Lupa sejatinya petanda manusia. Apalagi akar kata manusia bermakna lupa. Bahkan ada ungkapan Arab yang mengatakan, bahwa manusia tempatnya salah dan lupa (al insaan mahalul khatha’ wan nisyaan). Hanya saja, bila lupa mendominasi jiwa, apalagi sengaja lupa atau berlagak lupa terutama terkait janji, amanah, dan juga dengan sang pencipta, maka alamat bala dan murka akan datang silih berganti. Oleh karena itu melawan lupa atau mengingatkan diri menjadi kata kunci agar sengkarut, sengketa, bala bencana itu pergi.
Dulu, bangsa ini dijajah begitu lama oleh Belanda. Sejarah mencatat tiga setengah abad lamanya. Banyak darah yang tertumpah, dan nyawa yang melayang agar bangsa ini bisa merdeka. Para pejuang itu tidak diupah layaknya pegawai negeri yang ada amprah. Malah mereka menghabiskan harta untuk berjuang dan juga mengorbankan masa-masa indah mereka. Tidak ada waktu bulan madu bagi yang baru menikah, apalagi berbual ria di coffee shop layaknya anak milenial sekarang. Semuanya dikorbankan untuk sebuah kemerdekaan. Hari ini boleh jadi kita lupa akan pengorbanan mereka. Terkesima oleh nikmat kemerdekaan, atau boleh jadi kita sedang mabuk kekuasaan.
Hari ini bedil dan meriam penjajah tidak lagi terdengar, tapi senjata yang lebih mengancam kian bertebar. Senjatanya tidak berlaras, tapi ganas. Anak bangsa harus ingat dan jangan lupa, bahwa penjajah itu sudah berubah pola. Menjajah, tapi kita seakan tidak dijajah, malah dibantu dengan berbagai cara yang ujungnya membuat tidak mampu mengatakan “tidak†ketika hati ingin berkata “tidak”. Kita menjadi generasi dan negara “angguk-angguk”. Kala itu kita sedang terjajah, bahkan lebih parah dibanding zaman penjajah. Sebab musuh bukan lagi kompeni, tapi boleh jadi anak bangsa sendiri.
Hari ini, amanah besar untuk menjaga negeri bagi yang telah diberi mandat sebagai wakil rakyat tunaikanlah dengan penuh hikmat. Dan jangan lupa, dulu sebelum mandat didapat telah berjanji untuk bekerja, berjuang demi kesejahteraan rakyat. Namun terkadang, empuknya kekuasaan dan wangi materi yang mengelilingi membuat pemegang amanah itu lupa akan janji. Baginya, janji hanyalah sebagian strategi untuk meraih kursi, bukan murni janji. Bila lupa akan janji maka akan lahirlah laku khianat dan kebijakan yang tidak selaras dengan hati nurani dan kehendak rakyat
Negeri ini sudah melalui banyak fase agar terus berdiri kokoh. Salah satunya lahirnya era reformasi. Sebuah era yang mengingatkan bahwa telah terjadi penyimpangan dalam perjalanan bangsa sebelumnya. Sudah lebih 20 tahun hingga kini, reformasi telah berevolusi. Banyak hal yang mendatangkan kegembiraan, tapi banyak hal juga yang sekadar memberi pengharapan. Penulis merasakan sendiri, bagaimana dulu ikut berjuang bersama rekan-rekan di Jogja pada tahun 1998, seperti adik-adik mahasiswa lakukan sekarang. Semua itu dilakukan agar kita, terutama penguasa tidak mudah lupa. Dulu Orde Lama, lupa. Orde Baru juga lupa ketika lama berkuasa. Sekarang, era reformasi, ada yang melihat penguasa sudah mulai lupa. Makanya mahasiswa kembali hadir untuk mengingatkan agar jangan lupa. Penguasa jangan merasa kuasa itu miliknya, sehingga tidak mengindahkan suara rakyat dan akhirnya melupakan rakyat.
Teriakan rakyat yang disuarakan mahasiswa belakang ini, sejatinya juga untuk ingatan bagi pemerintah, dan DPR untuk tidak mudah terjangkit sindrom lupa. Berkantor di gedung megah dengan stelan jas mewah ditambah fasilitas yang serba wah lainnya itu bukanlah penanda mulia, dan dengan seenaknya saja berkata dan mengeluarkan kebijakan. Kehadiran mereka hanya akan mulia dan bernilai ibadah dan dihormat rakyat bila bekerja dan menunaikan janjinya untuk kemaslahatan rakyat banyak, bukan untuk kelompok atau golongan mereka saja. Apalagi menggunakan kuasa untuk menumpuk pundi-pundi harta. Cukuplah 255 wakil rakyat yang tersangkut kasus korupsi menjadi pengingat untuk tidak berbuat serupa.
Memang lupa menjadi penyakit yang sering menjangkiti manusia terutama bila diberikan kelebihan, terutama kuasa. Dalil Lord Acton, bahwa “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” seakan menguatkan itu semua. Oleh karena itu mendengar dengan dua telinga, mencerna dengan akal pikiran serta menanyakan kepada nurani menjadi kata kunci agar setiap langkah dan kebijakan tidak melahirkan keburukan dan penolakan dari rakyat. Memang tidak semua kebijakan yang akan membuat semua orang senang dan terpuaskan, apalagi ratusan juta orang. Tapi minimal, kala kita sudah menggunakan segala daya dan usaha yang terbaik, mendengarkan semua pihak, dan yang terpenting kita tidak sedang lupa.
Melawan sindrom lupa tidak hanya bagi yang berkuasa dan kaya, sebab lupa juga menjangkiti rakyat jelata dan papa. Rakyat jangan lupa bersyukur dengan negeri yang merdeka dan aman. Jangan pilih karena tergiur upah dan rupiah. Pilihlah mereka karena mereka tidak dusta, bisa menjaga amanah, dan karena karya nyata serta akhlaknya. Hanya dengan itu rakyat tidak akan dicap mudah lupa. Sebab boleh jadi kita lupa, bahwa dulu kita memilih mereka karena rupa rupiah, dan sejenisnya.
Dan puncak lupa yang berbahaya itu adalah manakala kita lupa kepada Sang Maha Pencipta. Lupa kepada ucapan kita kala ditiupkan ruh, Allah berkata,”bukankah aku Tuhanmu”, kita menjawab, “benar, engkau adalah Tuhanku”. Namun setelah bertemu, bertatap dan bersedekap dengan dunia dan segala pernak-perniknya membuat kita mudah lupa, bahkan terkadang lupa begitu Allah menyelamatkan kita dari segala kesusahan. Persis seperti yang diungkapkan Allah dalam surah Azzumar ayat 8, “Apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu.”
Siapapun kita, apakah sebagai pejabat, penguasa, wakil rakyat, atau rakyat biasa, agar tidak mudah lupa, baik itu kepada manusia, terutama kepada Allah. Dan jangan sekali-kali berlagak lupa apalagi melupakan. Sebab itu adalah petaka yang akan mengundang bencana. Wallahu’alam.***