah mis DKI Jakarta dengan Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang dapat ditukarkan dengan aneka barang keperluan siswa mulai dari sepatu sampai seragam pramuka.
Pemberdayaan Masjid dan lembaga sosial
Berkaca dari korupsi dalam bentuk kickback kepada pejabat pengelola Negara, rasanya perlu dipikirkan alternatif pengadaan sembako tidak dilakukan terpusat di Kementerian, melainkan didesentralisasikan ke lembaga-lembaga sosial milik masyarakat. Lembaga tersebut berperan sebagai unit yang melaksanakan pengadaan sekaligus menyalurkan bantuan di wilayahnya dengan memberdayakan usaha masyarakat setempat. Kementerian melakukan transfer ke rekening lembaga sosial yang telah diseleksi secara ketat dan selanjutnya lembaga tersebut melakukan pengadaan sembako dengan membeli dari warung-warung sekitar dengan jumlah dan isi paket yang telah distandarisasi. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari pengadaan terpusat yang rawan pemberian fee dari pihak ketiga sekaligus memberdayakan ekonomi UMKM setempat. Jadi ini mirip seperti padat karya yang selama ini telah dilakukan pemerintah untuk penyelesaian pembangunan dengan teknologi sederhana (belanja modal) dengan melibatkan kelompok masyarakat sebagai pekerja, namun kali ini dilakukan untuk jenis belanja bantuan sosial.
Demikian beberapa alternatif usulan untuk memperbaiki tata kelola bantuan sosial. Namun sekali lagi, seketat apapun aturan, tidak akan ada artinya apabila niat buruk manusia untuk memperkaya diri sendiri dengan jalan nista tidak berubah. Kembali lagi pada integritas para penyelenggara negara, apakah masih mau menggadaikan kehormatan diri atau tetap kukuh memegang sumpah sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat. Semoga usulan sederhana ini mampu menjadi ikhtiar ketika kita berjumpa dengan kemungkaran, ketika pilihan kita hanya ada tiga, menolak dengan tangan, menolak dengan perkataan/tulisan atau menolak dengan hati, meski itu adalah selemah-lemah iman. Perbaikan harus terus dilakukan, celah-celah penyimpangan harus terus ditutup, hingga akhirnya tak ada lagi Bansos yang dikorupsi. Semoga.