Pesan WA siang kemarin dipenuhi berita kematian Prof Azyumardi Azra. Beranda FB juga demikian. Berita-berita online berisi berita kesedihan yang mendalam terhadap intelektual kelahiran Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatera Barat. Penulis lebih suka menyebutnya sebagai Professor Wasathiyah. Ini tidak lepas dari pemikiran-pemikirannya tentang keislaman yang dikontruksikan sebagai ajaran Islam yang tidak terjebak pada ekstrem kanan dan kiri. Jadi, sangat pantas apabila ia menjabat sebagai Ketua Dewan Pers masa bakti 2022-2025 itu sangat cocok dengan pemikiran, sikap dan amaliahnya baik dalam wujud tulisan-tulisan maupun dalam cara memahami hubungan antara agama dan negara, serta hubungan dia sendiri dengan penguasa.
Berkaitan hubungan negara dan agama, Azra lebih memilih pada aliran pemikiran simbiotik, yaitu suatu realita politik antara agama dan negara saling keterkaitan baik dalam realita sejarah masa lalu, maupun di masa sekarang dan mendatang. Menurutnya, agama secara umum (termasuk Islam) tidak secara tegas menjelaskan perangkat negara secara operasional. Agama menyuguhkan nilai-nilai universal dan sangat cocok diterapkan menjadi sumber moral dalam wujud Ideologi, undang-undang, peraturan-peraturan dan lain-lainya.
Nilai-nilai seperti yang diterangkan dalam kitab suci Alquran bahwa “Keadilan lebih dekat dengan takwa” merupakan makna universal yang bisa diterapkan dalam wujud perangkat-perangkat undang-undang dengan tafsir-tafsir para ahli hukum sehingga melahirkan produk undang-undang atau peraturan sebagai refleksi dari makna tersebut. karena berupa tafsir, maka proses perbaikan pada undang-undang dan peraturan-peraturan selalu terbuka di masa mendatang.
Sayangnya, pemikiran-pemikiran Prof Azra dituduh oleh sebagian kelompok Islam konservatif dianggap sebagai tokoh liberal yang mencoba menjauhkan nilai-nilai ajaran Islam dari sistem kenegaraan. Walaupun tuduhan yang dialamatkan kepadanya hanya ramai di media sosial dan bukan dalam forum ilmiah, paling tidak ini sudah cukup bukti bahwa sering kali tuduhan-tuduhan liberal hanya memperkeruh suasana dan membunuh karakter tanpa tanggung-jawab.
Berkaitan dengan hubungan dia dengan penguasa, Prof Azra telah menunjukan kepedulian terhadap kajian ilmiahnya yang menurutnya benar, terutama berkaitan dengan pembangunan ibu kota baru. Menurut Azra dan teman-teman yang kontra dengan IKN ( Ibu Kota Negara) menolak UU IKN dianggap cacat formil sehingga haruslah dibatalkan. Karena ini kajian ilmiah, dan penulis artikel ini menilai sah-sah saja dan kebebasan mengeluarkan pendapat dilindungi oleh konstitusi, sebagaimana pihak penguasa pun mempunyai cara pandang yang berbeda dan mempunyai hitung-hitungan ilmiah sekaligus politik yang menurut mereka harus dipertahankan.
Sikap Prof Azra ini mendapatkan respon positif oleh kelompok oposisi dan kelompok-kelompok yang dulu membenci pemikirannya. Tentu saja, dia tidak terlalu memusingkan terhadap persoalan setuju atau tidak setuju terhadap pemikiranya, sanjungan atau cacian yang disematkan kepadanya. Baginya, ketika sesuatu yang dianggap benar dan perlu disampaikan kepada yang berwenang maka dia sampaikan walaupun rasanya pahit. Sikap yang demikian menunjukan watak asli dari Prof Azra sebagai seorang tokoh washatiyah yang mencoba berfikir kritis untuk kebaikan, bukan untuk kepentingan pragmatis yang sering sulit ditangkap ujung pangkalnya. Selamat jalan Prof Azra semoga mendapatkan tempat mulia di sisi Allah.***